Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LLM
(Ahli Hukum Pidana - Perlindungan Anak FH UPN Veteran Jakarta)
Disampaikan pada saat memberikan Keterangan Ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 15 September 2020
Parentum est liberos alere etiam nothos (Tugas orang dewasa di sekitar anak (orang tua) adalah untuk mendukung anaknya)
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak bukanlah suatu kejahatan, melainkan kenakalan atau juvenile deliquency. Fuad Hasan dalam bukunya mendefinisikan kenakalan sebagai perbuatan oleh anak yang dikategorikan melanggar aturan dan merupakan suatu kejahatan jika yang melakukan adalah orang dewasa. Pada dasarnya kita dapat melihat bahwa kenakalan anak memang berbeda dengan kejahatan pada orang dewasa, terutama dalam segi sikap batin atau niat jahatnya (mens rea). Anak yang melakukan suatu perbuatan kriminal hanya melakukan tindakan tersebut tanpa dibarengi niat yang buruk dan tidak berpikir konsekuensi jauh ke depan, anak melakukannya lebih karena dorongan dan faktor linkungan, dimana anak itu sehari-hari bergaul, berbeda dengan orang dewasa dimana selain actus reus, terdapat pula mens rea dalam tindak pidana. Dengan demikian tindak pidana yang dilakukan anak tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan anak.
Dalam menjaga suatu nilai-nilai dalam masyarakat dapat diupayakan 3 hal, yaitu: (1) Bentuk pertama berupa usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal). (2) adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas. Ketiga adalah menggunakan sarana penal yang sering disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Melihat dari karakteristik hukum pidana sebagai Ultimum Remedium atau sarana terakhir, maka untuk menanggulangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur, maka dapat diusahakan cara non penal. Pengembalian kepada orangtua agar dibina dan diarahkan merupakan suatu tindakan yang tepat, namun dengan diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Menempatkan anak dalam sistem peradilan pidana formal, hanya akan memberikan dampak buruk terhadap anak, dan tidak menyelesaikan persoalan.
Leo Palak mengatakan bahwa sanksi pidana termasuk juga tindakan yang bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai. Pidana tidak hanya tidak enak dalam waktu proses menjalankan, tetapi sesudah itu orang tersebut masih merasakan akibatnya yang berupa cap atau label oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam kriminologi kita dapat nilai sebagai stigma, dan dapat berpotensi menjadi faktor penyebab kejahatan. Bahkan dalam beberapa kasus, menjadikan anak yang semula melakukan kenakalan berakhir pada melakukan kejahatan dan “menjadi penjahat yang sesungguhnya”.
Apabila stigma tersebut tidak hilang, maka anak seolah-olah dipidana seumur hidup, maka untuk itu Prof Sudarto menegaskan untuk mendudukan sifat pidana sebagai “ultimum remedium” (obat yang terakhir) apabila tidak perlu sekali jangan menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Dengan menjatuhkan pidana terhadap anak, maka tentunya akan memberikan dampak secara psikologis bagi anak itu sendiri.
Apong Herlina yang pernah menjabat sebagai komisioner KPAI tahun 2010-2013 menjelaskan bahwa ingatan anak akan merekam dengan jelas dan membekas ketika adanya pengalaman saat berjalannya proses hukum yang melelahkan. Kondisi tersebut memberikan dampak buruk/ dampa negatif seperti ketakutakan, kegelisahan, adanya gangguan secara fisik dan psikis yang kesemua hal tersebut akan diperparah ketika jatuhnya putusan pengadilan sehingga adanya label buruk terhadap anak.
Kesejahteraan pada anak pada dasarnya dapat diukur melalui lima hal menurut Thornton yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis dan emonsional, kesejahteraan sosial, kesejahteraan kognitif dan pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi. Sedangkan, anak yang berkonflik dengan hukum, baik sejak melakukan kriminalitas, ditahan atau diberi sanksi, sampai pada dikembalikannya anak ke masyarakat, maka terdapat beberapa efek yang akan dialami oleh anak, seperti: 1) Psikologis anak dapat terganggu seperti merasa cemas, takut, hingga malu mendapat penolakan dari masyarakat, 2) Rentan menghadapi kekerasan baik secara fisik, verbal, maupun psikis, 3) Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak akibat keterbatasan fasilitas, 4) Pendidikan anak terhenti atau terjadinya penurunan minat belajar anak, 5) Anak cenderung menjadi pemalas karena kurang banyaknya kegiatan untuk anak yang sesuai, 6) Anak berpotensi melakukan pengulangan kejahatan atau malah mempelajari kejahatan di dalam tahanan. Sehingga dengan menempatkan anak di hadapan hukum secara langsung maupun tidak telah menelantarkan kesejahteraan anak tersebut.
Berhadapan dengan hukum dan melalui serangkain sistem peradilan bagi anak dan masyarakat menimbulkan suatu konsekuensi yang merugikan karena pada dasarnya proses peradilan bagi anak adalah hal asing yang tidak biasa, ketidakjelasan pada sebagian alasan anak diproses secara hukum, tidak berpihaknya system peradilan pada anak dikarenakan memang diciptakan untuk orang dewasa, dan dapat menimbulkan stress serta trauma pada anak.
Pada tahapan puncak di masa remaja, setidaknya terdapat empat jenis bentuk-bentuk kenakalan remaja yaitu: a) Kenakalan remaja terisolir merupakan remaja yang berbuat nakal dikarenakan lingkungannya. b) Kenakalan remaja neurotik adalah kelompok remaja dengan gangguan jiwa yang serius seperti kecemasan, rasa takut berlebih, dan dibayangi perasaan bersalah. c) Kenakalan remaja psikotik adalah oknum criminal yang jumlahnya tidak banyak, namun sangat berbahaya bagi keamanan. Kelompok ini memiliki ciri-ciri seperti berasal dari keluarga yang brutal, tidak mampu sadar akan arti salah dan dosa, bentuk kejahatan manjemuk tergantung perasaan yang kacau, gagal dalam memahami dan mengamalkan norma sosial, dan kebanyakan menderita gangguan neurologis sehingga sulit untuk mengontrol diri sendiri. d) Kenakalan remaja defek moral merupakan kelompik yang gagal dalam memahami tingkah lakunya yang jahat serta sulit untuk mengkontrol hal tersebut. Dengan adanya berbagai bentuk kenakalan anak, maka penggeneralisasian dengan penjatuhan pidana terhadap anak bukan merukana solusi yang tepat dimana anak malah akan menerima dampak buruk dari sistem peradilan pidana tersebut dan bukan mengatasi kenakalan yang dilakukannya secara tepat.
Anak sebagai objek dalam hak asasi manusia termasuk dalam kelompok rentan yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan terhadapnya marak terjadi. Penjelasan dari Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kelompok rentan yang berhak mendapat perlindungan antara lain yaitu anak, wanita hamil, orang lanjut usia, fakir miskin, dan penyandang cacat. Dengan demikian ketika anak harus berhadapan dengan hukum dan masuk pada sistem peradilan pidana, hak-hak anak rawan untuk dilanggar. Padahal sejatinya hak asasi manusia tidak hanya berporos pada manusia dalam artian dewasa, melainkan juga anak yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak serta martabat untuk dijunjung. Anak telah diakui sebagai subjek hak asasi manusia yang sui generis berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak (CRC) sebagai landasan dalam memberi perlindungan yang utuh terhadap anak dan hak asasi manusia.
Kesalahan yang dilakukan oleh anak tidak serta merta menjadi tanggungjawab anak sepenuhnya karena anak sejatinya merupakan tanggungjawab dari orangtuanya. Kewajiban orangtua terhadap anak, yang dalam hal ini merupakan hak anak telah tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi Orang tua berkewajiban dan bertanggugjawab untuk: a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c) Mencegah terjadinya perkawinan pada uisa anak-anak, dan; d) Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Sehingga penjatuhan pidana anak tidaklah tepat, karena adanya peran orangtua dalam perilaku anak dimana kontrol terhadap anak ada pada diri orangtuanya sehingga kesalahan anak tidak lepas dari kesalahan orangtuanya.
Teori differential association menekankan bahwa suatu perilaku tidak serta merta diwariskan, melainkan lebih kepada pembelajaran. Suatu perbuatan yang criminal dapat dilihat dari bagaimana tindakan tersebut dipelajari sehingga berbeda ada tindakan normal umumnya. Dengan demikian, seorang anak tidak lantas dapat berperilaku kriminal jika tidak mempelajari perilaku tersebut baik dari sekitarnya maupun secara luas dari dunia luar dimana keluarga dan lingkunganlah yang seharusnya mengawasi perkembangan anak sehingga tidak akan terjadinya penyimpangan.
Teori yang dipaparkan oleh Edwind H. Sutherland mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku berasal dari pergaulan yang berbeda. Anak mempelajari perilaku menyimpang dari komunikasi yang dilakukannya dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Peranan masyarakat juga turut andil ketika secara tidak sengaja memberikan contoh perilaku menyimpang yang kemudian ditiru oleh anak. Penyimpangan inilah yang kemudian menyebabkan segala tindak tanduk buruk anak yang melanggar aturan dan norma sosial di masyarakat.
UUD 1945 memberikan jaminan atas perlindungan terhadap hak anak yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (2) yang mengamanatkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang yang mana hal ini juga diamini dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2) yang menjabarkan bahwa hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum. Menurut Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M selaku ahli pidana anak dengan menempatkan anak di dalam sistem peradilan pidana, termasuk didalamnya berkenaan dengan penjatuhan pidana terhadap anak, mempunyai dampak buruk bagi kehidupan mereka (anak). Dampak buruk atau dampak negatif tersebut, mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak, hingga pada akhirnya berlanjut merusak masa depan mereka.
Adam Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana I halaman 18 menjelaskan bahwa sanksi pidana merupakan nestapa bagi pelaku yang sengaja dijatuhi oleh negara. Dalam hal ini pidana dapat dikatakan sebagai sikap yang memberi suatu penderitaan yang dilimpahkan oleh negara kepada pembuat delik. Secara filosofis, penanganan terhadap pelaku pelanggaran hukum usia anak didasari oleh kesalahan yang dilakukan oleh anak dianggap belum sepenuhnya dipahami. Sejatinya, anak diyakini lebih mudah dibina, dididik, dan disadarkan dibandingkan dengan orang dewasa atas kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga penjatuhan pidana terhadap anak tidak perlu untuk dilakukan karena lebih banyak memberi mudharat daripada manfaatnya.
Teori yang dikemukakan John Braithwaite tentang reintegrative shaming. Model ini sejalan dengan pendekatan yang mendasari ketentuan dan nilai-nilai dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, yaitu pendekatan kesejahteraan, di mana para pelanggar usia muda sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana, segala tindakan yang diambil oleh negara, berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh si anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
Sejatinya dalam Pancasila sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, telah mengakui adanya jaminan kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia dimana termasuk pula pada anak. Dengan membiarkan anak masuk dalam sistem peradilan pidana yang melelahkan dan berdampak traumatis, maka sama saja tidak menjunjung hak asasi terhadap anak tersebut, sekalipun ia merupakan pelaku tindak kejahatan. Hak asasi manusia tidak hanya berporos pada manusia dalam artian dewasa, melainkan juga anak yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak serta martabat untuk dijunjung. Anak telah diakui sebagai subjek hak asasi manusia yang sui generis berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak (CRC) sebagai landasan dalam memberi perlindungan yang utuh terhadap anak dan hak asasi manusia.
Menurut M. Nasir Djamil dalam bukunya yang berjudul “Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak)” menyebutkan bahwa anak bukanlah objek untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental. Terkadang Anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan dalam penjara.
Melansir dari data yang dikemukakan oleh ICJR dalam situsnya yang menyebutkan bahwa hingga Juni 2017, jumlah anak yang menjadi narapidana atau warga binaan berada pada angka 2.559 anak, dimana angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada pada kisaran angka 2.320 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia. Namun ironisnya, tidak seluruh wilayah memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa anak yang menjadi Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak (saat ini LPKA dan LPAS) berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa. Menurut Paulus Hadisuprapto dalam disertasinya yang berjudul “Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Non Penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”, Penempatan anak pada lapas dewasa menjadi salah satu dampak buruk yang ditimbulkan dari sistem peradilan anak yang ada saat ini.
Orangtua bertanggungjawab atas anaknya sebagaimana Pasal 3 angka 2 Konvensi Hak Anak yang berisi, “Negara-negara peserta berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak, dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua anak, walinya yang sah, atau orang lain, secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk maksud ini, akan mengambil semua tindakan legislatif dan administratif.” Yang mana tanggungjawab tersebut tidak bisa lepas hanya karena anak bersalah dan hanya mengerahkan telunjuk pada anak, karena pada dasarnya atas adanya tanggungjawab tersebut, maka berarti termasuk pula tanggungjawab atas tindakan anak akibat dari pengajaran dan pengawasan orangtua terhadapnya.
Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif) diantaranya : (a)Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai ultimum remedium), (b) Sanksi hukum pidana merupakan "remedium" yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/ atau efek samping yang negatif , (c) efektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalah-kan. Sehingga menjadi kurang tepat untuk memberikan sanksi pidana kepada anak dibawah umur.
Menurut Prof Romli Atmasasmita, terdapat banyak faktor penyebab penyimpangan yang dilakukan oleh anak, sehingga dapat mudah dipengaruhi mengingat kelabilan tinggi yang ada dalam diri anak, pendapat Romli Atmasasmita dibagi menjadi 2 (dua) kelompok motivasi, yaitu yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah; 1. Faktor intelegentia 2. Faktor usia 3. Faktor kelamin 4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga dan Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: 1. Faktor rumah tangga 2. Faktor pendidikan dan sekolah 3. Faktor pergaulan anak 4. Faktor mass media. Sehingga anak tidak serta merta melakukan kenakalan ‘karena dirinya’, melainkan adanya berbagai faktor baik dari dalam maupun luar yang mempengaruhinya.
Dalam menjaga suatu nilai-nilai dalam masyarakat dapat diupayakan 3 hal, yaitu: (1) Bentuk pertama berupa usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal). (2) adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas. Ketiga adalah menggunakan sarana penal yang sering disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Melihat dari karakteristik hukum pidana sebagai Ultimum Remedium atau sarana terakhir, maka untuk menanggulangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur, maka dapat diusahakan cara non penal. Pengembalian kepada orangtua agar dibina dan diarahkan merupakan suatu tindakan yang tepat, namun dengan diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Menempatkan anak dalam sistem peradilan pidana formal, hanya akan memberikan dampak buruk terhadap anak, dan tidak menyelesaikan persoalan.
Leo Palak mengatakan bahwa sanksi pidana termasuk juga tindakan yang bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai. Pidana tidak hanya tidak enak dalam waktu proses menjalankan, tetapi sesudah itu orang tersebut masih merasakan akibatnya yang berupa cap atau label oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam kriminologi kita dapat nilai sebagai stigma, dan dapat berpotensi menjadi faktor penyebab kejahatan. Bahkan dalam beberapa kasus, menjadikan anak yang semula melakukan kenakalan berakhir pada melakukan kejahatan dan “menjadi penjahat yang sesungguhnya”.
Apabila stigma tersebut tidak hilang, maka anak seolah-olah dipidana seumur hidup, maka untuk itu Prof Sudarto menegaskan untuk mendudukan sifat pidana sebagai “ultimum remedium” (obat yang terakhir) apabila tidak perlu sekali jangan menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Dengan menjatuhkan pidana terhadap anak, maka tentunya akan memberikan dampak secara psikologis bagi anak itu sendiri.
Apong Herlina yang pernah menjabat sebagai komisioner KPAI tahun 2010-2013 menjelaskan bahwa ingatan anak akan merekam dengan jelas dan membekas ketika adanya pengalaman saat berjalannya proses hukum yang melelahkan. Kondisi tersebut memberikan dampak buruk/ dampa negatif seperti ketakutakan, kegelisahan, adanya gangguan secara fisik dan psikis yang kesemua hal tersebut akan diperparah ketika jatuhnya putusan pengadilan sehingga adanya label buruk terhadap anak.
Kesejahteraan pada anak pada dasarnya dapat diukur melalui lima hal menurut Thornton yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis dan emonsional, kesejahteraan sosial, kesejahteraan kognitif dan pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi. Sedangkan, anak yang berkonflik dengan hukum, baik sejak melakukan kriminalitas, ditahan atau diberi sanksi, sampai pada dikembalikannya anak ke masyarakat, maka terdapat beberapa efek yang akan dialami oleh anak, seperti: 1) Psikologis anak dapat terganggu seperti merasa cemas, takut, hingga malu mendapat penolakan dari masyarakat, 2) Rentan menghadapi kekerasan baik secara fisik, verbal, maupun psikis, 3) Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak akibat keterbatasan fasilitas, 4) Pendidikan anak terhenti atau terjadinya penurunan minat belajar anak, 5) Anak cenderung menjadi pemalas karena kurang banyaknya kegiatan untuk anak yang sesuai, 6) Anak berpotensi melakukan pengulangan kejahatan atau malah mempelajari kejahatan di dalam tahanan. Sehingga dengan menempatkan anak di hadapan hukum secara langsung maupun tidak telah menelantarkan kesejahteraan anak tersebut.
Berhadapan dengan hukum dan melalui serangkain sistem peradilan bagi anak dan masyarakat menimbulkan suatu konsekuensi yang merugikan karena pada dasarnya proses peradilan bagi anak adalah hal asing yang tidak biasa, ketidakjelasan pada sebagian alasan anak diproses secara hukum, tidak berpihaknya system peradilan pada anak dikarenakan memang diciptakan untuk orang dewasa, dan dapat menimbulkan stress serta trauma pada anak.
Pada tahapan puncak di masa remaja, setidaknya terdapat empat jenis bentuk-bentuk kenakalan remaja yaitu: a) Kenakalan remaja terisolir merupakan remaja yang berbuat nakal dikarenakan lingkungannya. b) Kenakalan remaja neurotik adalah kelompok remaja dengan gangguan jiwa yang serius seperti kecemasan, rasa takut berlebih, dan dibayangi perasaan bersalah. c) Kenakalan remaja psikotik adalah oknum criminal yang jumlahnya tidak banyak, namun sangat berbahaya bagi keamanan. Kelompok ini memiliki ciri-ciri seperti berasal dari keluarga yang brutal, tidak mampu sadar akan arti salah dan dosa, bentuk kejahatan manjemuk tergantung perasaan yang kacau, gagal dalam memahami dan mengamalkan norma sosial, dan kebanyakan menderita gangguan neurologis sehingga sulit untuk mengontrol diri sendiri. d) Kenakalan remaja defek moral merupakan kelompik yang gagal dalam memahami tingkah lakunya yang jahat serta sulit untuk mengkontrol hal tersebut. Dengan adanya berbagai bentuk kenakalan anak, maka penggeneralisasian dengan penjatuhan pidana terhadap anak bukan merukana solusi yang tepat dimana anak malah akan menerima dampak buruk dari sistem peradilan pidana tersebut dan bukan mengatasi kenakalan yang dilakukannya secara tepat.
Anak sebagai objek dalam hak asasi manusia termasuk dalam kelompok rentan yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan terhadapnya marak terjadi. Penjelasan dari Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kelompok rentan yang berhak mendapat perlindungan antara lain yaitu anak, wanita hamil, orang lanjut usia, fakir miskin, dan penyandang cacat. Dengan demikian ketika anak harus berhadapan dengan hukum dan masuk pada sistem peradilan pidana, hak-hak anak rawan untuk dilanggar. Padahal sejatinya hak asasi manusia tidak hanya berporos pada manusia dalam artian dewasa, melainkan juga anak yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak serta martabat untuk dijunjung. Anak telah diakui sebagai subjek hak asasi manusia yang sui generis berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak (CRC) sebagai landasan dalam memberi perlindungan yang utuh terhadap anak dan hak asasi manusia.
Kesalahan yang dilakukan oleh anak tidak serta merta menjadi tanggungjawab anak sepenuhnya karena anak sejatinya merupakan tanggungjawab dari orangtuanya. Kewajiban orangtua terhadap anak, yang dalam hal ini merupakan hak anak telah tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi Orang tua berkewajiban dan bertanggugjawab untuk: a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c) Mencegah terjadinya perkawinan pada uisa anak-anak, dan; d) Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Sehingga penjatuhan pidana anak tidaklah tepat, karena adanya peran orangtua dalam perilaku anak dimana kontrol terhadap anak ada pada diri orangtuanya sehingga kesalahan anak tidak lepas dari kesalahan orangtuanya.
Teori differential association menekankan bahwa suatu perilaku tidak serta merta diwariskan, melainkan lebih kepada pembelajaran. Suatu perbuatan yang criminal dapat dilihat dari bagaimana tindakan tersebut dipelajari sehingga berbeda ada tindakan normal umumnya. Dengan demikian, seorang anak tidak lantas dapat berperilaku kriminal jika tidak mempelajari perilaku tersebut baik dari sekitarnya maupun secara luas dari dunia luar dimana keluarga dan lingkunganlah yang seharusnya mengawasi perkembangan anak sehingga tidak akan terjadinya penyimpangan.
Teori yang dipaparkan oleh Edwind H. Sutherland mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku berasal dari pergaulan yang berbeda. Anak mempelajari perilaku menyimpang dari komunikasi yang dilakukannya dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Peranan masyarakat juga turut andil ketika secara tidak sengaja memberikan contoh perilaku menyimpang yang kemudian ditiru oleh anak. Penyimpangan inilah yang kemudian menyebabkan segala tindak tanduk buruk anak yang melanggar aturan dan norma sosial di masyarakat.
UUD 1945 memberikan jaminan atas perlindungan terhadap hak anak yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (2) yang mengamanatkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang yang mana hal ini juga diamini dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2) yang menjabarkan bahwa hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum. Menurut Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M selaku ahli pidana anak dengan menempatkan anak di dalam sistem peradilan pidana, termasuk didalamnya berkenaan dengan penjatuhan pidana terhadap anak, mempunyai dampak buruk bagi kehidupan mereka (anak). Dampak buruk atau dampak negatif tersebut, mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak, hingga pada akhirnya berlanjut merusak masa depan mereka.
Adam Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana I halaman 18 menjelaskan bahwa sanksi pidana merupakan nestapa bagi pelaku yang sengaja dijatuhi oleh negara. Dalam hal ini pidana dapat dikatakan sebagai sikap yang memberi suatu penderitaan yang dilimpahkan oleh negara kepada pembuat delik. Secara filosofis, penanganan terhadap pelaku pelanggaran hukum usia anak didasari oleh kesalahan yang dilakukan oleh anak dianggap belum sepenuhnya dipahami. Sejatinya, anak diyakini lebih mudah dibina, dididik, dan disadarkan dibandingkan dengan orang dewasa atas kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga penjatuhan pidana terhadap anak tidak perlu untuk dilakukan karena lebih banyak memberi mudharat daripada manfaatnya.
Teori yang dikemukakan John Braithwaite tentang reintegrative shaming. Model ini sejalan dengan pendekatan yang mendasari ketentuan dan nilai-nilai dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, yaitu pendekatan kesejahteraan, di mana para pelanggar usia muda sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana, segala tindakan yang diambil oleh negara, berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh si anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
Sejatinya dalam Pancasila sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, telah mengakui adanya jaminan kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia dimana termasuk pula pada anak. Dengan membiarkan anak masuk dalam sistem peradilan pidana yang melelahkan dan berdampak traumatis, maka sama saja tidak menjunjung hak asasi terhadap anak tersebut, sekalipun ia merupakan pelaku tindak kejahatan. Hak asasi manusia tidak hanya berporos pada manusia dalam artian dewasa, melainkan juga anak yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak serta martabat untuk dijunjung. Anak telah diakui sebagai subjek hak asasi manusia yang sui generis berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak (CRC) sebagai landasan dalam memberi perlindungan yang utuh terhadap anak dan hak asasi manusia.
Menurut M. Nasir Djamil dalam bukunya yang berjudul “Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak)” menyebutkan bahwa anak bukanlah objek untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental. Terkadang Anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan dalam penjara.
Melansir dari data yang dikemukakan oleh ICJR dalam situsnya yang menyebutkan bahwa hingga Juni 2017, jumlah anak yang menjadi narapidana atau warga binaan berada pada angka 2.559 anak, dimana angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada pada kisaran angka 2.320 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia. Namun ironisnya, tidak seluruh wilayah memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa anak yang menjadi Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak (saat ini LPKA dan LPAS) berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa. Menurut Paulus Hadisuprapto dalam disertasinya yang berjudul “Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Non Penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”, Penempatan anak pada lapas dewasa menjadi salah satu dampak buruk yang ditimbulkan dari sistem peradilan anak yang ada saat ini.
Orangtua bertanggungjawab atas anaknya sebagaimana Pasal 3 angka 2 Konvensi Hak Anak yang berisi, “Negara-negara peserta berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak, dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua anak, walinya yang sah, atau orang lain, secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk maksud ini, akan mengambil semua tindakan legislatif dan administratif.” Yang mana tanggungjawab tersebut tidak bisa lepas hanya karena anak bersalah dan hanya mengerahkan telunjuk pada anak, karena pada dasarnya atas adanya tanggungjawab tersebut, maka berarti termasuk pula tanggungjawab atas tindakan anak akibat dari pengajaran dan pengawasan orangtua terhadapnya.
Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif) diantaranya : (a)Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai ultimum remedium), (b) Sanksi hukum pidana merupakan "remedium" yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/ atau efek samping yang negatif , (c) efektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalah-kan. Sehingga menjadi kurang tepat untuk memberikan sanksi pidana kepada anak dibawah umur.
Menurut Prof Romli Atmasasmita, terdapat banyak faktor penyebab penyimpangan yang dilakukan oleh anak, sehingga dapat mudah dipengaruhi mengingat kelabilan tinggi yang ada dalam diri anak, pendapat Romli Atmasasmita dibagi menjadi 2 (dua) kelompok motivasi, yaitu yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah; 1. Faktor intelegentia 2. Faktor usia 3. Faktor kelamin 4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga dan Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: 1. Faktor rumah tangga 2. Faktor pendidikan dan sekolah 3. Faktor pergaulan anak 4. Faktor mass media. Sehingga anak tidak serta merta melakukan kenakalan ‘karena dirinya’, melainkan adanya berbagai faktor baik dari dalam maupun luar yang mempengaruhinya.
Beniharmoni Harefa
Email: beniharefa@upnvj.ac.id
FB: Beni Harefa
IG: Beni Harefa