Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)
Saya sependapat dengan Zainal yang menyatakan bahwa Panitia Seleksi (Pansel) KPK harus menentukan corak dan model komisioner KPK berdasarkan kebutuhan percepatan pemberantasan korupsi empat tahun ke depan dengan memperhatikan sektor-sektor pemberantasan korupsi.
Akan tetapi, saya tak sependapat dengannya yang cenderung menafikan keberadaan mereka yang berlatar polisi dan atau jaksa sebagai komisioner KPK dengan penafsiran Undang-Undang KPK. Benar yang dikatakan Zainal bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK yang menyatakan bahwa komisioner KPK harus berlatar polisi dan atau jaksa, tetapi tak berarti keberadaan mereka tak perlu dipertimbangkan.
Akan tetapi, saya tak sependapat dengannya yang cenderung menafikan keberadaan mereka yang berlatar polisi dan atau jaksa sebagai komisioner KPK dengan penafsiran Undang-Undang KPK. Benar yang dikatakan Zainal bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK yang menyatakan bahwa komisioner KPK harus berlatar polisi dan atau jaksa, tetapi tak berarti keberadaan mereka tak perlu dipertimbangkan.
Polisi dan Jaksa Perlu Ada
Sebelum menafsirkan UU KPK, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa UU ini berada dalam kerangka sistem peradilan pidana. Substansi UU dimaksud tidak hanya mengatur institusi KPK, tetapi sebagian besar isi UU tersebut merupakan hukum acara pidana, khususnya tindakan pro justicia terhadap pelaku kejahatan korupsi.
Dapatlah dikatakan, UU KPK merupakan hukum acara yang bersifat lex specialis. Akan tetapi, ia tidak terlepas dari karakter hukum acara pidana yang mengandung sifat keresmian dengan berpegang pada prinsip hukum yang tertulis, hukum yang jelas, dan hukum yang tegas.
Jika terdapat ketentuan yang tidak jelas dalam hukum acara pidana, pintu penafsiran tidaklah terbuka lebar sebagaimana yang dikatakan Zainal. Namun, pintu penafsiran itu terbuka secara sempit atau bersifat restriktif. Hal ini berdasarkan adagium bahwa jika ada penyimpangan aturan dalam hukum pidana, penyimpangan itu harus diartikan secara sempit.
Dalam konteks teori, paling tidak ada 14 metode penafsiran. Ke-14 metode penafsiran tersebut ada yang bersifat restriktif, yang berarti menjelaskan suatu ketentuan UU yang membatasi ruang lingkupnya dengan mempersempit suatu hal yang terkandung dalam norma, dan penafsiran bersifat ekstensif yang berarti melakukan penafsiran dengan melampaui batas pengertian suatu hal yang dirumuskan dalam aturan. Termasuk di dalamnya penafsiran yang bersifat restriktif adalah penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, dan penafsiran harmoniserende.
Dalam penafsiran gramatikal, pembacaan suatu norma hukum secara letterlijk menjadi penting. Sementara penafsiran sistematis adalah menghubungkan satu pasal dengan pasal lain dalam UU yang sama. Penafsiran harmoni- serende adalah untuk menjaga harmonisasi antara UU yang satu dan UU lain yang secara eksplisit disebutkan dalam UU tersebut.
Kembali kepada keberadaan bakal calon berlatar polisi dan atau jaksa sebagai komisioner, kendatipun UU KPK tidak secara tegas mewajibkan, keberadaan mereka sebagai komisioner KPK sangat perlu dipertimbangkan.
Pertama, ketentuan Pasal 21 Ayat (4) UU KPK menyatakan bahwa pemimpin KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Artinya, pemimpin KPK tidak hanya melaksanakan tugas dan fungsi manajerial administrasi ataupun pengambil kebijakan. Ia juga dituntut melaksanakan fungsi yang bersifat teknis yuridis dan pro justicia. Hal ini didasarkan pada penafsiran gramatikal-sistematis.
Kedua, dengan menggunakan penafsiran harmoni serende, ketentuan Pasal 38 Ayat (1) juncto Pasal 39 Ayat (1) UU KPK, keberadaan komisioner yang berlatar polisi dan atau jaksa menjadi relevan. Kedua ketentuan itu eksplisit pada intinya menyatakan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tetap mengacu pada KUHAP sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU KPK. Berdasarkan KUHAP, penyidik adalah polisi dan penyidik pegawai negeri sipil, sementara penuntut umum adalah jaksa.
Ketiga, untuk memperkuat penafsiran gramatikal-sistematis-harmoni serende dapat digunakan penafsiran doktriner, yaitu penafsiran yang didasarkan pada teori tertentu. Dalam hal ini adalah teori integrated criminal justice system atau satu kesatuan sistem peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk memproses suatu perkara pidana. Khusus terkait fungsi penyidikan dan penuntutan, keberadaan polisi dan jaksa amat perlu dipertimbangkan.
Kriteria Komisioner KPK
Apa saja yang dijadikan kriteria calon komisioner KPK yang akan dipilah dan dipilih Pansel KPK? Paling tidak tiga kriteria harus dimiliki komisioner KPK. Pertama adalah integritas moral. Kriteria ini merupakan harga mati yang tak dapat ditawar dan dapat ditelusuri berdasarkan rekam jejak bakal calon komisioner KPK. Perihal integritas moral ini juga sejalan dengan Pasal 1 huruf c United Nations Convention Against Corruption.
Kedua, pemosisian dan komitmen yang kuat dari bakal calon komisioner KPK untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Ketiga, profesionalisme dalam menjalankan tugas. Termasuk dalam profesionalisme adalah kapasitas intelektualitas yang memadai. Kriteria ini dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi komisioner KPK yang teknis yuridis.
Jika dihubungkan antara ketiga kriteria itu dan latar bakal calon komisioner KPK yang berasal dari polisi dan atau jaksa, dua hal jadi catatan. Pertama, jika bakal calon yang berlatar polisi dan atau jaksa yang telah lolos seleksi tahap sebelumnya tak ada yang memenuhi kriteria integritas moral dan komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi, dalam tataran ini saya sependapat dengan Zainal untuk tak mempertimbangkan mereka sebagai komisioner KPK.
Kedua, jika yang terjadi sebaliknya, dalam pengertian bahwa bakal calon komisioner KPK yang berlatar polisi dan atau jaksa ada yang memenuhi kriteria integritas moral dan komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi, keberadaan mereka sebagai komisioner KPK wajib diutamakan. Ini semata-mata untuk melengkapi profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan fungsi bersama-sama komisioner lain yang kolektif kolegial.
Setelah membaca artikel saya, ”Komposisi Pimpinan KPK” di Kompas (28/7), Indriyanto Seno Adji, pelaksana tugas pemimpin KPK, mengirim SMS: ”Saya yang notabene guru besar hukum pidana dan juga seorang lawyer tidak menguasai hal-hal teknis yuridis terkait tindakan penyidikan dan penuntutan. Beruntung ada unsur pimpinan yang berlatar belakang polisi dan jaksa sehingga bisa mengoreksi tindakan penyidikan dan penuntutan pada level di bawahnya.”
Pesan singkat Indriyanto perlu saya utarakan untuk memberikan masukan kepada Pansel KPK yang tengah memilah dan memilih komisioner KPK bahwa selain ketiga kriteria di atas yang jadi acuan utama, keberadaan komisioner KPK berlatar polisi dan atau jaksa amat perlu dipertimbangkan.
Dimuat pada Harian KOMPAS, Rabu/ 26 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar