Selasa, 22 Februari 2011

PENEMUAN HUKUM


Oleh : Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH

Ada yang bertanya bagaimanakah caranya menemukan hukum yang baik.
Tugas hakim tidak hanya bersifat rasional atau ilmiah saja, tetapi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari hakim juga didukung oleh hati nuraninya, oleh emotional quotientnya. Kegiatan menemukan hukum bukan semata-mata merupakan kegiatan rasional atau ilmiah tetapi didukung oleh hati nurani, emotional quotient.

Von Savigny mengatakan bahwa interpretasi (menemukan hukum) merupakan suatu seni, seni yang baik dan patut (ars boni et aequi): "eine Kunst, die sich ebensowenig als irgend eine andere, durch regeln mitteilen oder erwerben lastz" (v. Dijk et al., 1985: 463).

Untuk penemuan hukum tidak ada pedoman umumnya. Semuanya tergantung pada peristiwa komkretnya. Kalau suatu peristiwa konkret tidak diatur secara khusus, maka hukumnya harus dicari dengan mencari peraturan yang mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang hendak dicari hukumnya dengan jalan argumentasi (argumentum a contrario atau argumentum per analogiam). Kalau peristiwanya tidak diatur sama sekali dalam undang-undang maka harus dipertanyakan "apakah peristiwa konkretnya itu bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum tidak?" Kalau tidak untuk apa dilarang?

Sumber :http://sudiknokuliah.blogspot.com/

Senin, 21 Februari 2011

Kontroversi Vonis Gayus



Oleh : Eddy OS Hiariej 
(Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada )

Nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur (orang bijak tidak menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa). Demikian Seneca merujuk ajaran filsuf Yunani, Plato. Ajaran tersebut adalah landasan filsafati tujuan pidana sebagai upaya pencegah umum (general prevention). Artinya, seseorang harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. Perihal berat-ringannya pidana, ada tiga faktor yang amat memengaruhi.