Dalam enam bulan
terakhir ini, boleh jadi Komisaris Jenderal Susno Duadji adalah orang yang
paling kontroversial di Tanah Air. Mulai dari perseteruan Polri-KPK,
kesaksiannya dalam sidang Antasari Azhar, kemudian membongkar kasus mafia pajak
yang melibatkan petinggi Polri, sampai pada penetapan dirinya sebagai tersangka
disusul penangkapan dan penahanan dalam kasus penangkaran arwana PT Salmah
Arwana Lestari.
Bersandar pada KUHAP, penetapan seseorang sebagai tersangka, penangkapan
berikut penahanannya adalah kewenangan Polri. Kewenangan itu berdasarkan
penilaian subyektif aparat penyidik terhadap bukti permulaan yang ada. Agar
kewenangan yang bersifat subyektif itu tidak disalahgunakan penyidik, untuk
menilainya harus berdasarkan fakta yang obyektif, khususnya berkaitan dengan
bukti permulaan.
Tak sebatas alat bukti
Ada perbedaan ketika
penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka dan ketika penyidik akan
menangkap berikut menahan orang tersebut. Pasal 1 Butir 14 KUHAP menyatakan,
"Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana".
Adapun Pasal 17 KUHAP menyebutkan, "Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup". Berdasarkan kedua pasal itu jelas terlihat perbedaannya bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan bukti permulaan.
Adapun Pasal 17 KUHAP menyebutkan, "Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup". Berdasarkan kedua pasal itu jelas terlihat perbedaannya bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan bukti permulaan.
Bukti di sini tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal
184 KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa,
dan petunjuk. Namun, bukti di sini juga dapat meliputi barang bukti yang secara
garis besar dibagi menjadi dua, yaitu barang-barang yang digunakan untuk
melakukan kejahatan (corpus delicti) dan barang-barang hasil kejahatan (instrumenta
delicti).
Sementara untuk melakukan penangkapan terhadap seorang tersangka diperlukan bukti permulaan yang cukup. Kata-kata "bukti permulaan yang cukup" berdasarkan tolok ukur pembuktian dalam doktrin hukum merujuk pada bewijs minimum atau bukti minimum yang diperlukan untuk memproses seseorang dalam perkara pidana, yakni dua alat bukti. Dengan demikian, untuk menangkap seseorang diperlukan dua dari lima alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.
Selanjutnya, untuk
menakar bukti permulaan tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan
disangkakan kepada tersangka. Sebab, pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan
berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai
unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana itu haruslah berpatokan
kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Dalam rangka
mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun
penangkapan dan penahanan, setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara
satu dan lainnya, termasuk pula dengan calon tersangka.
Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP kita tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka, tetapi berdasarkan doktrin hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar (Arthur Best dalam Evidence: Examples And Explanations, 1994, hlm 4).
Logika kekuasaan
Terkait kasus Komjen
Susno Duadji untuk menakar bukti permulaan kiranya dapat dilihat dengan
menggunakan fakta yang obyektif. Pertama, Susno disangkakan menerima suap Rp
500 juta dalam kasus penangkaran ikan arwana PT Salmah Arawana Lestari di
Rumbai, Riau.
Ajaran kausalitas dalam
hukum pidana, untuk membuktikan seseorang telah menerima suap, semestinya ada
pelaku yang mengaku atau setidak-tidaknya memberi keterangan sebagai pemberi
suap. Lebih adil lagi jika pemberi suap itu telah dinyatakan sebagai tersangka
terlebih dulu. Anehnya, Susno telah dinyatakan sebagai tersangka terlebih dulu
sebelum pemberi suapnya dinyatakan sebagai tersangka.
Kedua, keterangan saksi
yang menyatakan Susno menerima suap tidak dapat dipercaya begitu saja karena
kedua saksi itu sekarang ini adalah tersangka dalam kasus mafia pajak yang
dibongkar oleh Susno sehingga keterangan saksi tersebut harus diperkuat oleh
alat bukti lainnya.
Ketiga, Susno tidak
diizinkan untuk diperlihatkan bukti yang cukup sehingga ia dapat dijerat
sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Kendatipun hal ini bukanlah kewajiban
penyidik, tetapi dibutuhkan agar tidak terjadi unfair prejudice terhadap
Susno.
Keempat, terkait
penangkapan dan penahanan khususnya syarat subyektif penahanan. Jika Susno
dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah Susno selama ini selalu
memperlihatkan sikap kooperatif ketika dimintai keterangannya?
Jika Polri menganggap
Susno akan merusak atau menghilangkan barang bukti, kekhawatiran ini justru
kontradiktif dengan penangkapan dan penahanan itu sendiri yang katanya telah
memiliki bukti permulaan yang cukup. Jika Polri menganggap Susno akan
mengulangi tindak pidana, anggapan tersebut kiranya terlalu sumir.
Tegasnya, penetapan
Susno Duadji sebagai tersangka berikut penangkapan dan penahanannya lebih
memperlihatkan logika kekuasaan daripada logika yuridis.
Sumber : www.kompas.com
Sumber : www.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar