(sumber gambar : liputan6.com)
Oleh : Beniharmoni Harefa
AG yang kesehariannya menjaga warung di sekitar komplek dimana PNF tinggal. Saat PNF pulang sekolah, AG memanggil ke warungnya dan melakukan pemerkosaan kepada PNF hingga akhirnya dibunuh dengan cara yang sadis dan selanjutnya diletakkan di dalam kardus lalu dibuang. Bahkan dari hasil pengembangan polisi tentang kasus ini, selain PNF masih ada korban anak lain, berinisial T yang pernah dicabuli oleh pelaku AG.
Modus (cara melakukan) aksi AG terbilang tidak mencurigakan, karena pelaku adalah orang yang kesehariannya ada disekitar lingkungan korban. Hal ini berarti bahwa pelaku “bukanlah makhluk asing” bagi korban. Bahkan dalam beberapa kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi, pelaku acap kali menjadi teman bermain, teman bertukar pikiran, teman berkeluh kesah anak, sebelum kemudian dijadikan korban pencabulan ataupun pemerkosaan.
Anak (calon korban) biasanya oleh pelaku bisa saja ditawari uang jajan, permen, ditemani bermain, atau setidaknya bertegur sapa saat bertemu. Sudah dapat ditebak, berbagai hal itu dilakukan oleh predator anak untuk melancarkan aksinya. Pelaku dengan segala daya dan upaya “mencoba untuk menanamkan rasa percaya” kepada si anak calon korbannya. Sehingga pada saatnya nanti, pelaku tidak sulit lagi untuk melancarkan aksinya. Sama seperti yang dilakukan oleh AG kepada korbannya, awalnya tidak ada kekerasan, karena PNF sudah lama mengenal AG dan kerap bertegur sapa saat bertemu.
Dari beberapa peristiwa kekerasan seksual pada anak yang kerap terjadi, setidaknya ada 3 catatan terkait pelaku kekerasan seksual pada anak atau disebut “predator anak”. Pertama, pelaku biasanya orang yang sudah mengenal korban. Pelaku bukanlah orang asing dimata korban. Pelaku biasanya sudah mengetahui kebiasaan anak (calon korbannya). Biasanya pelaku tahu persis perihal keseharian korban, dimana korban setelah pulang sekolah, waktu bermainnya kapan, dimana korban suka bermain, siapa teman bermainnya. Bahkan dari pengakuan orang tua PNF seperti kasus di atas, AG adalah teman ayahnya PNF dan tanpa menaruh curiga suka bercengkrama ke rumah orangtua PNF. Pelaku tidak datang dengan tiba-tiba, namun telah lama mengenal dan berada di sekitar anak.
Kedua, pelaku suka melakukan “kebaikan semu” demi mewujudkan niatnya. Dari beberapa kasus yang pernah terjadi, pelaku kekerasan seksual pada anak suka memulai aksinya dengan kebaikan pada korbannya. Sekedar mengingatkan, kasus pelecehan seksual pada anak yang dilakukan AS alias Emon di Sukabumi Mei 2014 yang lalu, terungkap bahwa pelaku suka memberi uang kepada anak-anak korbannya. Emon suka membagi-bagi uang mulai dari 25 ribu sampai 50 ribu kepada anak-anak dengan “cuma-cuma”. Kebaikan yang tampak “tulus”. Setelah kasus terungkap, ternyata “kebaikan semu” sang predator anak, guna mewujudkan niatnya mencabuli atau memperkosa anak.
Ketiga, pelaku memiliki kelainan (gangguan) jiwa atau setidaknya memiliki pengalaman masa lalu yang buruk. Dari hasil penelusuran polisi, di masa lalu Emon ternyata dulunya juga pernah menjadi korban pelecehan seksual. Trauma itu yang menjadikannya begitu agresif untuk mencari korban berikutnya. Demikian juga AG pembunuh dan pemerkosa PNF, merupakan residivis kasus narkoba dan telah 2 kali menghuni lembaga pemasyarakatan. Memang tidak bisa dijadikan alasan pemaaf atas perbuatan bejat mereka, namun setidaknya itulah fakta bahwa para predator mempunyai latar belakang kehidupan masa lalu yang buruk.
Semua Pihak Perlu Mawas Diri
Terkesan terlalu berlebihan memang, apabila setiap yang bermaksud berbuat baik pada anak kita, harus dicurigai (berprasangka). Seolah semua orang disamakan sebagai predator anak. Namun mengutip Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya Psikologi Prasangka Orang Indonesia, menjelaskan bahwa memang berprasangka tidaklah selalu berdampak negatif. Kadang-kadang kita perlu berprasangka untuk menjaga diri sendiri (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006). Setidaknya prasangka dalam situasi yang tepat akan memberi keuntungan pada diri sendiri, dengan catatan tidaklah terlalu berlebihan dan tetap menghargai kebaikan tulus orang lain.
Hendak ditegaskan bahwa sebagai orang dewasa di sekitar anak, kiranya setiap kita memberikan perhatian pada keseharian anak. Perlu mengembangkan sikap waspada dan mawas diri. Tidak jarang setiap orang tua bersikap “terserah” pada lingkungan sekitar. Mungkin karena alasan terlalu sibuk, atau sudah sangat percaya pada lingkungan sekitar anak, maka kita sering lupa untuk mengawasi. Semua pihak kiranya perlu untuk mawas diri, karena predator anak tak pernah kehilangan akal untuk menjegal.
Sanksi bagi Predator Anak
Setiap anak menjadi tumpuan dan harapan masa depan negara dan bangsa. Perihal sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di Pasal 81 dan 82 UU a quo, pelaku pencabulan dan pemerkosaan terhadap anak diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) tahun.
Bahkan beberapa waktu terakhir, diusulkan agar kepada pelaku diterapkan “kebiri kimiawi”. Hal ini seperti telah diterapkan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Korea Selatan dan Polandia. Pelaku yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan phedophil (kekerasan seksual terhadap anak) dilakukan kebiri kimiawi. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mematikan syahwat seksual si pelaku dalam jangka waktu tertentu. Meski memang untuk pemberlakuan di Indonesia akan penuh kontroversi mengingat pertimbangan hak asasi manusia.
Kendati demikian, seberat apapun sanksi yang diberikan pada pelaku, tanpa merubah sikap waspada dari semua pihak, utamanya orangtua, semua usaha akan sia-sia. Sikap waspada harus terus ditingkatkan oleh setiap orang dewasa yang ada di sekitar anak, baik itu guru dan terutama orangtua. Sikap waspada yang dimaksud dengan memberikan perhatian khusus pada anak serta selalu memastikan siapa orang-orang dekat si anak. Tidak ada salahnya berprasangka yang proporsional sebagai sikap waspada, karena apabila tidak, maka predator anak di sekitar kita akan terus mengancam.
Penulis : Volunteer di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA Nias)
Terkesan terlalu berlebihan memang, apabila setiap yang bermaksud berbuat baik pada anak kita, harus dicurigai (berprasangka). Seolah semua orang disamakan sebagai predator anak. Namun mengutip Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya Psikologi Prasangka Orang Indonesia, menjelaskan bahwa memang berprasangka tidaklah selalu berdampak negatif. Kadang-kadang kita perlu berprasangka untuk menjaga diri sendiri (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006). Setidaknya prasangka dalam situasi yang tepat akan memberi keuntungan pada diri sendiri, dengan catatan tidaklah terlalu berlebihan dan tetap menghargai kebaikan tulus orang lain.
Hendak ditegaskan bahwa sebagai orang dewasa di sekitar anak, kiranya setiap kita memberikan perhatian pada keseharian anak. Perlu mengembangkan sikap waspada dan mawas diri. Tidak jarang setiap orang tua bersikap “terserah” pada lingkungan sekitar. Mungkin karena alasan terlalu sibuk, atau sudah sangat percaya pada lingkungan sekitar anak, maka kita sering lupa untuk mengawasi. Semua pihak kiranya perlu untuk mawas diri, karena predator anak tak pernah kehilangan akal untuk menjegal.
Sanksi bagi Predator Anak
Setiap anak menjadi tumpuan dan harapan masa depan negara dan bangsa. Perihal sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di Pasal 81 dan 82 UU a quo, pelaku pencabulan dan pemerkosaan terhadap anak diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) tahun.
Bahkan beberapa waktu terakhir, diusulkan agar kepada pelaku diterapkan “kebiri kimiawi”. Hal ini seperti telah diterapkan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Korea Selatan dan Polandia. Pelaku yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan phedophil (kekerasan seksual terhadap anak) dilakukan kebiri kimiawi. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mematikan syahwat seksual si pelaku dalam jangka waktu tertentu. Meski memang untuk pemberlakuan di Indonesia akan penuh kontroversi mengingat pertimbangan hak asasi manusia.
Kendati demikian, seberat apapun sanksi yang diberikan pada pelaku, tanpa merubah sikap waspada dari semua pihak, utamanya orangtua, semua usaha akan sia-sia. Sikap waspada harus terus ditingkatkan oleh setiap orang dewasa yang ada di sekitar anak, baik itu guru dan terutama orangtua. Sikap waspada yang dimaksud dengan memberikan perhatian khusus pada anak serta selalu memastikan siapa orang-orang dekat si anak. Tidak ada salahnya berprasangka yang proporsional sebagai sikap waspada, karena apabila tidak, maka predator anak di sekitar kita akan terus mengancam.
Penulis : Volunteer di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA Nias)
0 komentar:
Posting Komentar