Oleh : Romli Atmasasmita
(Guru Besar Emeritus FH Universitas Padjajaran Bandung)
Seorang Minah telah mencuri tiga buah kakao di suatu tempat di Jawa Tengah dipastikan ancaman hukuman maksimal 5 tahun (Pasal 362) dan semua unsur tindak pidana pencurian dipenuhi. Di tempat lain, A pemegang saham mayoritas melaporkan B pemegang saham minoritas dengan pemalsuan surat (Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP). Kemudian juga ada seorang anak telah menuntut kerugian kepada ibunya dengan tuntutan sebesar Rp1 miliar karena ibu lalai menyelesaikan masalah warisan. Selain itu, ada perkara perceraian antara suami dan istri sampai pada tingkat kasasi di MA.
Semua contoh tersebut adalah perkara hukum dalam kenyataan kehidupan masyarakat kita saat ini, dan fakta menunjukkan tidak ada batas lagi antara masalah pribadi dan masalah kepentingan umum. Bahkan, seorang bendahara atau pimpinan proyek di suatu kementerian/lembaga (K/L) telah dituntut melakukan tindak pidana korupsi karena telah menimbulkan kerugian negara yang disebabkan kesalahan administrasi saja (maladministrasi)– penunjukan pemenang tender tidak memperhatikan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa.
Kenyataan praktik hukum di atas tentu telah menimbulkan keresahan dalam penyelenggaraan birokrasi dan juga keresahan kalangan pebisnis, terutama kalangan ahli hukum. Bagi kalangan masyarakat dan birokrasi, praktik hukum tersebut menimbulkan ketidakpastian mengenai batas-batas kesalahan terkait kewenangan administratif dan kesalahan terkait perbuatan pelanggaran hukum yang bertujuan penyelenggaraan tertib administrasi (hukum administrasi), melindungi kepentingan masyarakat luas (hukum pidana), dan melindungi kepentingan orang perorangan (hukum perdata).
Akar masalah praktik hukum yang telah berjalan sejak Indonesia merdeka, khususnya tahun 1946 dan 1958, dalam lapangan hukum pidana telah mengakibatkan semua persoalan di atas (selalu) berakhir dengan penghukuman alias menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Sangat jarang sekali mungkin hanya 0,5% yang berakhir dengan pidana bersyarat alias tidak perlu masuk penjara.
Kerugian materiil dan immaterial dari peristiwa ini adalah terjadi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan dengan segala ekses negatifnya. Beberapa di antaranya adalah demoralisasi seksual, pemerasan antarpenghuni dan oleh oknum petugas lapas, dan malnutrisi karena biaya makan Rp15.000 per orang untuk 5-10 orang karena kelebihan kapasitas. Menurut informasi Menteri Hukum dan HAM, jumlah narapidana dan tahanan telah mencapai 209.000 orang di seluruh Indonesia.
Efek jera karena tuntutan pidana dan penghukuman juga tidak terjadi, sebab dalam praktik situasi sosial ekonomi yang rendah menyebabkan residivisme tinggi. Begitu juga bagi kalangan sosial ekonomi menengah ke atas, efek jera hanya sekilas karena sikap permisif masyarakat terhadap mereka sangat tinggi. Rasa malu tidak terjadi, jika pun ada sangat rendah dan bersifat sementara apalagi jika penetapan tersangka karena rekayasa atau termasuk target operasi (TO). Penelitian penulis di 22 kabupaten/kota se-Jawa Barat terdapat angka kejahatan rata-rata (crime rate) yang tinggi di daerah kabupaten/kota karena tingkat kemiskinan tinggi (gini ratio).
Terlepas dari semua fakta dan konstatasi tersebut, kajian penulis telah menemukan penyebab utama kegaduhan penegakan hukum pidana dalam praktik yang terletak pada pemahaman mengenai aliran positivisme hukum. Pertama, sumber hukum satu-satunya adalah hukum tertulis. Kedua, asas hukum pidana selain asas legalitas juga dalam pertanggungjawaban pidana hanya diakui satu-satunya asas hukum, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
Walaupun dalam norma KUHP dan diikutkan doktrin hukum pidana bahwa selalu terdapat alasan-alasan pemaaf dan alasan pembenar dalam menentukan siapa bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah terjadi, tetapi parameter (threshold) ada tidaknya penegakan hukum pidana adalah harus ada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana. Seseorang tersebut (harus) dihukum karenanya ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Bahkan, penempatan tersangka di dalam tahanan (rutan) pada praktiknya dipandang sebagai ”panjar hukuman”(yang bakal diderita).
Praktik proses peradilan pidana telah menghasilkan per tahun kurang lebih 190.000 narapidana/tahanan, sedangkan perkara ringan (tipiring) sebanyak 60.000 khusus di wilayah Polda Metro Jaya. Biaya perkara tipiring adalah Rp125.000 perkara dan perkara tipikor Rp250.000.000-Rp500.000.000. Sedangkan biaya makan narapidana (bama) per hari/per orang sebesar Rp15.000 untuk di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa mencapai Rp20.000-30.000. Dengan jumlah nara pidana rata-rata 100.000 narapidana, maka dana APBN yang telah dikeluarkan sebesar Rp1.500.000.000.000 per hari. Jika hukuman harus dijalani setiap narapidana rata-rata satu tahun, maka dana APBN mencapai Rp547.500.000.000, dipastikan hukuman lebih dari satu tahun dana APBN mencapai triliunan rupiah, belum termasuk sarana dan prasarana fisik serta biaya pemeliharaan gedung lembaga pemasyarakatan.
***
Beranjak dari fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana yang diterapkan dalam praktik kehidupan masyarakat Indonesia dengan filosofi penjeraan semata-mata (pertobatan) sangat tidak efisien alias boros dan tidak memberikan kemaslahatan terbaik untuk masyarakat. Sedangkan semua dana APBN yang dibelanjakan berasal dari 90% hasil pungutan pajak rakyat. Mengapa dana sebanyak itu tidak digunakan untuk fasilitas dan pelayanan, pendidikan dan kesehatan, serta kegiatan masyarakat dan pemerintah yang kontributif membangun kesejahteraan rakyat?
Contoh lain, pemberantasan korupsi yang direvitalisasi sejak tahun 1999 diperkuat pembentukan KPK dan UU Anti Pencucian Uang, dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun 2009-2014 telah berhasil mengembalikan kerugian negara kurang lebih Rp10 triliun dari instansi kepolisian, kejaksaan, dan KPK. KPK hanya berhasil mengembalikan kerugian negara senilai Rp728 miliar dalam kurun waktu tersebut di atas, sedangkan dana APBN untuk KPK per tahun Rp3 triliun.
Secara keseluruhan dana APBN untuk ketiga institusi penegak hukum tersebut kurang lebih menghabiskan dana Rp50 triliun per tahun. Dari sisi pendekatan cost and benefit ratio (CBR) semakin nyata bahwa bekerjanya hukum pidana dengan tujuan penjeraan ”besar pasak dari tiang” bahkan nyaris bangkrut. Analisis ini pasti menimbulkan reaksi dari penganut paham Kantianisme (Imannuel Kant) yang mengutamakan moralitas individual dengan teori ”psychologische dwang ” yang mengandalkan penjeraan dengan dasar filosofi klasik, ”utang mata bayar mata dan utang gigi bayar gigi” (an eye for an eye, a tooth for a tooth) atau lex talionis.
Paham kekinian yang didominasi aliran pragmatik legal realism and critical legal studies (CLS) justru mempertanyakan validitas dan akuntabilitas paham aliran klasik tersebut. Karena telah terbukti tingkat resividisme semakin tinggi dan biaya yang diperlukan semakin tinggi pula, sedangkan dana APBN yang digunakan berasal dari pajak yang dibebankan kepada masyarakat. Sejatinya, hasil pungutan pajak tersebut untuk kepentingan pelayanan masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Beranjak dari fakta hasil kerja hukum pidana yang bertujuan penjeraan, diharapkan partisipasi masyarakat terhadap kinerja penegakan hukum seharusnya lebih rasional dan mempertimbangkan factor cost and benefit daripada reaksioner dan spontan serta emosional tanpa peduli kemanfaatan lebih besar bagi kehidupan masyarakat luas. Alas kemanfaatan lebih besar bagi masyarakat memiliki justifikasi dari sudut tujuan hukum itu sendiri yang sering diabaikan, bahkan dilupakan justru oleh kalangan hukum sendiri, yaitu tujuan kemanfaatan (utility) selain kepastian dan keadilan.
Kepastian dan keadilan sering dipertentangkan, terutama kalangan ahli hukum, tetapi mereka melupakan tujuan kemanfaatannya. Karena mereka tidak mengetahui sesungguhnya apa dan bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai. Mengapa? Hal ini disebabkan ahli hukum tidak memiliki pengetahuan ekonomi yang kuat memuat prinsip maksimisasi (maximization), efisiensi (efficiency), dan keseimbangan (equilibrium), tiga prinsip ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Bagi para ahli hukum, tempat mencari dan menemukan keadilan adalah di sidang pengadilan karena hakim sebagai pemutus. Sedangkan dalam konteks Pancasila dengan asas musyawarah dan mufakat, tempat mencari dan menemukan keadilan pada kesepakatan masing-masing pihak yang bersengketa untuk mencari cara untuk berdamai. Tempat keadilan dalam konteks Pancasila adalah pada kehendak masing-masing individu untuk sepakat mencari solusi perdamaian.
Filosofi hukum dengan paham individualisme-liberalisme bersendikan konflik sekaligus solusi dari konflik, sedangkan Pancasila bersendikan kegotongroyongan sekaligus perdamaian. Kekeliruan pemahaman mengenai fungsi dan peranan hukum pidana dalam filosofi Pancasila inilah telah menjerumuskan kehidupan masyarakat Indonesia ke lembah kehinaan. Tampak kasatmata kondisi ini telah melahirkan banyak generasi pecundang dari pahlawan, termasuk kaum intelektual yang dimasukkan ke penjara. Semua keadaan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab kita telah melahirkan generasi muda yang tegar, kokoh, dan percaya diri sebagai bangsa Indonesia.
Solusi yang penulis tawarkan untuk politik hukum pidana Indonesia di masa mendatang adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) perlu dilengkapi dengan asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen schuld zonder nut). Inti dari asas hukum pidana baru yang diusulkan, jika seseorang terbukti bersalah tindakan apakah yang paling tepat, efisien, dan bermanfaat bagi baik dirinya, masyarakat dan negara?
Kenyataan praktik hukum di atas tentu telah menimbulkan keresahan dalam penyelenggaraan birokrasi dan juga keresahan kalangan pebisnis, terutama kalangan ahli hukum. Bagi kalangan masyarakat dan birokrasi, praktik hukum tersebut menimbulkan ketidakpastian mengenai batas-batas kesalahan terkait kewenangan administratif dan kesalahan terkait perbuatan pelanggaran hukum yang bertujuan penyelenggaraan tertib administrasi (hukum administrasi), melindungi kepentingan masyarakat luas (hukum pidana), dan melindungi kepentingan orang perorangan (hukum perdata).
Akar masalah praktik hukum yang telah berjalan sejak Indonesia merdeka, khususnya tahun 1946 dan 1958, dalam lapangan hukum pidana telah mengakibatkan semua persoalan di atas (selalu) berakhir dengan penghukuman alias menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Sangat jarang sekali mungkin hanya 0,5% yang berakhir dengan pidana bersyarat alias tidak perlu masuk penjara.
Kerugian materiil dan immaterial dari peristiwa ini adalah terjadi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan dengan segala ekses negatifnya. Beberapa di antaranya adalah demoralisasi seksual, pemerasan antarpenghuni dan oleh oknum petugas lapas, dan malnutrisi karena biaya makan Rp15.000 per orang untuk 5-10 orang karena kelebihan kapasitas. Menurut informasi Menteri Hukum dan HAM, jumlah narapidana dan tahanan telah mencapai 209.000 orang di seluruh Indonesia.
Efek jera karena tuntutan pidana dan penghukuman juga tidak terjadi, sebab dalam praktik situasi sosial ekonomi yang rendah menyebabkan residivisme tinggi. Begitu juga bagi kalangan sosial ekonomi menengah ke atas, efek jera hanya sekilas karena sikap permisif masyarakat terhadap mereka sangat tinggi. Rasa malu tidak terjadi, jika pun ada sangat rendah dan bersifat sementara apalagi jika penetapan tersangka karena rekayasa atau termasuk target operasi (TO). Penelitian penulis di 22 kabupaten/kota se-Jawa Barat terdapat angka kejahatan rata-rata (crime rate) yang tinggi di daerah kabupaten/kota karena tingkat kemiskinan tinggi (gini ratio).
Terlepas dari semua fakta dan konstatasi tersebut, kajian penulis telah menemukan penyebab utama kegaduhan penegakan hukum pidana dalam praktik yang terletak pada pemahaman mengenai aliran positivisme hukum. Pertama, sumber hukum satu-satunya adalah hukum tertulis. Kedua, asas hukum pidana selain asas legalitas juga dalam pertanggungjawaban pidana hanya diakui satu-satunya asas hukum, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
Walaupun dalam norma KUHP dan diikutkan doktrin hukum pidana bahwa selalu terdapat alasan-alasan pemaaf dan alasan pembenar dalam menentukan siapa bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah terjadi, tetapi parameter (threshold) ada tidaknya penegakan hukum pidana adalah harus ada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana. Seseorang tersebut (harus) dihukum karenanya ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Bahkan, penempatan tersangka di dalam tahanan (rutan) pada praktiknya dipandang sebagai ”panjar hukuman”(yang bakal diderita).
Praktik proses peradilan pidana telah menghasilkan per tahun kurang lebih 190.000 narapidana/tahanan, sedangkan perkara ringan (tipiring) sebanyak 60.000 khusus di wilayah Polda Metro Jaya. Biaya perkara tipiring adalah Rp125.000 perkara dan perkara tipikor Rp250.000.000-Rp500.000.000. Sedangkan biaya makan narapidana (bama) per hari/per orang sebesar Rp15.000 untuk di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa mencapai Rp20.000-30.000. Dengan jumlah nara pidana rata-rata 100.000 narapidana, maka dana APBN yang telah dikeluarkan sebesar Rp1.500.000.000.000 per hari. Jika hukuman harus dijalani setiap narapidana rata-rata satu tahun, maka dana APBN mencapai Rp547.500.000.000, dipastikan hukuman lebih dari satu tahun dana APBN mencapai triliunan rupiah, belum termasuk sarana dan prasarana fisik serta biaya pemeliharaan gedung lembaga pemasyarakatan.
***
Beranjak dari fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum pidana yang diterapkan dalam praktik kehidupan masyarakat Indonesia dengan filosofi penjeraan semata-mata (pertobatan) sangat tidak efisien alias boros dan tidak memberikan kemaslahatan terbaik untuk masyarakat. Sedangkan semua dana APBN yang dibelanjakan berasal dari 90% hasil pungutan pajak rakyat. Mengapa dana sebanyak itu tidak digunakan untuk fasilitas dan pelayanan, pendidikan dan kesehatan, serta kegiatan masyarakat dan pemerintah yang kontributif membangun kesejahteraan rakyat?
Contoh lain, pemberantasan korupsi yang direvitalisasi sejak tahun 1999 diperkuat pembentukan KPK dan UU Anti Pencucian Uang, dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun 2009-2014 telah berhasil mengembalikan kerugian negara kurang lebih Rp10 triliun dari instansi kepolisian, kejaksaan, dan KPK. KPK hanya berhasil mengembalikan kerugian negara senilai Rp728 miliar dalam kurun waktu tersebut di atas, sedangkan dana APBN untuk KPK per tahun Rp3 triliun.
Secara keseluruhan dana APBN untuk ketiga institusi penegak hukum tersebut kurang lebih menghabiskan dana Rp50 triliun per tahun. Dari sisi pendekatan cost and benefit ratio (CBR) semakin nyata bahwa bekerjanya hukum pidana dengan tujuan penjeraan ”besar pasak dari tiang” bahkan nyaris bangkrut. Analisis ini pasti menimbulkan reaksi dari penganut paham Kantianisme (Imannuel Kant) yang mengutamakan moralitas individual dengan teori ”psychologische dwang ” yang mengandalkan penjeraan dengan dasar filosofi klasik, ”utang mata bayar mata dan utang gigi bayar gigi” (an eye for an eye, a tooth for a tooth) atau lex talionis.
Paham kekinian yang didominasi aliran pragmatik legal realism and critical legal studies (CLS) justru mempertanyakan validitas dan akuntabilitas paham aliran klasik tersebut. Karena telah terbukti tingkat resividisme semakin tinggi dan biaya yang diperlukan semakin tinggi pula, sedangkan dana APBN yang digunakan berasal dari pajak yang dibebankan kepada masyarakat. Sejatinya, hasil pungutan pajak tersebut untuk kepentingan pelayanan masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Beranjak dari fakta hasil kerja hukum pidana yang bertujuan penjeraan, diharapkan partisipasi masyarakat terhadap kinerja penegakan hukum seharusnya lebih rasional dan mempertimbangkan factor cost and benefit daripada reaksioner dan spontan serta emosional tanpa peduli kemanfaatan lebih besar bagi kehidupan masyarakat luas. Alas kemanfaatan lebih besar bagi masyarakat memiliki justifikasi dari sudut tujuan hukum itu sendiri yang sering diabaikan, bahkan dilupakan justru oleh kalangan hukum sendiri, yaitu tujuan kemanfaatan (utility) selain kepastian dan keadilan.
Kepastian dan keadilan sering dipertentangkan, terutama kalangan ahli hukum, tetapi mereka melupakan tujuan kemanfaatannya. Karena mereka tidak mengetahui sesungguhnya apa dan bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai. Mengapa? Hal ini disebabkan ahli hukum tidak memiliki pengetahuan ekonomi yang kuat memuat prinsip maksimisasi (maximization), efisiensi (efficiency), dan keseimbangan (equilibrium), tiga prinsip ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Bagi para ahli hukum, tempat mencari dan menemukan keadilan adalah di sidang pengadilan karena hakim sebagai pemutus. Sedangkan dalam konteks Pancasila dengan asas musyawarah dan mufakat, tempat mencari dan menemukan keadilan pada kesepakatan masing-masing pihak yang bersengketa untuk mencari cara untuk berdamai. Tempat keadilan dalam konteks Pancasila adalah pada kehendak masing-masing individu untuk sepakat mencari solusi perdamaian.
Filosofi hukum dengan paham individualisme-liberalisme bersendikan konflik sekaligus solusi dari konflik, sedangkan Pancasila bersendikan kegotongroyongan sekaligus perdamaian. Kekeliruan pemahaman mengenai fungsi dan peranan hukum pidana dalam filosofi Pancasila inilah telah menjerumuskan kehidupan masyarakat Indonesia ke lembah kehinaan. Tampak kasatmata kondisi ini telah melahirkan banyak generasi pecundang dari pahlawan, termasuk kaum intelektual yang dimasukkan ke penjara. Semua keadaan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab kita telah melahirkan generasi muda yang tegar, kokoh, dan percaya diri sebagai bangsa Indonesia.
Solusi yang penulis tawarkan untuk politik hukum pidana Indonesia di masa mendatang adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) perlu dilengkapi dengan asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen schuld zonder nut). Inti dari asas hukum pidana baru yang diusulkan, jika seseorang terbukti bersalah tindakan apakah yang paling tepat, efisien, dan bermanfaat bagi baik dirinya, masyarakat dan negara?
Sumber : Koran SINDO, Rabu/ 08 Nov 2017
0 komentar:
Posting Komentar