Senin, 20 Juni 2016

KPK Vs BPK

Polemik KPK Vs BPK terkait kasus Sumber Waras perspektif hukum pidana. Penyelidikan KPK lebih mendalam. -Foto ilustrasi : www.ampera.co 

Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Terkait pembelian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, terdapat perbedaan pendapat secara diametral antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam pemeriksaan auditnya, BPK menemukan indikasi kerugian keuangan negara Rp 191,3 miliar dalam pembelian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, sedangkan penyelidikan yang dilakukan oleh KPK tidak menemukan adanya unsur korupsi dalam kasus itu (Kompas, 16/6/2016).

Audit yang dilakukan oleh BPK didasarkan pada Peraturan Presiden No 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah, sementara KPK dalam melakukan penyelidikan merujuk pada Perpres No 40/2014 tentang perubahan keempat atas Perpres No 71/2012. Jika terjadi demikian, pendapat manakah yang dapat dijadikan rujukan?

Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), bila terjadi perbedaan pendapat antara KPK dan BPK mengenai suatu peristiwa hukum, yang harus dijadikan pegangan adalah penyelidikan oleh KPK. Ada beberapa argumentasi hukum yang memperkuat pendapat KPK terkait suatu peristiwa hukum.

Pertama, audit yang dilakukan oleh seorang auditor pada hakikatnya menguji kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur atau sistem dan kepatutan. Jika ditemukan penyimpangan, maka dapat dilanjutkan dengan audit investigasi. Audit investigasi dilakukan untuk mendalami temuan yang diduga suatu penyimpangan, menemukan dan mengumpulkan bukti serta menyerahkan bukti kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.

Sementara penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan mengumpulkan bukti dalam rangka menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana. Artinya, penyelidikan yang dilakukan terhadap suatu peristiwa tentunya lebih mendalam bila dibandingkan dengan audit yang dilakukan terhadap suatu peristiwa hukum.

Kedua, adanya indikasi kerugian keuangan negara berdasarkan temuan BPK pada hakikatnya hanyalah berupa fakta. Apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi ataukah ranah perdata ataukah ranah pidana, harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Klarifikasi atas temuan tersebut bukanlah kewenangan BPK, bahkan BPK tidak memiliki preknowledge untuk menjustifikasi apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, ataukah ranah pidana.

Ketiga, haruslah dipahami bahwa tidak selamanya kerugian keuangan negara identik dengan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal 32 UU Tipikor membuka kemungkinan adanya kerugian keuangan negara, akan tetapi dalam ranah perdata. Oleh karena itu, ketika KPK berpendapat berdasarkan hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa hukum tidak memenuhi unsur korupsi, maka penyelidikan tersebut sudah dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dari sudut pandang auditor semata, tetapi juga pendapat ahli lainnya, termasuk ahli hukum terkait.

Keempat, dalam konteks pembuktian, bukti berdasarkan perspektif seorang auditor berbeda dengan bukti berdasarkan perspektif juris. Pembuktian dalam hukum-terlebih hukum pidana-bersifat rigid yang didasarkan pada enam parameter pembuktian: (1) dasar-dasar pembuktian (bewijs gronden); (2) alat-alat bukti (bewijs middelen); (3) cara menemukan, memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti di depan persidangan (bewijsvoering); (4) beban pembuktian (bewijslast); (5) minimum bukti (bewijs minimmum); (6) dan kekuatan pembuktian (bewijs kracht). Perbedaan persepsi yang demikian mengakibatkan perbedaan pendapat mengenai suatu peristiwa hukum.

Kelima, hasil audit bukanlah satu-satunya parameter adanya indikasi tindak pidana korupsi. Namun tidak berarti sebaliknya, bahwa jika hasil audit tidak menemukan adanya penyimpangan, bukanlah berarti bahwa tidak ada tindak pidana korupsi. Banyak kasus korupsi yang kemudian diungkap penegak hukum, baik oleh KPK, kejaksaan, maupun kepolisian, padahal berdasarkan hasil audit tidak ditemukan adanya penyimpangan.

Keenam, in casu a quo, dengan asumsi pemberitaan yang dilansir oleh berbagai media adalah benar bahwa dasar aturan yang digunakan oleh BPK untuk mengaudit sudah tidak lagi berlaku, maka telah terjadi error juris dalam menganalisis suatu peristiwa hukum. Dalam hukum berlaku adagium lex posteriori derogat lege priori, yang berarti bahwa aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum terdahulu.

Seandainya jika pada saat audit dilakukan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka dalam konteks yang demikian berlaku prinsiplex favor reo. Artinya, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan.

* * *

Dimuat pada harian KOMPAS, Sabtu/18 Juni 2016

Sabtu, 04 Juni 2016

PENDIDIKAN MENEGASIKAN KEKERASAN


Ari Kristianawati 
(Guru SMAN 1 Sragen)

Isu kriminalisasi guru menjadi diskursus publik saat Nurmayani, guru SMPN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan, ditahan polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan terhadap seorang siswanya. Nurmayani dilaporkan orang tua siswa yang seorang anggota kepolisian dengan tuduhan mencubit anaknya. Penahanan Nurmayani memicu gelombang protes di jejaring media sosial dan mendorong advokasi hukum dari pelbagai kalangan. Akhirnya, Bu Guru Nurmayani dibebaskan dari tahanan.

Minggu, 15 Mei 2016

PERLU PERSIAPAN MATANG, MENERAPKAN UU SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK



Oleh : Beniharmoni Harefa

Kekerasan seksual pada anak, kembali terjadi. YY seorang anak asal Bengkulu berusia 14 tahun diperkosa, lalu dibunuh, pada 2 April yang lalu. Usai diperkosa YY diikat, dibunuh dan dibuang ke jurang. YY, siswi sekolah menengah pertama di Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, diperkosa dan dibunuh oleh 14 pria. Sebagian pelaku merupakan pelajar, yang berdasarkan Undang-Undang sistem peradilan pidana anak, masih tergolong usia anak.

Selasa, 10 Mei 2016

MENCARI ALTERNATIF PIDANA PENJARA

Pidana denda, pidana percobaan dengan pengawasan, pidana kerja sosial, menjadi beberapa alternatif selain pidana penjara. -Foto ilustrasi : prasxo.wordpress.com

Oleh : MULADI
(Guru Besar Hukum Pidana Emeritus FH UNDIP Semarang)

Data populasi lembaga pemasyarakatanper 25 April 2016 dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM di seluruh Indonesia (Kompas, 27 April 2016), sangat mengejutkan, mengerikan, dan sudah tak manusiawi.

Total tahanan dan narapidana di seluruh Indonesia berjumlah 187.701 orang. Padahal, kapasitas total lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia idealnya hanya untuk 119.269 orang. Kelebihan kapasitas ini merupakan akar permasalahan kekacauan di lapas akhir-akhir ini, di samping masalah narkoba, kurangnya jumlah petugas, konflik antar-napi, dan lain-lain.

Jumat, 29 April 2016

ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI

Keterangan Ahli yang objektif sangat diperlukan dalam Peradilan Hukum. 
-Ilustrasi : www.kompas.com

Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Pembuktian di persidangan, baik dalam perkara pidana, perdata, tata usaha negara, maupun beracara di Mahkamah Konstitusi, salah satu alat bukti yang sering dihadirkan dalam persidangan-selain alat bukti keterangan saksi dan surat-adalah keterangan ahli. Bahkan, dalam hukum pembuktian modern, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang berlaku secara universal selain testimoni, dokumen, dan bukti fisik (real/physical evidence).

Arthur Best dalam Evidence dan Ian Dennis dalam The Law Evidence, serta Tristam Hodgkinson dan James Mark dalam Expert Evidence berpendapat bahwa paling tidak ada lima hal terkait keterangan ahli.

Kamis, 21 April 2016

USIA PERKAWINAN PROGRESIF

Batas usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Putusan MK menolak menaikkan, karena dinilai masih tetap relevan. -Foto ilustrasi : www.merdeka.com

Oleh : SUTEKI
(Guru Besar Ilmu Hukum dan Masyarakat FH UNDIP Semarang)

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sontak menyatakan kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak menaikkan batas usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 tahun ke 18 tahun. Putusan MK terkait Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 menjadi sangat terbuka untuk diperdebatkan (debatable).

Rabu, 20 April 2016

PELAKU DAN KORBAN PENCABULAN, SAMA-SAMA ANAK

Pelaku pencabulan terhadap anak, tetap dapat dipidana meski pelaku masih tergolong Anak. -Foto:ilustrasi

Oleh : Beniharmoni Harefa

Seandainya pelaku dan korban tindak pidana pencabulan, sama-sama tergolong anak, maka bagaimana penanganannya dari perspektif hukum pidana ? 


Agar tidak bias makna, dalam Pasal 1 ayat (3) UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Berdasarkan UU a quo, dapat dipahami bahwa seseorang (anak) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yakni anak antara umur 12 sampai 18 tahun. Konsekuensi logis, kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan lebih dari 18 tahun sudah termasuk dewasa.

Rabu, 13 April 2016

LISTRIK PADAM, PERSIAPAN UN TAK OPTIMAL

Krisis listrik di Pulau Nias sejak 1 April yang lalu, mengganggu persiapan para siswa menghadapi Ujian Nasional (UN). -Ilustrasi gambar: Harian Analisa/ Selasa, 12 April 2016

Oleh : Beniharmoni Harefa

Tepat pukul 00.00 Wib, Jumat 1 April 2016 yang lalu, sebagian besar wilayah di Pulau Nias, gelap gulita. Aliran listrik ke rumah-rumah warga, diputus oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Padahal, mulai 4 April 2016, ujian nasional (UN) bagi siswa-siswi SMA/SMK sederajat, dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, termasuk di Pulau Nias. Hingga UN berakhir pada 7 April, pemadaman listrik pun tak kunjung usai.

Selasa, 12 April 2016

KEADILAN APA YANG ADIL UNTUK AKIL ?

Keadilan Apa Yang Adil Untuk Akil? -Harian Sinar Indonesia Baru SIB/ 24 Okt 2013

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sudah lebih 2 pekan, pemberitaan tentang Akil Mochtar mewarnai media massa tanah air. Betapa tidak sang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, sulit menghindar dan berkata “tidak” pasca operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya. Bukan hanya korupsi yang dijerat kepada mantan “sang negarawan”, dugaan kepemilikan narkoba yang ditemukan di dalam ruangannya juga masih menjadi pembicaraan hangat khalayak. Kendati hasil pemeriksaan Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan Akil negatif mengkonsumsi narkotika, namun kiranya keberadaan barang terlarang itu di dalam ruangan Ketua MK dapat dijelaskan.

KEADILAN HUKUM BAGI ANAK NAKAL

Keadilan Hukum Bagi Anak Nakal -Harian Sinar Indonesia Baru SIB/30 Okt 2013

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sebut saja AH inisial nama dari seorang anak nakal, umurnya 13 tahun, tertangkap tangan pada saat hendak mencuri telpon genggam (HP) di sebuah counter tidak jauh dari Polres Nias. Dari hasil sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Gunungsitoli, terungkap bahwa AH bukan pertama kali tertangkap dan diproses secara hukum. Sekitar 2 bulan yang lalu AH bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) karena sebelumnya dijatuhi putusan 3 bulan penjara juga karena kasus pencurian. AH yang sejak kecil tidak mengenali siapa orang tuanya ini, terpaksa harus berhadapan dengan aparat hukum karena perbuatan nakal yang dilakukannya.

Senin, 11 April 2016

My books





Dear friends,
khususnya aktifis, pengajar dan peneliti perlindungan anak

Sebagai wujud kecintaan pada dunia perlindungan anak, saya mencoba mendokumentasikan beberapa karya tulis ke dalam bentuk buku dan telah diterbitkan. Salah satu tujuannya sebagai referensi, guna mempermudah para pegiat perlindungan anak (termasuk: dosen, praktisi, mahasiswa, dan kalangan umum) dalam mempelajari dan memahami hal-hal terkait perlindungan anak.







Dibawah ini buku-buku yang pernah saya tulis, perihal perlindungan anak. Buku bisa diperoleh diberbagai toko buku, atau bisa juga melalui website penerbitnya, atau pesan melalui blog ini. Buku akan dikirim langsung ke alamat pemesan.

1. Aktualisasi Hukum Kontemporer Respons Atas Persoalan Hukum Nasional dan Internasional (Penerbit : Genta Press Yogyakarta)








Buku ini sebenarnya kumpulan tulisan dari teman-teman, komunitas Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada angkatan tahun 2011 dan 2013. Dalam buku ini hukum digambarkan secara komprehensif dan aktual serta dianalisis sesuai latar belakang dan keahlian masing-masing penulis. Buku ini secara general mampu memberikan gambaran berbagai pemikiran hukum, sebagai respons atas dinamika hukum Nasional dan Internasional.

Secara khusus, dalam buku ini saya membahas perihal Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bahwa Diversi berbasis Restorative Justice yang baru saja diterapkan di Indonesia melalui UU No 11 Tahun 2012 ttg Sistem Peradilan Pidana Anak, menurutku diversi itu memberikan perlindungan terhadap hak asasi anak. Meski diversi tersebut masih menemui kelemahan-kelemahan.

Buku ini diterbitkan oleh Genta Press Yogyakarta. Jika berminat bisa pesan melalui blog ini (tinggalkan pesan atau email ke beni_harefa@yahoo.com) atau langsung melalui website :

http://www.gentabookstore.com/aktualisasi-hukum-kontemporer-respons-atas-persoalan-hukum-nasional-dan-internasional/


2. Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak (Penerbit : Deepublish Yogyakarta)




Buku ke 2 ini, mengulas terkait isu-isu penting dalam upaya perlindungan hukum bagi anak. Perlindungan hukum bagi anak penyalahguna narkotika, perlindungan hukum bagi pekerja anak, perlindungan hukum bagi anak korban trafficking, perlindungan hukum anak korban kekerasan di sekolah, perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan pornografi, perlindungan hukum bagi anak dalam peradilan pidana, perlindungan hukum bagi anak dalam peradilan pidana, perlindungan hukum bagi anak yang dilibatkan dalam aksi teror, diulas baik dari sisi normatif dipadukan dari sisi praktis. Realitas perlindungan anak secara praktik ketika saya menjadi staf advokasi di Lembaga Perlindungan Anak (PKPA Nias).
Buku ini diterbitkan oleh Deepublish Yogyakarta. Jika berminat bisa pesan melalui blog ini (tinggalkan pesan atau email ke beni_harefa@yahoo.com) atau pesan langsung melalui website :

http://www.deepublish.co.id/penerbit/buku/915/Kapita-Selekta-Perlindungan-Hukum-bagi-Anak


3. Seputar Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Anak dan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia (Penerbit : Deepublish Yogyakarta)





Pada buku ke 3 ini, saya menulis bersama teman mahasiswa program doktor ilmu hukum ugm jogja. Tentunya, bagian saya seputar perkembangan sistem peradilan pidana anak di Indonesia, sedangkan, rekan menulis perihal seputar perkembangan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.

Khusus tentang perkembangan seputar sistem peradilan pidana anak, saya mengelaborasi lagi perihal diversi. Bab pertama diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Bab kedua mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak. Bab ketiga perlindungan hak anak melalui diversi dalam sistem peradilan pidana anak.

Buku ini diterbitkan oleh Deepublish Yogyakarta. Jika berminat bisa pesan melalui blog ini (tinggalkan pesan atau email ke beni_harefa@yahoo.com) atau langsung pesan melalui website :
http://www.deepublish.co.id/penerbit/buku/916/Seputar-Perkembangan-Sistem-Peradilan-Pidana-Anak-Tindak-Pidana-Narkotika-di-Indonesia



Selasa, 15 Maret 2016

KASUS SAIPUL JAMIL DIHENTIKAN, MUNGKINKAH ?

Kasus Saipul Jamil Dihentikan, Mungkinkah ? - Harian Analisa/Jumat 26 Feb 2016

Oleh : Beniharmoni Harefa

Kasus pencabulan anak di bawah umur kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung, pelaku kali ini seorang figur publik di dunia hiburan tanah air, Saipul Jamil. Bang Ipul, begitu ia akrab dipanggil, menjadi tersangka atas kasus pencabulan terhadap anak berusia 17 tahun, berinisial DS. Mantan suami Dewi Persik itu, dijerat pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak tersebut, jika terbukti bersalah, ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, menanti Saipul.

Pasca penetapan Saipul sebagai tersangka, santer terdengar kabar, jika kasus ini hendak dihentikan. Entah siapa yang mulai menghembuskan, namun pihak polisi dengan tegas membantah kabar tersebut. Kasus pencabulan anak di bawah umur, jelas tidak dapat dihentikan. Delik pencabulan anak bukan delik aduan. Negara sangat serius memberikan perlindungan hukum bagi anak. Namun, dalam praktek, tidak jarang terjadi kasus pencabulan anak dihentikan.

FOTO ANAK DIHUKUM - DI MEDIA SOSIAL

Foto Anak Dihukum - di Media Sosial - Harian Analisa/ Selasa 19 Jan 2016

Oleh : Beniharmoni Harefa

Belum lama ini, di media sosial (facebook) beredar sebuah foto empat orang siswa setingkat SMA. Di dalam foto terlihat keempat siswa sedang duduk (jongkok) di lantai kelas sekolah, masing-masing siswa terlihat menjepit dengan bibirnya dua batang rokok yang sudah dibakar. Dari keterangan gambar yang diberikan sang pengupload (yang memasukkan gambar ke media sosial), bahwa keempat siswa ini sedang menjalani sanksi (hukuman) sebagai akibat perbuatan mereka yang kedapatan merokok pada jam pelajaran sekolah.

Tindakan pengupload yang merupakan guru dari siswa-siswa yang disanksi itu, sontak ditanggapi beragam oleh para netizen (pengguna media sosial). Pro dan kontra menghiasi komentar-komentar sebagai reaksi menyebarnya foto itu. Sang guru dengan entengnya menjawab : “ini adalah sanksi bagi siswa yang membandel”.

Merespon tindakan sang guru, tulisan berikut hendak memberi “sedikit” sumbangsih pemikiran menyangkut penyebaran/ publikasi identitas anak. Hal tersebut berkaitan dengan pertama, apakah sanksi yang diberikan guru kepada siswa sudah tepat. Kedua, bagaimana pengaturan perihal penyebaran/ publikasi identitas anak dalam aturan hukum kita. Ketiga atau yang terakhir apakah si penyebar foto anak dapat dikenakan sanksi.

PEMILUKADA DAN UPAYA PERLINDUNGAN ANAK

Pemilukada dan Upaya Perlindungan Anak - Harian Analisa/Rabu 9 Des 2015

Oleh : Beniharmoni Harefa

“ Anakmu bukanlah milikmu,….patut kau berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka (anak) adalah penghuni masa depan yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian…”. Sepenggal puisi Kahlil Gibran ini memiliki arti mendalam bagi upaya perlindungan anak. Pujangga Lebanon itu, hendak mengingatkan kita betapa anak adalah harapan masa depan. Kemajuan suatu Negara di masa depan, turut ditentukan oleh bagaimana anak dipersiapkan menghadapi masa depan.

Upaya perlindungan terhadap anak memang telah menjadi komitmen global dan nasional. Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah disepakati oleh negara-negara di dunia, telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres No 36 Tahun 1990. Konstitusi Negara kita, juga mengamanatkan kewajiban Negara dalam pemenuhan hak-hak anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Senin, 07 Maret 2016

DAMPAK BURUK ANAK BERADA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Dampak buruk anak berada dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. -Foto:www.psychologibenefits.org


Oleh : Beniharmoni Harefa

Menempatkan anak di dalam sistem peradilan pidana, mempunyai dampak buruk bagi kehidupan mereka (anak). Dampak buruk atau dampak negatif tersebut, mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak, hingga pada akhirnya berlanjut merusak masa depan mereka.

Berikut beberapa dampak buruk, yang penulis rangkum dari berbagai referensi. Referensi tersebut ditulis oleh mereka, yang fokus meneliti perihal anak yang ditempatkan dalam sistem peradilan pidana anak.

Dampak buruk tersebut, antara lain :

Minggu, 06 Maret 2016

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Sistem peradilan pidana anak. -Foto:www.theatlantic.com

Oleh : Beniharmoni Harefa


Sistem peradilan pidana anak dapat dipahami, dengan terlebih dahulu memahami sistem peradilan pidana.

Sistem Peradilan Pidana


Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana substansial, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana (Muladi, 1995:22).

Sistem peradilan pidana, pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan hukum pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto” (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010:197).

AKTA KELAHIRAN - MELINDUNGI ANAK

Akta kelahiran-Akta otentik-Melindungi anak

Oleh : Beniharmoni Harefa

Pada Maret 2015 yang lalu, YT seorang anak terpidana mati kasus pembunuhan, menjadi perbincangan publik. Berita mencuat karena YT diduga berusia anak. Berdasarkan surat baptis dan pengakuan, YT masih belum berumur 18 tahun.

Majelis hakim menjatuhkan vonis mati kepada YT, karena terbukti sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan terhadap tiga orang yang berinisial KZ, JG, RH di tahun 2012. Pembunuhan tersebut dilakukan, saat korban hendak membeli tokek, di salah satu desa di Pulau Nias.

PENERAPAN DIVERSI BERBASIS KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA

Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak
-Foto:www.adeca.alabama.gov.co.id

Oleh : Beniharmoni Harefa


Diversi berbasis keadilan restoratif menjadi hal mendasar, dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang terbaru. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diversi wajib diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana anak.



Maka untuk melatih penerapan diversi tersebut, pada 1-2 Oktober 2015, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) kepada setiap pihak yang terlibat dalam forum diversi. Bertindak selaku fasilitator ToT Misran Lubis, yang merupakan Direktur Eksekutif PKPA.

Sabtu, 05 Maret 2016

DIVERSI BERBASIS KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Menempatkan anak dalam Sistem Peradilan Pidana berdampak buruk bagi masa depan Anak.
-Foto:www.davisvanguard.org

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia secara tegas mengatur perihal diversi berbasis keadilan restoratif. Diversi dan keadilan restoratif merupakan hal paling mendasar yang membedakan UU No 11 Tahun 2012 dengan UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.




Maka untuk mensosialisasikan perubahan itu, pada Selasa 21 Mei 2013, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, menyelenggarakan Sosialisasi Restorative Justice (Keadilan Restoratif). 






Sosialisasi tersebut menghadirkan narasumber Dr. Marlina, S.H.,M.Hum, dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga sebagai ahli sistem peradilan pidana anak.





Tulisan berikut, merupakan materi serta hasil diskusi dari sosialisasi tersebut. Penulis mengelaborasi dari makalah Dr Marlina dan dari diskusi yang berkembang pada pertemuan dimaksud. Tulisan mengulas konsep dan tujuan diversi, serta kaitan diversi dengan keadilan restoratif.



Kamis, 25 Februari 2016

MENELISIK KASUS SAIPUL JAMIL

(sumber gambar : inilah.com)

Oleh : Reza Indragiri Amriel
(Lulusan Psikologi UGM; Pegiat Gerakan Indonesia Beradab)

Pedangdut Saipul Jamil diringkus polisi setelah dilaporkan berbuat tidak senonoh oleh korbannya. Korban tersebut adalah seorang remaja lelaki berusia sekitar 17 tahun.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) seketika bertindak. KPAI, antara lain, mengeluarkan delapan butir pernyataan sikapnya atas kasus Saipul tersebut dan disertai rekomendasi terkait dengan perlindungan anak agar kejadian serupa tidak terulang.

Di dalam pernyataan KPAI tercantum kata ’’pedofilia’’ dan ’’homoseksual’’. Dua kata yang kemudian ditanggapi beragam. Termasuk kecaman oleh kalangan pro-LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) karena dianggap mengaitngaitkan pedofilia sebagai kejahatan dengan homoseksual sebagai suatu pilihan orientasi seksual.

Senin, 01 Februari 2016

BACAAN ANAK PADA PENDIDIKAN HOLISTIK

(sumber gambar : gambar.co.id)

Oleh : H WITDARMONO
(Penerbit Koran Anak)

Saat sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Program Penumbuhan Budi Pekerti kepada para kepala dinas pendidikan provinsi se-Indonesia di Jakarta, 10 Juli 2015, Mendikbud Anies Baswedan memberi perhatian khusus pada nilai kelima gerakan itu: pengembangan potensi utuh siswa.

Katanya, tugas yang harus dilakukan mendorong kecakapan dasar atas minat anak adalah mewajibkan murid 15 menit pertama membaca buku selain buku mata pelajaran. Melalui buku yang dibaca, potensi siswa tumbuh bersamaan dengan terciptanya ruang mengembangkan minat dan bakatnya.

Perkataan Mendikbud itu benar. Membaca (dan menulis) bukanlah kemampuan alami macam berbicara atau menangis, tetapi harus dipelajari dan sangat terkait dengan pengembangan serta pertumbuhan otak manusia (IY Liberman, D Shankweiler, dan AM Liberman, 1989; GR Lyon, 1998). Membaca butuh pembelajaran, pendidikan, dan budaya.

Minggu, 24 Januari 2016

KOMITMEN PERLINDUNGAN ANAK

(sumber gambar : beritasatu.com)

Oleh : Asrorun Ni’am Sholeh 
(Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI)

Selepas Asar, suasana di Kantor Kepresidenan masih lengang. Baru beberapa pejabat negara saja yang hadir, di antaranya Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Mendikbud Anies Baswedan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.

Selain saya sendiri, tentu saja. Sore itu kami dipersilakan menunggu di ruang protokoler Istana. Beberapa jurnalis sibuk mempersiapkan alat-alat rekam mereka di press room . Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menjelaskan, rapat terbatas akan dimulai setengah jam lagi. Seiring itu pula, beberapa menteri hadir satu per satu. Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan tampak berjalan cepat diiringi sejumlah ajudan.