Gambar: Ilustrasi
Pendapat Hukum
Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M.
Disampaikan pada sidang Pengadilan Negeri Palangka Raya 18 November 2020
Dalam beberapa kasus korupsi sering digunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 ayat 1 menegaskan: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyakRp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"
Pasal 3 menegaskan : "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"
Perbuatan yang dilarang dalam kedua pasal di atas adalah :
- Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
- Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Yang harus dibuktikan dalam unsur ini adalah apakah benar perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa telah adanya motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang mana perbuatan tersebut dimaksudkan supaya dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan tersebut dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri si pelaku atau orang lain atau suatu korporasi, hingga menimbulkan akibat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Antara motivasi, perbuatan dan akibat harus benar-benar terwujud. Motivasi adalah suatu hal yang melatar belakangi sesuatu. Perbuatan : memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kesempatan, atau orang lain atau suatu korporasi. Akibat: merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Ketiganya ini harus terwujud. Dalam hal akibat terwujud, namun selama motivasi dan perbuatan tidak ada kausalitas dengan akibat ini, maka tidak dapat dikatakan tindak pidana. Dapat saja terjadi kerugian Negara namun dalam konteks administrasi atau perdata.
Khusus pada pasal 3, pembuktian lebih berat lagi. Perlu dicatat kata-kata "dengan tujuan" menandakan corak kesengajaan dalam pasal a quo adalah kesengajaan sebagai maksud. Artinya antara motivasi, perbuatan dan akibat harus benar-benar terwujud. Jika salah satu saja tidak terwujud, penuntut umum harus dianggap gagal membuktikan kesengajaan sebagai maksud dalam pasal a quo. Penuntut umum harus dapat membuktikan terdakwa memiliki dolus malus atau niat jahat sebagai syarat motiv yang dimaksud dalam pasal a quo.
Konsekuensi logis dari kata-kata “dengan tujuan” penuntut umum harus bekerja ekstra untuk membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud dan bukan corak kesengajaan lainnya. Artinya pasal a quo menutup peluang adanya kesengajaan sebagai kepastian atau kesengajaan sebagai kemungkinan. Hal ini berbeda dengan pasal 2 ayat (1) yang mana Penuntut Umum hanya cukup membuktikan adanya kesengajaan tanpa harus membuktikan lebih lanjut corak kesengajaan dimaksud.
Dikatakan seperti suatu perbuatan sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi pada saat motivasi, perbuatan dan akibat benar-benar terwujud. Kembali ke kata-kata “dengan tujuan” adalah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin (sikap batin) si pelaku “yang ditujukan” untuk memperoleh suatu keuntungan. Hukum hanya mengatur bagaimana melihat suatu tujuan dalam suasana batin (sikap batin) seseorang adalah dari perbuatan-perbuatannya yang tampak/ terlihat sehingga dari perbuatan itulah kemudian disimpulkan tentang ada atau tidaknya tujuan dalam batin si pelaku.
Harus ada hubungan kausalitas antara penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana dengan jabatan atau kedudukan pelaku. Dalam hal ini ajaran kausalitas dari Brickmayer yaitu: mest wirksame bedingung, syarat yang paling utama untuk menentukan akibat. Bisa jadi apa yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah suatu penyalahgunaan wewenang melainkan Business Judgement Rules.
Pembentuk Undang-Undang telah mengantisipasi apabila hal tersebut terjadi, agar pelaku tidak lolos tetapi dapat digugat secara perdata atau dapat juga dijatuhi sanksi administrasi. Pasal 32 UU a quo menegaskan: "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan"
Beniharmoni Harefa
Email: beniharefa@upnvj.ac.id atau beniharefa9@gmail.com
FB: Beni Harefa
IG: Beni Harefa
0 komentar:
Posting Komentar