Jumat, 29 Mei 2015

DELIK PENCABULAN ANAK (BUKAN) DELIK ADUAN



Oleh : Beniharmoni Harefa

Apakah proses penyidikan kasus pencabulan anak dapat dihentikan?”. Demikian salah satu komentar yang muncul dalam diskusi di group facebook yang saya ikuti. “Tidak jarang beberapa kasus pencabulan anak harus berhenti pada proses penyidikan (belum sampai pada tahap sidang di Pengadilan)” tulis salah seorang anggota group yang lain. Penghentian dilakukan biasanya dengan berdalih, “telah ada kesepakatan damai dari para pihak (korban maupun pelaku), untuk apa diperpanjang”. Kesepakatan yang dituangkan dalam surat perjanjian damai itu, acapkali menjadi dasar untuk menghentikan kasus pencabulan anak.

Kamis, 28 Mei 2015

PRAPERADILAN DAN MASA DEPAN KPK


Oleh : Mudzakkir 
(Dosen Hukum Pidana FH UII Yogyakarta)

Praperadilan seolah-olah menjadi ancaman yang serius terhadap eksistensi KPK, karena tiga putusan pengadilan telah menetapkan bahwa penggunaan wewenang penyidik pada KPK dalam proses penyidikan dinilai tidak sesuai dengan UU. Ketiga putusan tersebut memuat konten yang relatif baru dan menjadi perhatian bagi pemerhati hukum pidana dan masyarakat umum serta menimbulkan interpretasi yang beragam. Adapun konten putusan gugatan praperadilan dimaksud, yaitu mengenai status penyidik KPK yang telah mengundurkan diri dari penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan keputusan mengenai penetapan tersangka oleh penyidik (yang ternyata sejalan dengan materi putusan MK), sedangkan yang lainnya sudah menjadi persoalan hukum acara pidana yang sering diajukan menjadi materi gugatan praperadilan penggunaan wewenang penyidik dalam proses penyidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Senin, 25 Mei 2015

PERIHAL PENYEBARAN FOTO ANAK YANG SEDANG DISANKSI


Oleh : Beniharmoni Harefa

Belum lama ini, di media sosial (facebook) beredar sebuah foto empat orang siswa setingkat SMA. Di dalam foto terlihat keempat siswa sedang duduk (jongkok) di lantai kelas sekolah, masing-masing siswa terlihat menjepit dengan bibirnya dua batang rokok yang sudah dibakar. Dari keterangan gambar yang diberikan sang pengupload (yang memasukkan gambar ke media sosial), bahwa keempat siswa ini sedang menjalani sanksi (hukuman) sebagai akibat perbuatan mereka yang kedapatan merokok pada jam pelajaran sekolah.

Tindakan pengupload yang merupakan guru dari siswa-siswa yang disanksi itu, sontak ditanggapi beragam oleh para netizen (pengguna media sosial). Pro dan kontra menghiasi komentar-komentar sebagai reaksi menyebarnya foto itu. Sang guru dengan entengnya menjawab : “ini adalah sanksi bagi siswa yang membandel”.

Merespon tindakan sang guru, tulisan berikut hendak memberi “sedikit” sumbangsih pemikiran menyangkut perihal penyebaran/ publikasi identitas anak. Hal tersebut berkaitan dengan pertama, apakah sanksi yang diberikan guru kepada siswa sudah tepat. Kedua, bagaimana pengaturan perihal penyebaran/ publikasi identitas anak dalam aturan hukum kita. Ketiga atau yang terakhir apakah si penyebar foto anak dapat dikenakan sanksi.

Minggu, 24 Mei 2015

MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Harian Kompas edisi 1 April 2015 menerbitkan artikel dengan judul "Niat dan Perbuatan Jahat" yang ditulis oleh kolega penulis, Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada Profesor Hikmahanto, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman singkat terkait tindak pidana korupsi (tipikor) dan menanggapi beberapa hal dalam artikel tersebut.

NIAT DAN PERBUATAN JAHAT



Oleh : Hikmahanto Juwana 
(Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia)

Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sejumlah pegiat anti korupsi lain dijadikan tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri.

Penyidik menyangka adanya kerugian negara yang diakibatkan proyek paspor elektronik atau payment gateway.

Jumat, 22 Mei 2015

HAK ASUH ATAU PENGASUHAN



Oleh : Reza Indragiri Amriel 
(Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Penulis Buku “Ajari Ayah, ya Nak”)

Penelantaran lima orang anak di Cibubur menjadi contoh nyata bahwa orang tua biologis tidak serta merta mampu menjadi orang tua efektif. Begitu pula, tidak ada jaminan mutlak bahwa orang tua yang terdidik secara akademis akan lebih mumpuni mengasuh anak-anak mereka. Ketika anak mengalami situasi luar biasa semacam itu, termasuk contoh lain adalah pasca perceraian, muncul pertanyaan tentang siapa yang akan menjalankan peran sebagai pengasuh anak-anak malang tersebut.

Kamis, 07 Mei 2015

PASAL KERANJANG SAMPAH



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Lebih dari 75 persen tersangka korupsi selalu menggunakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik yang dijerat oleh Polri, Kejaksaan, maupun oleh KPK.

Agar tidak bias, kedua pasal tersebut dikutip sebagai berikut. Pasal 2 Ayat (1), ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.”

Rabu, 06 Mei 2015

SANTET DAN KUMPUL KEBO



Oleh : JE Sahetapy
(Guru Besar Emeritus Bidang Kriminologi Universitas Airlangga)

Kita sudah memasuki abad digital dan penerbangan ruang angkasa. Namun, di Indonesia justru ada yang berusaha memutar jarum jam: kembali ke masa sebelum abad pertengahan dengan menjadikan santet sebagai suatu perbuatan pidana atau kejahatan.

Lalu, ada anggota DPR yang hendak melakukan studi santet ke Eropa. Sepanjang yang saya ketahui, santet hanya menjadi problematik hukum di beberapa negara di Afrika dan Kanada.

Minggu, 03 Mei 2015

MEMAHAMI ASAS PRADUGA BERSALAH DAN TIDAK BERSALAH



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Dosen Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

PADA kasus money politics (baca: korupsi) yang melibatkan sejumlah anggota parlemen baik di pusat maupun daerah seperti isu suap yang menimpa Komisi IX DPR dalam kasus Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), isu pembagian uang sebesar Rp 250 juta kepada tiap anggota DPRD Jawa Barat, dan kasus suap Jogja Expo Center (JEC) yang menjadikan Herman Abdurrahman, anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai terdakwa (Kompas, 6/10), para wakil rakyat yang mulia itu dengan tanpa rasa risi dan malu masih tegar tampil di hadapan publik seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya.

MEMAHAMI GRATIFIKASI



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Wacana mengenai gratifikasi kembali muncul. Ini menyusul pemberian uang sebanyak 120.000 dollar Singapura dari M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar yang terjadi September 2010. Namun, kejadian baru terungkap ke publik tiga minggu lalu.

Apakah perbuatan M Nazaruddin dapat dikategorikan sebagai suatu gratifikasi? Tulisan berikut mencoba mengulasnya.

Jumat, 01 Mei 2015

HAL IHWAL PENYITAAN




Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Ketegangan antara Partai Keadilan Sejahtera dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meruncing menyusul tindakan pimpinan PKS yang melaporkan sejumlah oknum KPK ke Mabes Polri. Laporan tersebut terkait penyitaan oleh KPK terhadap sejumlah mobil yang diduga berhubungan dengan tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishak, di kantor PKS beberapa waktu lalu. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur hal ihwal penyitaan?

Hakikat Penyitaan
Penyitaan adalah salah satu upaya paksa—selain penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan surat—yang dapat dilakukan terhadap barang atau benda yang diduga terkait suatu tindak pidana. Penyitaan ini pada hakikatnya dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk melakukan penyitaan diperlukan beberapa prosedur, antara lain surat izin ketua pengadilan negeri.