Selasa, 15 Maret 2016

KASUS SAIPUL JAMIL DIHENTIKAN, MUNGKINKAH ?

Kasus Saipul Jamil Dihentikan, Mungkinkah ? - Harian Analisa/Jumat 26 Feb 2016

Oleh : Beniharmoni Harefa

Kasus pencabulan anak di bawah umur kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung, pelaku kali ini seorang figur publik di dunia hiburan tanah air, Saipul Jamil. Bang Ipul, begitu ia akrab dipanggil, menjadi tersangka atas kasus pencabulan terhadap anak berusia 17 tahun, berinisial DS. Mantan suami Dewi Persik itu, dijerat pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak tersebut, jika terbukti bersalah, ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, menanti Saipul.

Pasca penetapan Saipul sebagai tersangka, santer terdengar kabar, jika kasus ini hendak dihentikan. Entah siapa yang mulai menghembuskan, namun pihak polisi dengan tegas membantah kabar tersebut. Kasus pencabulan anak di bawah umur, jelas tidak dapat dihentikan. Delik pencabulan anak bukan delik aduan. Negara sangat serius memberikan perlindungan hukum bagi anak. Namun, dalam praktek, tidak jarang terjadi kasus pencabulan anak dihentikan.

FOTO ANAK DIHUKUM - DI MEDIA SOSIAL

Foto Anak Dihukum - di Media Sosial - Harian Analisa/ Selasa 19 Jan 2016

Oleh : Beniharmoni Harefa

Belum lama ini, di media sosial (facebook) beredar sebuah foto empat orang siswa setingkat SMA. Di dalam foto terlihat keempat siswa sedang duduk (jongkok) di lantai kelas sekolah, masing-masing siswa terlihat menjepit dengan bibirnya dua batang rokok yang sudah dibakar. Dari keterangan gambar yang diberikan sang pengupload (yang memasukkan gambar ke media sosial), bahwa keempat siswa ini sedang menjalani sanksi (hukuman) sebagai akibat perbuatan mereka yang kedapatan merokok pada jam pelajaran sekolah.

Tindakan pengupload yang merupakan guru dari siswa-siswa yang disanksi itu, sontak ditanggapi beragam oleh para netizen (pengguna media sosial). Pro dan kontra menghiasi komentar-komentar sebagai reaksi menyebarnya foto itu. Sang guru dengan entengnya menjawab : “ini adalah sanksi bagi siswa yang membandel”.

Merespon tindakan sang guru, tulisan berikut hendak memberi “sedikit” sumbangsih pemikiran menyangkut penyebaran/ publikasi identitas anak. Hal tersebut berkaitan dengan pertama, apakah sanksi yang diberikan guru kepada siswa sudah tepat. Kedua, bagaimana pengaturan perihal penyebaran/ publikasi identitas anak dalam aturan hukum kita. Ketiga atau yang terakhir apakah si penyebar foto anak dapat dikenakan sanksi.

PEMILUKADA DAN UPAYA PERLINDUNGAN ANAK

Pemilukada dan Upaya Perlindungan Anak - Harian Analisa/Rabu 9 Des 2015

Oleh : Beniharmoni Harefa

“ Anakmu bukanlah milikmu,….patut kau berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka (anak) adalah penghuni masa depan yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian…”. Sepenggal puisi Kahlil Gibran ini memiliki arti mendalam bagi upaya perlindungan anak. Pujangga Lebanon itu, hendak mengingatkan kita betapa anak adalah harapan masa depan. Kemajuan suatu Negara di masa depan, turut ditentukan oleh bagaimana anak dipersiapkan menghadapi masa depan.

Upaya perlindungan terhadap anak memang telah menjadi komitmen global dan nasional. Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah disepakati oleh negara-negara di dunia, telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres No 36 Tahun 1990. Konstitusi Negara kita, juga mengamanatkan kewajiban Negara dalam pemenuhan hak-hak anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Senin, 07 Maret 2016

DAMPAK BURUK ANAK BERADA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Dampak buruk anak berada dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. -Foto:www.psychologibenefits.org


Oleh : Beniharmoni Harefa

Menempatkan anak di dalam sistem peradilan pidana, mempunyai dampak buruk bagi kehidupan mereka (anak). Dampak buruk atau dampak negatif tersebut, mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak, hingga pada akhirnya berlanjut merusak masa depan mereka.

Berikut beberapa dampak buruk, yang penulis rangkum dari berbagai referensi. Referensi tersebut ditulis oleh mereka, yang fokus meneliti perihal anak yang ditempatkan dalam sistem peradilan pidana anak.

Dampak buruk tersebut, antara lain :

Minggu, 06 Maret 2016

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Sistem peradilan pidana anak. -Foto:www.theatlantic.com

Oleh : Beniharmoni Harefa


Sistem peradilan pidana anak dapat dipahami, dengan terlebih dahulu memahami sistem peradilan pidana.

Sistem Peradilan Pidana


Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana substansial, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana (Muladi, 1995:22).

Sistem peradilan pidana, pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan hukum pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto” (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010:197).

AKTA KELAHIRAN - MELINDUNGI ANAK

Akta kelahiran-Akta otentik-Melindungi anak

Oleh : Beniharmoni Harefa

Pada Maret 2015 yang lalu, YT seorang anak terpidana mati kasus pembunuhan, menjadi perbincangan publik. Berita mencuat karena YT diduga berusia anak. Berdasarkan surat baptis dan pengakuan, YT masih belum berumur 18 tahun.

Majelis hakim menjatuhkan vonis mati kepada YT, karena terbukti sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan terhadap tiga orang yang berinisial KZ, JG, RH di tahun 2012. Pembunuhan tersebut dilakukan, saat korban hendak membeli tokek, di salah satu desa di Pulau Nias.

PENERAPAN DIVERSI BERBASIS KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA

Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak
-Foto:www.adeca.alabama.gov.co.id

Oleh : Beniharmoni Harefa


Diversi berbasis keadilan restoratif menjadi hal mendasar, dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang terbaru. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diversi wajib diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana anak.



Maka untuk melatih penerapan diversi tersebut, pada 1-2 Oktober 2015, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) kepada setiap pihak yang terlibat dalam forum diversi. Bertindak selaku fasilitator ToT Misran Lubis, yang merupakan Direktur Eksekutif PKPA.

Sabtu, 05 Maret 2016

DIVERSI BERBASIS KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Menempatkan anak dalam Sistem Peradilan Pidana berdampak buruk bagi masa depan Anak.
-Foto:www.davisvanguard.org

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia secara tegas mengatur perihal diversi berbasis keadilan restoratif. Diversi dan keadilan restoratif merupakan hal paling mendasar yang membedakan UU No 11 Tahun 2012 dengan UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.




Maka untuk mensosialisasikan perubahan itu, pada Selasa 21 Mei 2013, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, menyelenggarakan Sosialisasi Restorative Justice (Keadilan Restoratif). 






Sosialisasi tersebut menghadirkan narasumber Dr. Marlina, S.H.,M.Hum, dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga sebagai ahli sistem peradilan pidana anak.





Tulisan berikut, merupakan materi serta hasil diskusi dari sosialisasi tersebut. Penulis mengelaborasi dari makalah Dr Marlina dan dari diskusi yang berkembang pada pertemuan dimaksud. Tulisan mengulas konsep dan tujuan diversi, serta kaitan diversi dengan keadilan restoratif.