Sabtu, 19 Desember 2015

QUO VADIS SIDANG MKD

(sumber gambar : sp.beritasatu.com)

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MKD) kini tengah bergulir. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pengadu, dan Presiden Direktur (Presdir) PT. Freeport Indonesia, telah diperiksa. Tidak tanggung-tanggung, sidang MKD kali ini digelar untuk menyidangkan kasus Ketua DPR RI Setya Novanto (SN). Sang pimpinan wakil rakyat itu, sebagai teradu, dilaporkan karena melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden RI terkait percaloan dan permintaan saham PT. Freeport Indonesia.

Senin, 07 Desember 2015

REKAMAN DAN PERMUFAKATAN JAHAT



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Politisi Senayan yang terindentifikasi sebagai Setya Novanto diduga kuat telah mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia. Kasus ini sedang disidangkan oleh Majelis Kehormatan Dewan. Dengan menggunakan logika jungkir balik, beberapa anggota MKD mempertanyakan legal standing dan motivasi Sudirman Said untuk mengadukan persoalan tersebut ke MKD.

Senin, 23 November 2015

MEMPERDAGANGKAN PENGARUH

(sumber gambar : s-hukum.blogspot.com)

Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Politisi Senayan kembali berulah. Tak tanggung-tanggung, kali ini yang dicatut adalah nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia.

Jika pencatutan nama itu terbukti, politisi tersebut tidak hanya melanggar etika sebagai anggota DPR, tetapi terdapat indikasi yang kuat telah melakukan pelanggaran hukum. Paling tidak, sang politisi dapat dijerat memperdagangkan pengaruh. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh tidak terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi secara jelas diatur dalam Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Rabu, 04 November 2015

ANAKMU BUKAN MILIKMU

(sumber gambar : nafirikasih.blogspot.com)

Oleh : Kahlil Gibran
(Pujangga Lebanon)

Anakmu bukan milikmu
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu

Berikan mereka kasih sayangmu, tetapi jangan paksakan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni masa depan
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian

Rabu, 21 Oktober 2015

KEADILAN RESTORATIF KASUS KADALI

Peradilan Adat Kadali. -Foto:Saat Kadali menyampaikan permohonan maaf didamping Penetua Adat

Oleh : Beniharmoni Harefa

Salah satu kasus yang menyita perhatian publik khususnya masyarakat Kota Gunungsitoli pada beberapa hari terakhir, yakni kasus Kadali. “Kadali” nama salah seorang pengusaha di wilayah Kota Gunungsitoli menjadi trend hangat pembicaraan setiap orang baik di Kota Gunungsitoli maupun orang Nias yang berada di luar wilayah kepulauan Nias. Sebagaimana diketahui Kota Gunungsitoli mayoritas berpenduduk suku Nias.

Kasus kadali berawal pada Kamis, 15 Okotober 2015, Sugianto Kosasih alias Yanto atau yang lebih dikenal dengan nama “Kadali”, menghukum Rismawati Waruwu (Mawar) salah seorang karyawan di toko selular milik Kadali. Hukuman yang diberikan Kadali kepada Mawar, yakni Mawar harus berdiri di depan toko dengan menghadap jalan raya, dan dikalungkan kertas bertuliskan “Mawar adalah seorang pencuri”. Terlepas dari kontroversi sebagian orang mengatakan bahwa ditulisan tersebut selain kalimat mawar sebagai pencuri, Kadali juga menuliskan orang Nias sebagai pencuri pada kertas yang dikalungkan di leher Mawar.

Senin, 19 Oktober 2015

PREDATOR ANAK TERUS MENGANCAM

(sumber gambar : liputan6.com)

Oleh : Beniharmoni Harefa

Hangatnya pemberitaan kasus pembunuhan bocah dalam kardus (PNF) di Jakarta, kembali menyita perhatian publik. Betapa tidak, kematian anak umur 9 tahun itu diketahui dibunuh setelah sebelumnya diperkosa oleh seseorang yang sudah lama dikenalnya. AG kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh pihak Polda Metro Jaya.

AG yang kesehariannya menjaga warung di sekitar komplek dimana PNF tinggal. Saat PNF pulang sekolah, AG memanggil ke warungnya dan melakukan pemerkosaan kepada PNF hingga akhirnya dibunuh dengan cara yang sadis dan selanjutnya diletakkan di dalam kardus lalu dibuang. Bahkan dari hasil pengembangan polisi tentang kasus ini, selain PNF masih ada korban anak lain, berinisial T yang pernah dicabuli oleh pelaku AG.

Kamis, 08 Oktober 2015

PERANGKAP KEJAHATAN PADA PEREMPUAN DAN ANAK

(sumber gambar : bali.tribunnews.com)

Oleh : TB Ronny Rachman Nitibaskara
(Guru Besar Kriminologi Pascasarjana UI)

Perempuan dan anak-anak merupakan golongan yang rentan perangkap kejahatan, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.

Pembunuhan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, September 2015, dan di Madiun, Jawa Timur, Agustus 2015, menegaskan bahwa perempuan juga dapat terperangkap menjadi pelaku pembunuhan.

Sementara itu, dalam kejahatan dengan anak sebagai pelaku, pada Februari 2015 ditengarai beberapa anak di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat terlibat perampokan. Baru-baru ini, seorang anak sekolah dasar melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian bagi teman sebayanya.

Kamis, 17 September 2015

SEKOLAH BUKAN TEMPAT AMAN BAGI ANAK

(sumber gambar : merdeka.com)

Oleh : Hadi Supeno
(Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI 2007-2010)


Spiral kekerasan di masyarakat terus bergulir meski kata damai, aman, sakinah, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.

Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan (Darwin, 2000). Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.

Minggu, 30 Agustus 2015

PILAH PILIH KOMISIONER KPK


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Zainal Arifin Mochtar menulis di harian ini edisi 6 Agustus 2015, ”Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian”.

Saya sependapat dengan Zainal yang menyatakan bahwa Panitia Seleksi (Pansel) KPK harus menentukan corak dan model komisioner KPK berdasarkan kebutuhan percepatan pemberantasan korupsi empat tahun ke depan dengan memperhatikan sektor-sektor pemberantasan korupsi.

Akan tetapi, saya tak sependapat dengannya yang cenderung menafikan keberadaan mereka yang berlatar polisi dan atau jaksa sebagai komisioner KPK dengan penafsiran Undang-Undang KPK. Benar yang dikatakan Zainal bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK yang menyatakan bahwa komisioner KPK harus berlatar polisi dan atau jaksa, tetapi tak berarti keberadaan mereka tak perlu dipertimbangkan.

Selasa, 04 Agustus 2015

PRAPERADILAN DAN PERMASALAHANNYA

(sumber gambar : merdeka.com)


Oleh : INDRIYANTO SENO ADJI
(Guru Besar Hukum Pidana FH Universitas Krisna Dwipayana/UNKRIS Jakarta)

Pernah Holmes, seorang pakar hukum, mengatakan bahwa hukum yang baik tidak terletak pada apa yang tertulis secara indah, tetapi apa yang telah diimplementasikan dengan baik oleh aparatur penegak hukum.

Dalam sistem peradilan pidana, hubungan hukum dengan hakim memiliki irama searah, baik itu untuk kepastian hukum maupun tuntutan keadilan bagi masyarakat.

Senin, 27 Juli 2015

KOMPOSISI PIMPINAN KPK


(sumber gambar : news.okezone.com)


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Saat ini Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi tengah memilah, memilih, dan mempertimbangkan sejumlah nama bakal calon pemimpin KPK yang telah lolos dari seleksi tahap sebelumnya.

Pansel KPK akan bekerja seakurat mungkin untuk menentukan-paling tidak-delapan calon yang akan diajukan kepada Presiden. Kemudian ditambah dua calon yang telah lolos seleksi sebelumnya, Presiden akan mengajukan 10 calon pemimpin KPK kepada DPR untuk memilih lima dari 10 calon tersebut sebagai pemimpin KPK definitif yang terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua.

Selasa, 07 Juli 2015

JABATAN KOMISIONER KPK

(sumber gambar : sinarharapan.co)


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Saat ini, Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.

Secara eksplisit pasal tersebut menyatakan, ”Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 32 Ayat (2) undang-undang ini cukup rentan terhadap siapa pun yang menjabat komisioner KPK untuk dicari-dicari kesalahannya.

Minggu, 14 Juni 2015

AKSI KORPORASI ANCORA DAN ALIRAN DANA CENTURY



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Bailout Bank Century adalah salah satu isu besar yang menjadi perhatian publik belakangan ini. Besarnya skala bailout Bank Century dan dugaan tindakan pidana dalam pelaksanaannya menyerap perhatian publik pada kasus ini.

Alhasil, wajar jika hal apa pun yang diduga memiliki keterkaitan dengan masalah ini akan mendapatkan sorotan utama. Belakangan ini beberapa pihak akhirnya ikut terseret ke dalam pusaran masalah dalam konteks pengembangan kasus aliran dana Bank Century tersebut. Salah satunya yang menarik perhatian publik adalah proses akuisisi terhadap PT Graha Nusa Utama (GNU) yang disebut- sebut menerima aliran dana Bank Century

MEMAHAMI SIFAT MELAWAN HUKUM


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)


Sifat melawan hukum ramai dibicarakan, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU PTPK tidak mengikat secara hukum.

Pasal 2 Ayat 1 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana…".

MENYIKAPI PUTUSAN BEBAS



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Herman Kantorowichs, seorang yuris agung, pernah mengatakan: menyatakan hukum sebagai apa yang diputus oleh pengadilan sama dengan mengatakan bahwa obat adalah apa yang dituliskan di atas kertas resep oleh dokter.

Meskipun dokter dapat saja menuliskan racun di atas kertas resep, sang pasien menaruh kepercayaan penuh bahwa obat yang ditulis di resep itu adalah untuk menyembuhkan penyakitnya. Begitu pula putusan pengadilan, haruslah berpegang pada asas res judicata provaritate habetur, yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan harus dihormati.

Jumat, 29 Mei 2015

DELIK PENCABULAN ANAK (BUKAN) DELIK ADUAN



Oleh : Beniharmoni Harefa

Apakah proses penyidikan kasus pencabulan anak dapat dihentikan?”. Demikian salah satu komentar yang muncul dalam diskusi di group facebook yang saya ikuti. “Tidak jarang beberapa kasus pencabulan anak harus berhenti pada proses penyidikan (belum sampai pada tahap sidang di Pengadilan)” tulis salah seorang anggota group yang lain. Penghentian dilakukan biasanya dengan berdalih, “telah ada kesepakatan damai dari para pihak (korban maupun pelaku), untuk apa diperpanjang”. Kesepakatan yang dituangkan dalam surat perjanjian damai itu, acapkali menjadi dasar untuk menghentikan kasus pencabulan anak.

Kamis, 28 Mei 2015

PRAPERADILAN DAN MASA DEPAN KPK


Oleh : Mudzakkir 
(Dosen Hukum Pidana FH UII Yogyakarta)

Praperadilan seolah-olah menjadi ancaman yang serius terhadap eksistensi KPK, karena tiga putusan pengadilan telah menetapkan bahwa penggunaan wewenang penyidik pada KPK dalam proses penyidikan dinilai tidak sesuai dengan UU. Ketiga putusan tersebut memuat konten yang relatif baru dan menjadi perhatian bagi pemerhati hukum pidana dan masyarakat umum serta menimbulkan interpretasi yang beragam. Adapun konten putusan gugatan praperadilan dimaksud, yaitu mengenai status penyidik KPK yang telah mengundurkan diri dari penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan keputusan mengenai penetapan tersangka oleh penyidik (yang ternyata sejalan dengan materi putusan MK), sedangkan yang lainnya sudah menjadi persoalan hukum acara pidana yang sering diajukan menjadi materi gugatan praperadilan penggunaan wewenang penyidik dalam proses penyidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Senin, 25 Mei 2015

PERIHAL PENYEBARAN FOTO ANAK YANG SEDANG DISANKSI


Oleh : Beniharmoni Harefa

Belum lama ini, di media sosial (facebook) beredar sebuah foto empat orang siswa setingkat SMA. Di dalam foto terlihat keempat siswa sedang duduk (jongkok) di lantai kelas sekolah, masing-masing siswa terlihat menjepit dengan bibirnya dua batang rokok yang sudah dibakar. Dari keterangan gambar yang diberikan sang pengupload (yang memasukkan gambar ke media sosial), bahwa keempat siswa ini sedang menjalani sanksi (hukuman) sebagai akibat perbuatan mereka yang kedapatan merokok pada jam pelajaran sekolah.

Tindakan pengupload yang merupakan guru dari siswa-siswa yang disanksi itu, sontak ditanggapi beragam oleh para netizen (pengguna media sosial). Pro dan kontra menghiasi komentar-komentar sebagai reaksi menyebarnya foto itu. Sang guru dengan entengnya menjawab : “ini adalah sanksi bagi siswa yang membandel”.

Merespon tindakan sang guru, tulisan berikut hendak memberi “sedikit” sumbangsih pemikiran menyangkut perihal penyebaran/ publikasi identitas anak. Hal tersebut berkaitan dengan pertama, apakah sanksi yang diberikan guru kepada siswa sudah tepat. Kedua, bagaimana pengaturan perihal penyebaran/ publikasi identitas anak dalam aturan hukum kita. Ketiga atau yang terakhir apakah si penyebar foto anak dapat dikenakan sanksi.

Minggu, 24 Mei 2015

MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Harian Kompas edisi 1 April 2015 menerbitkan artikel dengan judul "Niat dan Perbuatan Jahat" yang ditulis oleh kolega penulis, Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada Profesor Hikmahanto, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman singkat terkait tindak pidana korupsi (tipikor) dan menanggapi beberapa hal dalam artikel tersebut.

NIAT DAN PERBUATAN JAHAT



Oleh : Hikmahanto Juwana 
(Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia)

Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sejumlah pegiat anti korupsi lain dijadikan tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri.

Penyidik menyangka adanya kerugian negara yang diakibatkan proyek paspor elektronik atau payment gateway.

Jumat, 22 Mei 2015

HAK ASUH ATAU PENGASUHAN



Oleh : Reza Indragiri Amriel 
(Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Penulis Buku “Ajari Ayah, ya Nak”)

Penelantaran lima orang anak di Cibubur menjadi contoh nyata bahwa orang tua biologis tidak serta merta mampu menjadi orang tua efektif. Begitu pula, tidak ada jaminan mutlak bahwa orang tua yang terdidik secara akademis akan lebih mumpuni mengasuh anak-anak mereka. Ketika anak mengalami situasi luar biasa semacam itu, termasuk contoh lain adalah pasca perceraian, muncul pertanyaan tentang siapa yang akan menjalankan peran sebagai pengasuh anak-anak malang tersebut.

Kamis, 07 Mei 2015

PASAL KERANJANG SAMPAH



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Lebih dari 75 persen tersangka korupsi selalu menggunakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik yang dijerat oleh Polri, Kejaksaan, maupun oleh KPK.

Agar tidak bias, kedua pasal tersebut dikutip sebagai berikut. Pasal 2 Ayat (1), ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.”

Rabu, 06 Mei 2015

SANTET DAN KUMPUL KEBO



Oleh : JE Sahetapy
(Guru Besar Emeritus Bidang Kriminologi Universitas Airlangga)

Kita sudah memasuki abad digital dan penerbangan ruang angkasa. Namun, di Indonesia justru ada yang berusaha memutar jarum jam: kembali ke masa sebelum abad pertengahan dengan menjadikan santet sebagai suatu perbuatan pidana atau kejahatan.

Lalu, ada anggota DPR yang hendak melakukan studi santet ke Eropa. Sepanjang yang saya ketahui, santet hanya menjadi problematik hukum di beberapa negara di Afrika dan Kanada.

Minggu, 03 Mei 2015

MEMAHAMI ASAS PRADUGA BERSALAH DAN TIDAK BERSALAH



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Dosen Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

PADA kasus money politics (baca: korupsi) yang melibatkan sejumlah anggota parlemen baik di pusat maupun daerah seperti isu suap yang menimpa Komisi IX DPR dalam kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), isu pembagian uang sebesar Rp 250 juta kepada tiap anggota DPRD Jawa Barat, dan kasus suap Jogja Expo Center (JEC) yang menjadikan Herman Abdurrahman, anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai terdakwa (Kompas, 6/10), para wakil rakyat yang mulia itu dengan tanpa rasa risi dan malu masih tegar tampil di hadapan publik seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.

MEMAHAMI GRATIFIKASI



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Wacana mengenai gratifikasi kembali muncul. Ini menyusul pemberian uang sebanyak 120.000 dollar Singapura dari M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar yang terjadi September 2010. Namun, kejadian baru terungkap ke publik tiga minggu lalu.

Apakah perbuatan M Nazaruddin dapat dikategorikan sebagai suatu gratifikasi? Tulisan berikut mencoba mengulasnya.

Jumat, 01 Mei 2015

HAL IHWAL PENYITAAN




Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Ketegangan antara Partai Keadilan Sejahtera dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meruncing menyusul tindakan pimpinan PKS yang melaporkan sejumlah oknum KPK ke Mabes Polri. Laporan tersebut terkait penyitaan oleh KPK terhadap sejumlah mobil yang diduga berhubungan dengan tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishak, di kantor PKS beberapa waktu lalu. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur hal ihwal penyitaan?

Hakikat Penyitaan
Penyitaan adalah salah satu upaya paksa—selain penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan surat—yang dapat dilakukan terhadap barang atau benda yang diduga terkait suatu tindak pidana. Penyitaan ini pada hakikatnya dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk melakukan penyitaan diperlukan beberapa prosedur, antara lain surat izin ketua pengadilan negeri.

Jumat, 10 April 2015

HAL IHWAL PRAPERADILAN





Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Nit agit exemplum litem quo lite resolvit. Demikian suatu postulat yang berarti menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara itu.

Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem Eropa Kontinental, termasuk Indonesia, bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya. Dalam konteks putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK, tidak serta-merta mengikat para tersangka lain yang sedang mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka tersebut. Setiap perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula.

Minggu, 29 Maret 2015

Pantaskah ‘Anak-anak’ Dihukum Mati


Oleh : Reza Indragiri Amriel 
(Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Anggota World Society of Victimology)

Seorang bocah di Nias divonis bersalah atas pembunuhan berencana yang telah ia lakukan. Hakim juga memutuskan, bocah tersebut-dan saudara sepupunya-dijatuhi ganjaran hukuman mati. Banyak orang terperangah begitu mengetahui beratnya hukuman bagi anak-anak, betapa pun ia telah melakukan kebiadaban yang mengerikan.

Jumat, 20 Maret 2015

Resensi Buku : AKTUALISASI HUKUM KONTEMPORER (Respons Atas Persoalan Hukum Nasional dan Internasional)


Ilmu hukum akan selalu berkembang seiring perkembangan peradaban manusia. Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang juga selalu berkembang selain untuk mencapai cita keilmuan, tetapi juga bersifat preskriptif dan terapan sebagaimana pendapat Manheim, bahwa ilmu pengetahuan merupakan “….an (intersubjective), accurate, systematic analysis of a determinate body of (empirical) data, in order to discover recurring relationship among phenomena”. Ilmu hukum dalam penerapan dan perkembangannya tidak hanya digunakan sebagai “tools” atau alat untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian, tetapi hukum juga merupakan tujuan dari berbagai proses kehidupan. Perkembangan ilmu hukum yang dinamis inilah yang berhasil dicerna dan dituangkan dalam rangkaian tulisan AKTUALISASI HUKUM KONTEMPORER: Respons Atas Persoalan Hukum Nasional dan Internasional oleh komunitas Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan 2011 dan 2013. Dalam buku ini hukum digambarkan secara komprehensif dan aktual serta dianalisis sesuai latar belakang dan keahlian masing-masing penulis. Buku ini secara general mampu memberikan gambaran berbagai pemikiran hukum, sebagai respons atas dinamika Hukum Nasional dan Internasional.

Senin, 09 Maret 2015

Penyertaan Dalam Sumpah Palsu



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Istilah "kriminalisasi KPK" kembali mengemuka menyusul ditangkapnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) oleh Bareskrim Polri atas sangkaan penyertaan dalam sumpah palsu sebagaimana diancam dalam Pasal 242 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 KUHP.

Kendatipun demikian, istilah kriminalisasi tidaklah tepat secara teoretis. Kriminalisasi adalah bagian dari kebijakan hukum pidana berupa proses penetapan suatu perbuatan yang tadinya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana. Tulisan singkat ini akan mengulas dua hal. Pertama, terkait hal ihwal penangkapan dan penahanan itu sendiri. Kedua, mengenai pasal yang disangkakan.

Jumat, 20 Februari 2015

MENYANDERA DENGAN STATUS TERSANGKA



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

DALAM perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang dari pada cahaya. Adagium ini mengandung makna bahwa membuktikan seseorang pelaku tindak pidana tidaklah hanya berdasarkan persangkaan semata-mata, tetapi juga bukti-bukti yang ada harus jelas, terang, akurat, dan tidak terbantahkan.

Penetapan seseorang sebagai tersangka, berikut penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana, berkorelasi positif dengan pembuktian. Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keada- annya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

IMUNITAS DALAM HUKUM PIDANA



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Harian Kompas menerbitkan artikel tiga kolega saya: Denny Indrayana, "Urgensi Perppu Perlindungan KPK" (3/2); Amzulian Rifai, "Imunitas Terbatas" (4/2); dan Zainal Arifin Mochtar, "Berdiri Bersama Memberantas Korupsi" (11/2).

Intisari tulisan Denny dan Amzulian pada dasarnya sama: perlu memberi imunitas kepada pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi selama menjabat dan menjalankan tugas. Amzulian bahkan mengusulkan tidak hanya pemimpin KPK yang diberi imunitas, tetapi juga Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kepala Polri.

Zainal berpendapat, perlu adanya perlindungan terhadap KPK dalam melaksanakan tugas tanpa menyebutkan imunitas kepada pemimpinnya dengan merujuk pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Saya cenderung sependapat dengan Zainal, tetapi perlu dijelaskan lebih lanjut perihal perlindungan terhadap lembaga pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud UNCAC.