Oleh : Beniharmoni Harefa
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik khususnya masyarakat Kota Gunungsitoli pada beberapa hari terakhir, yakni kasus Kadali. “Kadali” nama salah seorang pengusaha di wilayah Kota Gunungsitoli menjadi trend hangat pembicaraan setiap orang baik di Kota Gunungsitoli maupun orang Nias yang berada di luar wilayah kepulauan Nias. Sebagaimana diketahui Kota Gunungsitoli mayoritas berpenduduk suku Nias.Kasus kadali berawal pada Kamis, 15 Okotober 2015, Sugianto Kosasih alias Yanto atau yang lebih dikenal dengan nama “Kadali”, menghukum Rismawati Waruwu (Mawar) salah seorang karyawan di toko selular milik Kadali. Hukuman yang diberikan Kadali kepada Mawar, yakni Mawar harus berdiri di depan toko dengan menghadap jalan raya, dan dikalungkan kertas bertuliskan “Mawar adalah seorang pencuri”. Terlepas dari kontroversi sebagian orang mengatakan bahwa ditulisan tersebut selain kalimat mawar sebagai pencuri, Kadali juga menuliskan orang Nias sebagai pencuri pada kertas yang dikalungkan di leher Mawar.
(foto : suasana masa mengepung toko Kadali)
(foto: toko selular milik Kadali dilempari masa)
Penulis yang juga secara aktif mengikuti perkembangan kasus ini baik melalui media sosial, bahkan langsung berada di lokasi toko Kadali beberapa saat setelah kejadian Mawar dihukum, dan juga mengikuti sidang adat untuk Kadali di halaman Kantor Walikota Gunungsitoli, mencoba memberi sumbangsih pendapat. Berada pada posisi sebagai salah seorang murid yang sedang belajar dan mendalami hukum pidana dan restorative justice, penulis memberanikan diri, mencoba mengelaborasi “kasus kadali” dari sisi hukum pidana dan restorative justice.
Kedudukan Perempuan di Mata Masyarakat Nias
Sebelum melanjutkan kasus kadali, perlu penegasan bagaimana pandangan masyarakat Nias terhadap kedudukan seorang perempuan. Perempuan di mata masyarakat Nias, adalah sosok yang sangat dijunjung tinggi. Tingginya harkat dan martabat perempuan Nias, salah satunya terlihat ketika acara pernikahan. Putri Nias dapat dinikahi dengan proses yang sangat ketat dan pihak laki-laki harus menyerahkan böwö (jujuran). Meskipun acap kali urusan “jujuran” perempuan Nias ini sering mendapat kesan sinis dari segelintir. “Menikahi perempuan Nias sangat mahal harganya”, atau “adat istiadat Nias mahal, harus mengorbankan ratusan ekor babi”. Ucapan itu tidaklah berdasar, karena hanya melihat dari sudut pandang yang sempit saja.
Bukti lain bahwa harkat dan martabat perempuan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Nias, yakni bahwa di setiap acara adat kedudukan sibaya (paman) atau disebut uwu sangat dihormati. Menikahi perempuan Nias sering disebut mangai tanömö niha (sumber hidup). Dalam hubungan ini, pihak yang mempunyai perempuan, yang menguasai sumber kehidupan yakni Sibaya atau uwu. Keponakan mereka yang lahir dari perkawinan, dan menjadi pengantin perempuan dianggap mempunyai kehidupan yang bersumber dari mereka (Sibaya/uwu). Kuasa uwu terhadap keponakannya masih tetap terpelihara, seperti nampak antara lain pada upacara “fanefe idano” (pemercikan dengan air) bertujuan untuk memberkati keponakan (W. Gulo, Injil dan Kebudayaan Dalam Lingkungan Pelayanan Gereja di Nias, 1995, hlm.9-15).
Sehingga tidak mengherankan, apabila seorang perempuan Nias dilecehkan di depan umum, akan menjadi suatu permasalahan besar. Bahkan dalam hitungan beberapa menit saja, masa telah berkumpul, seperti di kasus Kadali. Di mata masyarakat Nias yang bermartabat, perempuan sangat dihargai dan dijunjung tinggi. Fangosiwawöi ira’awale (pelecehan perempuan) menjadi pelanggaran berat dengan konsekuensi membayar denda adat, hingga sanksi terberat labunu (hukuman mati), lataba mbagi (pemenggalan leher) guna menebus kesalahan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Ogauta (sanksi) yang telah disepakati dalam Fondrakö (Faogöli Harefa, Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, 1939, hlm.61-66).
Kembali pada kasus Kadali yang melecehkan Mawar, maka untuk meredam kemarahan warga khususnya warga Kota Gunungsitoli, selain menempatkan aparat keamanan menjaga lokasi, pihak-pihak terkait bertindak cepat dan antisipatif. Setelah melakukan serangkaian pertemuan, maka Lembaga Budaya Nias dengan difasilitasi pemerintah Kota Gunungsitoli, melaksanakan sidang adat pada tanggal 19 Oktober 2015. Sidang adatpun memutuskan Kadali diwajibkan meminta maaf kepada korban, kepada keluarga korban, dan kepada seluruh masyarakat Nias serta memenuhi denda adat.
Kekristenan dan Budaya Nias
Berbicara mengenai hukum adat Nias, tidak dapat dilepaskan dari momen masuknya kekristenan di Pulau Nias. Sebelum kekristenan diterima di Pulau Nias, Fondrakö sudah menjadi aturan tata laku kehidupan di dalam masyarakat. Istilah Fondrakö berasal dari kata rakö, yang berarti tetapkan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggar (S.W. Mendrofa, Fondrako Ono Niha: Agama Purba-HukumAdat-Mitologi-Hikayat Masyarakat Nias, 1981, hlm.11) Kepatuhan setiap masyarakat Nias zaman dahulu pada fondrakö, didasarkan pada sanksi kutuk.
Pada 27 September 1865 Denninger seorang misionaris Jerman, berhasil membawa kekristenan masuk di kepulauan Nias (Fd Harefa dan R Heering, Waö-Waö Duria Somuso Dödö Ba Dano Niha, 1971, hlm. 2-3). Lalu selanjutnya disusul oleh misionaris-misionaris lainnya. Dapat dipahami, ajaran kekristenan secara perlahan menjiwai keseharian ono niha (orang Nias). Sebagai ajaran yang mengedepankan “cinta kasih”, maka kekristenan sulit menerima sanksi kutuk sebagaimana dianut dalam Fondrakö. Sehingga perlahan masyarakat Nias diatur oleh hukum adat, yang lebih didasarkan pada kekristenan, tidak lagi pada sanksi kutuk.
Kekristenan menjadi agama baru di Pulau Nias kala itu. Namun, agama baru ini tidak bisa menggantikan setiap unsur yang hilang, yang pernah ada dalam agama lama (misalnya penafsiran mimpi, hubungan dengan roh-roh yang baik maupun yang jahat dan pencapaian kekebalan), semua ini akhirnya timbul lagi (Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu, 2015, hlm.181). Kendati demikian, bagi orang Kristen Nias, menjunjung adat dan serentak dengan itu percaya kepada Yesus Kristus, mengandung janji howuhowu (berkat) (Ibid, hlm.141). Dengan demikian, ono niha (masyarakat Nias), tunduk pada hukum adatnya, tidak lagi didasarkan pada sanksi kutuk seperti yang dipercaya pada masa dulu.
Sanksi dalam Ogauta pun semakin diringankan dengan tidak adanya lagi sanksi labunu (hukuman mati) atau lataba mbagi (pemenggalan leher). Kekristenan yang menekankan ajaran kasih, jelas tidak menganjurkan sanksi pembunuhan ini. Karena kekristenan memandang bahwa hanya Allah saja yang punya otoritas penuh, untuk mengambil nyawa setiap manusia.
Hadirnya kekristenan di Pulau Nias memberikan pengaruh kuat terhadap adat istiadat Nias. Perilaku orang Nias yang berdasarkan cinta kasih juga tercermin dari kehidupan harmoni. Hidup rukun dan damai menjadi keseharian masyarakat Nias. Sengketa kecil sebisa mungkin diselesaikan, bukan sengketa kecil dibesar-besarkan (Nibole wato da ta bali’ö nikha’ai gi’iwa, tenga nikha’ai gi’iwa tabaliö dibole wato). Demikian amaedola (pepatah) yang mendasari kehidupan ono niha, dalam menghindari konflik.
Pergeseran Paradigma Retributif ke Restoratif
Kehidupan harmoni, kehidupan penuh damai dan rukun, juga menjadi hakikat hidup setiap manusia. Namun, mengingat banyaknya kepentingan setiap orang dalam masyarakat, tidak mustahil terjadi konflik atau bentrokan karena kepentingan saling bertentangan. Sehingga akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, 1999, hlm.1-3). Keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu haruslah dipulihkan ke keadaan semula (restituo in integrum). Pada hakekatnya diperlukan “sanksi” yang bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, yang telah terganggu (Ibid, hlm.3,9).
Untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, penyelesaian kejahatan/pelanggaran khususnya kejahatan/ pelanggaran pidana pada beberapa tahun terakhir, lebih berorientasi pada pemulihan hubungan pelaku, korban dan masyarakat. Pemulihan itu dilakukan melalui forum dengar pendapat antar kedua belah pihak (Howard Zehr, Changing Lenses : A New Focus for Crime and Justice, 1990). Telah terjadi pergesaran paradigma, semula sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggar bertujuan sebagai pembalasan (retributif), bergeser sehingga bertujuan sebagai pemulihan (restoratif).
Pergeseran tujuan pemberian sanksi ini didasarkan pada tidak tercapainya hakikat pembalasan yang dikehendaki. Efek jera tidak menjadi jaminan ketika tujuan pemberian sanksi yaitu sebagai pembalasan. Kiranya kepentingan korban, pelaku dan masyarakat menjadi pertimbangan penting dalam menyelesaikan konflik. Dan hal itu tidak terwujud dengan penjatuhan sanksi yang bertujuan retributif.
Pergeseran paradigma retributif ke restoratif juga semakin dipertegas oleh masyarakat Internasional. Beberapa regulasi dapat dilihat sebagai penegasan bahwa dunia memandang keadilan restoratif menjadi pendekatan yang tepat saat ini. Misalnya Deklarasi PBB 1985 Nomor 40/34 tanggal 29 Nopember 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power menekankan keadilan restoratif untuk korban. Resolusi PBB 2002/ 12 tentang adanya Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif merupakan pendekatan yang dapat dipakai.
Termasuk Indonesia, yang secara tegas menggunakan peradilan dengan pendekatan keadilan restoratif khususnya terhadap anak melalui UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diwujudkan dalam bentuk diversi. Rancangan KUHP yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga mengedepankan penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Pendekatan keadilan restoratif melihat konflik dari perspektif korban, pelaku dan masyarakat. Pertama, dari perspektif korban, titik persoalan dalam penjatuhan sanksi khususnya sanksi pidana (pemidanaan) bukan terletak pada berat ringannya sanksi sebagai bentuk pelampiasan balas dendam terhadap pelanggar, tetapi untuk memperbaiki atau merestorasi kerugian atau luka-luka yang diderita yang disebabkan oleh kejahatan atau pelanggaran hukum pidana. Dalam konsep peradilan pidana formal selama ini, kepentingan korban diwakili oleh negara dalam hal peradilan pidana Indonesia oleh Penuntut Umum. Korban hanya sebagai pihak yang pasif dalam menyelesaikan konfliknya dengan pelaku. Sedangkan mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, korban diberikan peran yang luas.
Kedua, dari perspektif pelaku, melalui mekanisme dengan pendekatan restoratif, sanksi yang diberikan bersifat korektif. Artinya bukan dari besar kecilnya sanksi, namun untuk mengoreksi kesalahan pelaku sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas rusaknya keseimbangan tatanan masyarakat yang telah diperbuatnya. Sanksi juga bersifat rehabilitatif, sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki dirinya, dikemudian hari tidak mengulangi kesalahan yang sama. Seluruh upaya di atas, diharapkan akan bermuara pada keadilan restoratif, hubungan pelaku korban dan masyarakat bisa dipulihkan kembali, akibat konflik yang ditimbulkan. Pendekatan keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif, kiranya dapat menjawab semua kerusakan yang ditimbulkan, sehingga pemulihan keseimbangan tatanan masyarakat dapat terwujud.
Ketiga, dari perspektif masyarakat, maka penyelesaikan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, menempatkan masyarakat pada posisi bukan saja sebagai peserta pasif. Masyarakat diberikan peran yang lebih luas, untuk memantau pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku, yang dapat berwujud berbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak, pengembalian barang, pemenuhan denda adat, dan sebagainya.
Kearifan Lokal dan Keadilan Restoratif
Dari ketiga perspektif di atas, korban, pelaku dan masyarakat, maka kiranya penyelesaian konflik yang lebih mengedepankan “musyawarah” membantu tercapainya keadilan restoratif. Konsep musyawarah merupakan kearifan lokal (local wisdom) pada beberapa masyarakat di Indonesia. Mengingat luas dan beragamnya Indonesia, Negara sadar bahwa dalam beberapa hal, tidak mampu diatur dalam konstruksi yang sama. Oleh sebab itu, negara sangat menghargai kearifan lokal suatu daerah, utamanya dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut secara tegas diatur dalam UUD 1945 Pasal 18B bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat lokal bukanlah bejana kosong. Memiliki volksgemeenschappen, yang terdiri dari nilai, norma, teritoir, kepemimpinan dan manajemen konflik sebagai sistem tatanan (Bernard L Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, 2010, hlm. 11). Demikian Bernard L Tanya dalam penelitian yang dilakukannya, untuk menegaskan bahwa hukum negara tidak selamanya harus dikedepankan dalam penyelesaian konflik di masyarakat. Perbaikan hubungan pelaku, korban dan masyarakat menjadi tujuan utama yang dikedepankan dengan menggunakan kearifan lokal. Tidak hanya sekedar mengganti kerugian, tetapi untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang telah terganggu.
Kembali pada kasus Kadali. Dapat dipahami, tujuan sidang adat kasus kadali beberapa waktu lalu, tidak lain untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang sempat terganggu. Kearifan lokal masyarakat Nias yang tercermin di dalam ogauta sebagaimana tertuang di dalam fondrakö, menjadi cerminan identitas masyarakat Nias bermartabat.
Penulis mencoba memaparkan secara singkat beberapa hal terkait dengan fondrakö ono niha yang diperoleh dari beberapa referensi buku, wawancara dan pengamatan. Dahulu Pulau Nias, dibagi dalam wilayah Öri (kumpulan dari beberapa kampung) dan Banua (kampung). Setiap banua mempunyai susunan yakni Sanuhe, Tambalina, Fahandrona, Sidaöfa, dan seterusnya sampai Sifelendrua. Setiap manaru’ö banua (mendirikan banua), maka dilaksanakan namanya owasa (pesta besar) ditandai dengan pemotongan babi dalam jumlah besar dan simbi (rahang sebelah bawah) sebagai sumange (penghormatan) berharga, disajikan dalam owasa. Orang yang mampu mengadakan owasa sebagai penegasan dari kemampuan ekonomi, sosial dan kekuasaan.
Tiap-tiap banua, tunduk pada Fondrakö yang telah diatur sebelumnya di wilayah tersebut. Menurut Bambowo Laiya, rumusan Fondrakö mencakup 3 aspek, yakni pertama, huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia). Kedua, huku sifakhai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia). Ketiga, huku zifakhai ba rorogöfö zumange niha (hukum yang menyangkut kehormatan manusia) (Bambowo Laiya, Pemahaman Sendi-sendi Masyarakat Nias Guna Usaha Pembangunan, 1975, hlm.22-23)
Di dalam Fondrakö juga ditetapkan Ogauta (sanksi). Standar ukuran Ogauta disesuaikan dengan ukuran/takaran yang umum berlaku di Nias. Adapun bentuk takaran/ ukuran yang dipakai yakni : Afore (ukuran babi), Lauru (ukuran beras/padi) dan Fali'era (timbangan) (SW Mendrofa, Ibid, hlm.10-11). Ogauta (sanksi) mengatur tentang : Fanagö (pencurian, mulai dari pencurian ringan hingga berat). Fasöndrata (perkelahian, mulai dari perkelahian/penganiayaan ringan hingga pembunuhan). Fangosiwawoi ira’alawe (pelecehan).
Kembali pada kasus Kadali, maka penerapan hukum adat di kasus Kadali, bukanlah hal yang baru. Bahkan tidak juga sebagai upaya mengada-ngada atau dibuat-buat. Hukum adat Nias yang berbentuk Ogauta (sanksi) dalam Fondrakö, sudah sejak lama ada di Nias. Fondrakö juga turut andil dalam huku mböwö adat perkawinan di Nias. Meskipun, menurut penulis mungkin karena sifat hukum negara lebih pasti (tertulis) berbeda dengan hukum adat yang lebih dinamis (tidak tertulis), sehingga baik dalam ogauta maupun huku mböwö acapkali tidak sesuai lagi, tergantung kepada institusi penegaknya. Tetapi memang hukum adat tampak lebih fleksibel, tergantung kesepakatan para pihak dan tokoh-tokoh dengan berpedoman pada Ogauta. Namun, jangan dilupakan, nilai harmoni dan menjaga keseimbangan menjadi hakekat hukum adat.
Perlu untuk dijelaskan, adapun fondrakö yang digunakan dalam kasus kadali yakni Fondrakö Tölamaera, Fondrakö Bonioniowuluwulu dan Fondrakö Hilidora’a. Kendati korban (Mawar) berasal dari Kecamatan Hiliserangkai tepatnya Desa Hunogöa Kabupaten Nias, akan tetapi karena tempat kejadian perkara atau locus delicti kasus kadali terjadi di wilayah Kota Gunungsitoli tepatnya di Jl Diponegoro Kota Gunungsitoli, sehingga menggunakan Fondrakö Tölamaera, Fondrakö Bonioniowuluwulu dan Fondrakö Hilidora’a.
Adapun Ogauta (sanksi) yang dikenakan pada Kadali, yakni kepada Korban (Mawar) 1 balaki = Rp 5.000.000,-; Sumange Zatua (penghormatan kepada orangtua korban) dua wa sazilo = Rp3.000.000,-; Talifusö (saudara) sazilo= Rp1.500.000,- ; Banua (kampung) sazilo= Rp1.500.000,-; uwu (paman) sazilo= Rp1.500.000,-; fondrara dödö dua (untuk kakek)= 4(empat) alisi= Rp1.000.000,-; fondrara dödö nonomatua (untuk pemuda) 4 (empat) alisi= Rp1.000.000,-; aya gawe (untuk nenek) 4 (empat) alisi= Rp1.000.000,-; fangombakha ba nono alawe 4 (empat) alisi= Rp1.000.000,-; möli-möli mbanua sazilo= Rp1.500.000,- ; fanöngöni (saksi) dua wa sazilo = Rp3.000.000,-; unsur kepala daerah sazilo= Rp1.500.000,-. Total : Rp22.500.000,-
Kembali pada kasus Kadali yang melecehkan Mawar, maka untuk meredam kemarahan warga khususnya warga Kota Gunungsitoli, selain menempatkan aparat keamanan menjaga lokasi, pihak-pihak terkait bertindak cepat dan antisipatif. Setelah melakukan serangkaian pertemuan, maka Lembaga Budaya Nias dengan difasilitasi pemerintah Kota Gunungsitoli, melaksanakan sidang adat pada tanggal 19 Oktober 2015. Sidang adatpun memutuskan Kadali diwajibkan meminta maaf kepada korban, kepada keluarga korban, dan kepada seluruh masyarakat Nias serta memenuhi denda adat.
Kekristenan dan Budaya Nias
Berbicara mengenai hukum adat Nias, tidak dapat dilepaskan dari momen masuknya kekristenan di Pulau Nias. Sebelum kekristenan diterima di Pulau Nias, Fondrakö sudah menjadi aturan tata laku kehidupan di dalam masyarakat. Istilah Fondrakö berasal dari kata rakö, yang berarti tetapkan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggar (S.W. Mendrofa, Fondrako Ono Niha: Agama Purba-HukumAdat-Mitologi-Hikayat Masyarakat Nias, 1981, hlm.11) Kepatuhan setiap masyarakat Nias zaman dahulu pada fondrakö, didasarkan pada sanksi kutuk.
Pada 27 September 1865 Denninger seorang misionaris Jerman, berhasil membawa kekristenan masuk di kepulauan Nias (Fd Harefa dan R Heering, Waö-Waö Duria Somuso Dödö Ba Dano Niha, 1971, hlm. 2-3). Lalu selanjutnya disusul oleh misionaris-misionaris lainnya. Dapat dipahami, ajaran kekristenan secara perlahan menjiwai keseharian ono niha (orang Nias). Sebagai ajaran yang mengedepankan “cinta kasih”, maka kekristenan sulit menerima sanksi kutuk sebagaimana dianut dalam Fondrakö. Sehingga perlahan masyarakat Nias diatur oleh hukum adat, yang lebih didasarkan pada kekristenan, tidak lagi pada sanksi kutuk.
Kekristenan menjadi agama baru di Pulau Nias kala itu. Namun, agama baru ini tidak bisa menggantikan setiap unsur yang hilang, yang pernah ada dalam agama lama (misalnya penafsiran mimpi, hubungan dengan roh-roh yang baik maupun yang jahat dan pencapaian kekebalan), semua ini akhirnya timbul lagi (Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu, 2015, hlm.181). Kendati demikian, bagi orang Kristen Nias, menjunjung adat dan serentak dengan itu percaya kepada Yesus Kristus, mengandung janji howuhowu (berkat) (Ibid, hlm.141). Dengan demikian, ono niha (masyarakat Nias), tunduk pada hukum adatnya, tidak lagi didasarkan pada sanksi kutuk seperti yang dipercaya pada masa dulu.
Sanksi dalam Ogauta pun semakin diringankan dengan tidak adanya lagi sanksi labunu (hukuman mati) atau lataba mbagi (pemenggalan leher). Kekristenan yang menekankan ajaran kasih, jelas tidak menganjurkan sanksi pembunuhan ini. Karena kekristenan memandang bahwa hanya Allah saja yang punya otoritas penuh, untuk mengambil nyawa setiap manusia.
Hadirnya kekristenan di Pulau Nias memberikan pengaruh kuat terhadap adat istiadat Nias. Perilaku orang Nias yang berdasarkan cinta kasih juga tercermin dari kehidupan harmoni. Hidup rukun dan damai menjadi keseharian masyarakat Nias. Sengketa kecil sebisa mungkin diselesaikan, bukan sengketa kecil dibesar-besarkan (Nibole wato da ta bali’ö nikha’ai gi’iwa, tenga nikha’ai gi’iwa tabaliö dibole wato). Demikian amaedola (pepatah) yang mendasari kehidupan ono niha, dalam menghindari konflik.
Pergeseran Paradigma Retributif ke Restoratif
Kehidupan harmoni, kehidupan penuh damai dan rukun, juga menjadi hakikat hidup setiap manusia. Namun, mengingat banyaknya kepentingan setiap orang dalam masyarakat, tidak mustahil terjadi konflik atau bentrokan karena kepentingan saling bertentangan. Sehingga akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, 1999, hlm.1-3). Keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu haruslah dipulihkan ke keadaan semula (restituo in integrum). Pada hakekatnya diperlukan “sanksi” yang bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, yang telah terganggu (Ibid, hlm.3,9).
Untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, penyelesaian kejahatan/pelanggaran khususnya kejahatan/ pelanggaran pidana pada beberapa tahun terakhir, lebih berorientasi pada pemulihan hubungan pelaku, korban dan masyarakat. Pemulihan itu dilakukan melalui forum dengar pendapat antar kedua belah pihak (Howard Zehr, Changing Lenses : A New Focus for Crime and Justice, 1990). Telah terjadi pergesaran paradigma, semula sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggar bertujuan sebagai pembalasan (retributif), bergeser sehingga bertujuan sebagai pemulihan (restoratif).
Pergeseran tujuan pemberian sanksi ini didasarkan pada tidak tercapainya hakikat pembalasan yang dikehendaki. Efek jera tidak menjadi jaminan ketika tujuan pemberian sanksi yaitu sebagai pembalasan. Kiranya kepentingan korban, pelaku dan masyarakat menjadi pertimbangan penting dalam menyelesaikan konflik. Dan hal itu tidak terwujud dengan penjatuhan sanksi yang bertujuan retributif.
Pergeseran paradigma retributif ke restoratif juga semakin dipertegas oleh masyarakat Internasional. Beberapa regulasi dapat dilihat sebagai penegasan bahwa dunia memandang keadilan restoratif menjadi pendekatan yang tepat saat ini. Misalnya Deklarasi PBB 1985 Nomor 40/34 tanggal 29 Nopember 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power menekankan keadilan restoratif untuk korban. Resolusi PBB 2002/ 12 tentang adanya Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif merupakan pendekatan yang dapat dipakai.
Termasuk Indonesia, yang secara tegas menggunakan peradilan dengan pendekatan keadilan restoratif khususnya terhadap anak melalui UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diwujudkan dalam bentuk diversi. Rancangan KUHP yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga mengedepankan penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Pendekatan keadilan restoratif melihat konflik dari perspektif korban, pelaku dan masyarakat. Pertama, dari perspektif korban, titik persoalan dalam penjatuhan sanksi khususnya sanksi pidana (pemidanaan) bukan terletak pada berat ringannya sanksi sebagai bentuk pelampiasan balas dendam terhadap pelanggar, tetapi untuk memperbaiki atau merestorasi kerugian atau luka-luka yang diderita yang disebabkan oleh kejahatan atau pelanggaran hukum pidana. Dalam konsep peradilan pidana formal selama ini, kepentingan korban diwakili oleh negara dalam hal peradilan pidana Indonesia oleh Penuntut Umum. Korban hanya sebagai pihak yang pasif dalam menyelesaikan konfliknya dengan pelaku. Sedangkan mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, korban diberikan peran yang luas.
Kedua, dari perspektif pelaku, melalui mekanisme dengan pendekatan restoratif, sanksi yang diberikan bersifat korektif. Artinya bukan dari besar kecilnya sanksi, namun untuk mengoreksi kesalahan pelaku sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas rusaknya keseimbangan tatanan masyarakat yang telah diperbuatnya. Sanksi juga bersifat rehabilitatif, sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki dirinya, dikemudian hari tidak mengulangi kesalahan yang sama. Seluruh upaya di atas, diharapkan akan bermuara pada keadilan restoratif, hubungan pelaku korban dan masyarakat bisa dipulihkan kembali, akibat konflik yang ditimbulkan. Pendekatan keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif, kiranya dapat menjawab semua kerusakan yang ditimbulkan, sehingga pemulihan keseimbangan tatanan masyarakat dapat terwujud.
Ketiga, dari perspektif masyarakat, maka penyelesaikan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif, menempatkan masyarakat pada posisi bukan saja sebagai peserta pasif. Masyarakat diberikan peran yang lebih luas, untuk memantau pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku, yang dapat berwujud berbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak, pengembalian barang, pemenuhan denda adat, dan sebagainya.
Kearifan Lokal dan Keadilan Restoratif
Dari ketiga perspektif di atas, korban, pelaku dan masyarakat, maka kiranya penyelesaian konflik yang lebih mengedepankan “musyawarah” membantu tercapainya keadilan restoratif. Konsep musyawarah merupakan kearifan lokal (local wisdom) pada beberapa masyarakat di Indonesia. Mengingat luas dan beragamnya Indonesia, Negara sadar bahwa dalam beberapa hal, tidak mampu diatur dalam konstruksi yang sama. Oleh sebab itu, negara sangat menghargai kearifan lokal suatu daerah, utamanya dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut secara tegas diatur dalam UUD 1945 Pasal 18B bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat lokal bukanlah bejana kosong. Memiliki volksgemeenschappen, yang terdiri dari nilai, norma, teritoir, kepemimpinan dan manajemen konflik sebagai sistem tatanan (Bernard L Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, 2010, hlm. 11). Demikian Bernard L Tanya dalam penelitian yang dilakukannya, untuk menegaskan bahwa hukum negara tidak selamanya harus dikedepankan dalam penyelesaian konflik di masyarakat. Perbaikan hubungan pelaku, korban dan masyarakat menjadi tujuan utama yang dikedepankan dengan menggunakan kearifan lokal. Tidak hanya sekedar mengganti kerugian, tetapi untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang telah terganggu.
Kembali pada kasus Kadali. Dapat dipahami, tujuan sidang adat kasus kadali beberapa waktu lalu, tidak lain untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang sempat terganggu. Kearifan lokal masyarakat Nias yang tercermin di dalam ogauta sebagaimana tertuang di dalam fondrakö, menjadi cerminan identitas masyarakat Nias bermartabat.
Penulis mencoba memaparkan secara singkat beberapa hal terkait dengan fondrakö ono niha yang diperoleh dari beberapa referensi buku, wawancara dan pengamatan. Dahulu Pulau Nias, dibagi dalam wilayah Öri (kumpulan dari beberapa kampung) dan Banua (kampung). Setiap banua mempunyai susunan yakni Sanuhe, Tambalina, Fahandrona, Sidaöfa, dan seterusnya sampai Sifelendrua. Setiap manaru’ö banua (mendirikan banua), maka dilaksanakan namanya owasa (pesta besar) ditandai dengan pemotongan babi dalam jumlah besar dan simbi (rahang sebelah bawah) sebagai sumange (penghormatan) berharga, disajikan dalam owasa. Orang yang mampu mengadakan owasa sebagai penegasan dari kemampuan ekonomi, sosial dan kekuasaan.
Tiap-tiap banua, tunduk pada Fondrakö yang telah diatur sebelumnya di wilayah tersebut. Menurut Bambowo Laiya, rumusan Fondrakö mencakup 3 aspek, yakni pertama, huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia). Kedua, huku sifakhai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia). Ketiga, huku zifakhai ba rorogöfö zumange niha (hukum yang menyangkut kehormatan manusia) (Bambowo Laiya, Pemahaman Sendi-sendi Masyarakat Nias Guna Usaha Pembangunan, 1975, hlm.22-23)
Di dalam Fondrakö juga ditetapkan Ogauta (sanksi). Standar ukuran Ogauta disesuaikan dengan ukuran/takaran yang umum berlaku di Nias. Adapun bentuk takaran/ ukuran yang dipakai yakni : Afore (ukuran babi), Lauru (ukuran beras/padi) dan Fali'era (timbangan) (SW Mendrofa, Ibid, hlm.10-11). Ogauta (sanksi) mengatur tentang : Fanagö (pencurian, mulai dari pencurian ringan hingga berat). Fasöndrata (perkelahian, mulai dari perkelahian/penganiayaan ringan hingga pembunuhan). Fangosiwawoi ira’alawe (pelecehan).
Kembali pada kasus Kadali, maka penerapan hukum adat di kasus Kadali, bukanlah hal yang baru. Bahkan tidak juga sebagai upaya mengada-ngada atau dibuat-buat. Hukum adat Nias yang berbentuk Ogauta (sanksi) dalam Fondrakö, sudah sejak lama ada di Nias. Fondrakö juga turut andil dalam huku mböwö adat perkawinan di Nias. Meskipun, menurut penulis mungkin karena sifat hukum negara lebih pasti (tertulis) berbeda dengan hukum adat yang lebih dinamis (tidak tertulis), sehingga baik dalam ogauta maupun huku mböwö acapkali tidak sesuai lagi, tergantung kepada institusi penegaknya. Tetapi memang hukum adat tampak lebih fleksibel, tergantung kesepakatan para pihak dan tokoh-tokoh dengan berpedoman pada Ogauta. Namun, jangan dilupakan, nilai harmoni dan menjaga keseimbangan menjadi hakekat hukum adat.
(foto: kadali menyerahkan denda adat dalam sidang adat)
Adapun Ogauta (sanksi) yang dikenakan pada Kadali, yakni kepada Korban (Mawar) 1 balaki = Rp 5.000.000,-; Sumange Zatua (penghormatan kepada orangtua korban) dua wa sazilo = Rp3.000.000,-; Talifusö (saudara) sazilo= Rp1.500.000,- ; Banua (kampung) sazilo= Rp1.500.000,-; uwu (paman) sazilo= Rp1.500.000,-; fondrara dödö dua (untuk kakek)= 4(empat) alisi= Rp1.000.000,-; fondrara dödö nonomatua (untuk pemuda) 4 (empat) alisi= Rp1.000.000,-; aya gawe (untuk nenek) 4 (empat) alisi= Rp1.000.000,-; fangombakha ba nono alawe 4 (empat) alisi= Rp1.000.000,-; möli-möli mbanua sazilo= Rp1.500.000,- ; fanöngöni (saksi) dua wa sazilo = Rp3.000.000,-; unsur kepala daerah sazilo= Rp1.500.000,-. Total : Rp22.500.000,-
Perlu juga disampaikan bahwa ukuran : Sazilo = 6 (enam) alisi. 1 (satu alisi) jika dirupiahkan nilai untuk saat ini di tahun 2015 = Rp 250.000,-. Demikian Ogauta (sanksi) yang dibacakan oleh Tokoh Adat Nias pada 19 Oktober 2015 yang lalu, kepada Kadali dihadapan korban, orangtua, saudara, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, mewakili banua dan seluruh pihak dalam sidang adat yang terbuka untuk umum. Mungkin karena Öri sudah tidak lagi berlaku di Nias, maka digunakan pembagian administrasi wilayah sesuai ketetapan pemerintahan. Sehingga pimpinan daerah baik Kota Gunungsitoli maupun Kabupaten Nias, menjadi pihak yang turut menyaksikan (hörözinöngö).
Kembali pada Ogauta (sanksi) maka bukan dinilai dari besar kecilnya hukuman, apalagi kiranya tidak perlu dilihat dari nilai uangnya, setidaknya nilai-nilai filosofis, yuridis, utamanya nilai-nilai sosial dan kasih, menjadi nilai yang sangat berharga serta menjadikan masyarakat Nias masih memiliki identitas, jati diri sebagai suku yang bermartabat. Penyelesaian konflik ini, sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif yang lebih mengedepankan kearifan lokal (local wisdom).
(foto: tokoh-tokoh adat, masyarakat, agama, perempuan, pemuda dalam sidang Kadali)
(foto: Mawar/korban (pakaian hijau) dalam acara sidang adat)
(foto : tokoh-tokoh MUI, NU, Muhamadiyah, GP Anshor Kota Gunungsitoli dalam sidang adat Kadali)
(foto : penandatanganan surat perjanjian)
Keadilan Restoratif Kasus Kadali
Kasus Kadali memang menjadi menarik, karena seolah mengingatkan kembali akan keunikan adat istiadat Nias, khususnya dalam penyelesaian konflik, sebagai kearifan lokal yang perlu untuk dilestarikan. Dari berbagai uraian di atas, ada beberapa catatan. Pertama, hukum adat Nias ada dan masih diakui keberadaannya, serta perlu dilestarikan. Ono niha dikenal dengan suku yang bermartabat. Adat sebagai identitas, menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi. Dalam kasus Kadali terbukti bisa mempertemukan dan membuat kesepakatan damai, seluruh tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, serta berbagai unsur lapisan masyarakat.
Kedua, pasca sidang adat Kadali, suasana Kota Gunungsitoli kembali normal, pertanda masyarakat Nias menginginkan hidup damai. Pengakuan bersalah, permintaan maaf, penyesalan, dan berjanji tidak mengulangi lagi kesalahannya disampaikan Kadali secara terbuka di hadapan umum, sudah lebih dari cukup sebagai sanksi. Sanksi ini juga sejalan dengan penyelesaian perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.
Ketiga, sidang adat yang dijalani Kadali kiranya menjadi pertimbangan meringankan pada peradilan pidana dengan hukum nasional. Karena pengakuan bersalah, penyesalan, permintaan maaf, dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, mempunyai nilai yang sama dengan nilai ganti kerugian dilihat dari pendekatan keadilan restoratif. Hakim pengadilan kiranya mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, bahkan dampak sosiologis dari pelaksanaan sidang adat kasus Kadali.
Keempat, sebaiknya sudah saatnya pranata adat dan peradilan adat dibentuk dalam suatu lembaga yang lebih sistematis. Keberadaan Lembaga Budaya Nias (LBN), menjadi kurang permanen karena seharusnya tidak serta merta bisa melakukan peradilan adat terhadap pelaku, meskipun di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh adat.
Kelima, memang belum dibahas sejak awal tulisan, namun setidaknya sebagai sumbangsih pemikiran, bahwa sebaiknya ke depan pengaturan ketenagakerjaan khususnya di wilayah Nias patut mendapat perhatian lebih. Pihak-pihak terkait (stakeholders) kiranya lebih optimal untuk memperhatikan regulasi ketenagakerjaan di Nias. Hal-hal terkait perjanjian kontrak, penegasan hak dan kewajiban pekerja, serta hak dan kewajiban pemberi kerja, kiranya menjadi urgensi pembenahanan sistem ketenagakerjaan khususnya di Nias.
Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif, sudah menjadi paradigma dalam sistem peradilan saat ini. Penyelesaian kasus Kadali menjadi contoh penting, bagaimana konflik dapat diselesaikan dengan mempertemukan kepentingan korban, pelaku dan masyarakat. Menggunakan kearifan lokal yang ada, khususnya kearifan lokal masyarakat Nias di Kasus Kadali, bertujuan mengembalikan keseimbangan tatanan masyarakat khususnya Kota Gunungsitoli, yang sempat rusak dan terganggu, kembali ke keadaan semula. Penyelesaian konflik itu sesuai dengan hakikat keadilan restoratif (restorative justice).
Daftar Bacaan :
Bambowo Laiya, Pemahaman Sendi-sendi Masyarakat Nias Guna Usaha Pembangunan, Pidato Ilmiah, IKIP Gunungsitoli, 29 November 1975.
Bernard L Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, GENTA Publishing Yogyakarta, 2010.
Faogöli Harefa, Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfons Residentie Tapanoeli, 1939.
Fd Harefa dan R Heering, Waö-Waö Duria Somuso Dödö Ba Dano Niha, Pertjetakan BNKP Tohia, 1971.
Howard Zehr, Changing Lenses : A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, PA: Herald Press, 1990.
W. Gulo, Injil dan Kebudayaan Dalam Lingkungan Pelayanan Gereja di Nias, Ceramah disajikan dalam persidangan Sinode BNKP di Gunungsitoli tanggal 20-25 Juni 1995.
S.W. Mendrofa, Fondrako Ono Niha: Agama Purba-HukumAdat-Mitologi-Hikayat Masyarakat Nias, Inkultura Fondation Inc., 1981.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1999.
Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu: Studi Sejarah dan Sosial-Budaya tentang Perjumpaan Kekristenan dan Kebudayaan Asli di Nias dan Pulau-Pulau Batu, BPK Gunung Mulia,2015.
Kelima, memang belum dibahas sejak awal tulisan, namun setidaknya sebagai sumbangsih pemikiran, bahwa sebaiknya ke depan pengaturan ketenagakerjaan khususnya di wilayah Nias patut mendapat perhatian lebih. Pihak-pihak terkait (stakeholders) kiranya lebih optimal untuk memperhatikan regulasi ketenagakerjaan di Nias. Hal-hal terkait perjanjian kontrak, penegasan hak dan kewajiban pekerja, serta hak dan kewajiban pemberi kerja, kiranya menjadi urgensi pembenahanan sistem ketenagakerjaan khususnya di Nias.
Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif, sudah menjadi paradigma dalam sistem peradilan saat ini. Penyelesaian kasus Kadali menjadi contoh penting, bagaimana konflik dapat diselesaikan dengan mempertemukan kepentingan korban, pelaku dan masyarakat. Menggunakan kearifan lokal yang ada, khususnya kearifan lokal masyarakat Nias di Kasus Kadali, bertujuan mengembalikan keseimbangan tatanan masyarakat khususnya Kota Gunungsitoli, yang sempat rusak dan terganggu, kembali ke keadaan semula. Penyelesaian konflik itu sesuai dengan hakikat keadilan restoratif (restorative justice).
Daftar Bacaan :
Bambowo Laiya, Pemahaman Sendi-sendi Masyarakat Nias Guna Usaha Pembangunan, Pidato Ilmiah, IKIP Gunungsitoli, 29 November 1975.
Bernard L Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, GENTA Publishing Yogyakarta, 2010.
Faogöli Harefa, Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfons Residentie Tapanoeli, 1939.
Fd Harefa dan R Heering, Waö-Waö Duria Somuso Dödö Ba Dano Niha, Pertjetakan BNKP Tohia, 1971.
Howard Zehr, Changing Lenses : A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, PA: Herald Press, 1990.
W. Gulo, Injil dan Kebudayaan Dalam Lingkungan Pelayanan Gereja di Nias, Ceramah disajikan dalam persidangan Sinode BNKP di Gunungsitoli tanggal 20-25 Juni 1995.
S.W. Mendrofa, Fondrako Ono Niha: Agama Purba-HukumAdat-Mitologi-Hikayat Masyarakat Nias, Inkultura Fondation Inc., 1981.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1999.
Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib dan Adu: Studi Sejarah dan Sosial-Budaya tentang Perjumpaan Kekristenan dan Kebudayaan Asli di Nias dan Pulau-Pulau Batu, BPK Gunung Mulia,2015.
1. saya sepakat dengan anda....... kepada Pak hakim dapat mengadopsi hal ini dalam pertimbangan putusan.........dan tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan yurispurdensi ke depan. Dengan ini Adat memiliki wibawa dimata masyarakat.....
BalasHapus2. Fondrako yang dilaksanakan terjadi sebelum Denninger datang.... artinya masyarakat Nias sebelumnya sudah diwarnai oleh budaya luar antara lain dari Aceh, Minang dll (Ndrawa) akan tetapi yg sdr angkat untuk tulisan ini hanya unsur Kristiani saja..... demikian saran
Sebelumnya trmksh Pak Polem buat atensinya thd tulisan ini dan salam kenal. Mengenai yang pertama, maka memang besar harapan kita hakim peradilan hukum nasional akan mempertimbangkan sidang adat yang sudah dijalani.
BalasHapusMengenai yang kedua, bahwa benar fondrako sudah dilaksanakan jauh sebelum Denniger datang (kekristenan masuk ke Nias). Fondrako diadakan untuk mengatur tata laku masyarakat kala itu. Melalui Fondrako Bonio Niowuluwulu misalnya, diatur terkait sistem permintaan bea pelabuhan kepada pedagang etnis asing (dawa) yang memasuki pelabuhan Luaha Nou (Faondrago Zebua, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, 1996, hlm. 59). Dikenakan bea pelabuhan dalam tiga jenis, yaitu pertama, Karaza Mbawaluaha (bea masuk perairan kawasan pelabuhan), untuk Laso Borombanua Telaumbanua. Kedua, Fogala (bea penggalahan masuk kuala), Lochozitolu Zebua. Ketiga, Fondrara (bea penarikan tambang penambat), untuk Bawolaraga Harefa. Demikian Fondrako itu dinamakan Fondrako Bonio Niowuluwulu ditetapkan oleh Sitolu Tua meliputi : Kerajaan Ori Tumori (Mado Zebua), Ori Dahana (Mado Harefa) dan Ori Ulu (Mado Telaumbanua) (Ibid, hlm.59). Yang mau disampaikan disini bahwa demikian situasi pada kala itu. Fondrako Bonio menurut Faondrago Zebua dilaksanakan pada 7 April 1629. Denniger berhasil membawa kekristenan pada 27 September 1865 artinya : benar jauh sebelum kekristen datang, masyarakat Nias sudah diwarnai Fondrako. Tentunya kala itu, dapat dipastikan agama yang diyakini oleh para leluhur masih "menyembah adu" atau "agama suku". Etnis asing (dawa) juga tentunya dengan kepercayaan yang mereka bawa dari tempat asal mereka. Jadi dengan memahami ini, maka terjawab Pak, alasan mengapa saya mengangkat kekristenan dan budaya Nias. Terlihat jelas, bagaimana peran masing-masing khususnya dalam Fondrako. Mengacu dari beberapa referensi yang saya pelajari, maka sebenarnya patut diapresiasi leluhur suku Nias kala itu mampu hidup berdampingan dengan leluhur etnis asing (dawa),dan hingga saat ini terus terjaga.