Oleh : Beniharmoni Harefa
Belum
lama ini, video asusila pelajar beredar lagi. Dikatakan “lagi” karena
sebelumnya juga pernah beredar video asusila yang melibatkan pelajar. Video
asusila kali ini, diduga terjadi di dalam ruang kelas, anehnya lagi disaksikan
oleh beberapa orang siswa lainnya. Ruang kelas diduga dimanfaatkan oleh siswa
pada saat jam pelajaran usai. Tidak ada paksaan dalam kejadian itu, namun belum
dipastikan juga apakah didasarkan suka sama suka (Kompas, 25/10/13)
Kasus
video asusila pelajar ini sebenarnya bukan yang pertama, sudah “berulang kali”
terjadi. Perlu dicatat, itu baru yang
terungkap (beredar), belum lagi yang tersimpan dan tidak pernah
diungkap. Memprihatinkan memang, sejatinya anak seumuran mereka menggunakan
waktu sungguh-sungguh untuk belajar, akan tetapi malah melakukan perbuatan
terlarang. Bahkan perbuatan terlarang mereka dilakukan di ruang kelas, yang
seharusnya menjadi tempat mereka menimba ilmu. Dalam kaitan ini, sekolah harus
dapat menjelaskan/ mengklarifikasi kejadian ini, jangan selalu berdalih dengan
alibi kejadian terjadi di luar jam pelajaran sekolah.
Secara
hukum, penyebaran video asusila pelajar ini dapat dijerat dengan UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau juga bisa dengan
menerapkan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Bahkan untuk anak di bawah
umur bisa digunakan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga jika
pelakunya anak, dapat dijerat dengan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Namun demikian apakah dengan penerapan hukum ini maka, permasalahan
selesai. Terbukti dengan beberapa kasus video asusila sebelumnya, kepastian
hukum sudah ditegakkan. Namun kenapa terulang lagi. Apakah pemidanaan bagi para
pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran video asusila ini, tidak
menimbulkan efek jera.
Merespon
kegelisahan itu, sepatutnya dicarikan apa yang menyebabkan ini terjadi, mengapa
pelajar-pelajar ini sampai mau melakukan perbuatan tercela (memvideokan
dirinya) seperti itu. Apa yang merasuki pikiran mereka hinga bertindak tidak
senonoh. Tulisan ini kemudian mencoba melihat lebih ke faktor penyebab video
asusila itu. Video asusila pelajar, apa penyebabnya ?
Anak
dipertontonkan contoh yang buruk
Belum
hilang dari ingatan kita, kasus video asusila yang melibatkan para artis
kenamaan tanah air ini. Sebut saja Ariel Peterpan (sekarang Noah), Luna Maya
dan Cut Tari. Ketiganya tersandung kasus video asusila yang terekam dan tidak
sengaja tersebar ke publik. Kendati pada saat itu, Luna Maya dan Cut Tari tidak
menjalani proses hukum sedangkan Ariel Noah divonis 3 Tahun 6 bulan penjara
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dengan dipotong masa tahanan sejak
2010. Lalu pada saat menjalani hukuman, Ariel mendapat remisi (pengurangan masa
pemidanan). Kemudian pada bulan juli tepatnya 23 Juli 2012, sang vokalis Noah
mendapatkan pembebasan bersyarat. (Kompas, 25/06/12)
Apabila
kita jeli melihat dan mengikuti kasus ini, si pelaku yang jelas-jelas telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan mesum dalam video yang
tesebar itu, menjadi terkenal kembali. Bahkan tidak berlebihan bila mengatakan kasus
yang menjeratnya justru malah melambungkan kembali namanya di jagat hiburan
tanah air.
Lalu
apa kaitannya dengan kasus video asusila pelajar yang terjadi baru-baru ini,
jelas sangat berdampak. Dapat dipahami bahwa sudah menjadi sifat dasar anak
(termasuk pelajar) untuk “suka meniru”, hal ini dikarenakan ketidak matangan
berpikir mereka. Mereka (anak) sedang berada dalam kondisi mencari jati diri,
sehingga apa yang sering mereka lihat dan rasakan itulah yang mereka tiru. Maka
melihat perjalanan kasus video asusila para artis sebelumnya itu, bukan tidak
mungkin di dalam benak anak-anak muncul pernyataan ini : “tidak ada yang salah
kok dengan video itu”, “hanya media saja yang berlebihan mengekspose kasus itu”
atau “bahkan mereka (artisnya) semakin terkenal kok setelah kasusnya terjadi”.
Pernyataan-pernyataan ini dapat dipastikan akan terbangun dengan melihat fakta
dan realita yang dipertontonkan pada kita saat ini.
Jelas
ini bukan sesuatu hal yang menguntungkan, atau sesuatu yang membanggakan.
Pernyataan itu membentuk suatu pola berpikir yang salah, dalam benak anak-anak.
Pola pikir yang “melenceng” itu terbangun dari ketidakberesan penyelesaian
masalah sebelumnya. Sehingga tidak heran bila anak-anak (pelajar) tidak begitu
menyesali perbuatan salah yang mereka lakukan, karena “meniru” dari apa yang
dihidangkan oleh publik figure tanah air ini. Anak dipertontonkan contoh yang
“buruk”, menyebabkan mereka berperilaku tercela.
Kurangnya pengawasan
orangtua
Lalu
kalau sudah demikian apa yang harus dilakukan. Memang di era teknologi
informasi yang berkembang pesat ini, tidaklah sulit untuk mengakses
informasi-informasi yang terjadi di sekitar kita. Demikian halnya dengan anak,
tidak jarang terlihat anak-anak lebih “cerdas” memanfaatkan kecanggihan
teknologi informasi yang ada dibandingkan orangtuanya yang membelikannya
“mainan” teknologi itu.
Maka
tidak jarang ditemukan orang tua yang tidak mampu lagi mengikuti alur
perkembangan informasi yang didapatkan si anak. Orang tua dengan berbagai
alasan, terkesan sudah terlanjur membelikan si anak alat teknologi itu, dengan
melupakan fungsi pengawasannya (fungsi kontrol) terhadap anak-anaknya.
Dapat
dipastikan karena kurangnya pengawasan orangtua, maka bukan suatu hal yang
mengejutkan bila pelajar yang masih tergolong anak-anak itu, memanfaatkan
teknologi informasi sebagai media “tanpa batas”, bagi kenikmatan hidup mereka.
Tanpa berpikir panjang mengenai dampak baik buruknya bagi diri dan lingkungan
sekitarnya. Teknologi itu dijadikan “mainan” dengan bebas, tanpa harus memperdulikan
resiko ke depan.
Seto Mulyadi (psikolog dan
pemerhati anak), menegaskan bahwa video asusila pelajar ini terjadi karena
kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak. Tertutupnya jalur komunikasi
antara orangtua dan anak. Akibatnya untuk hal yang bersifat pribadi dan
penting, misalnya seks, anak cenderung mencari dari sumber lain yang tidak
dijamin kebenarannya (Kompas 29/10/13). Oleh sebab itu, tambah Seto, orangtua bersama pendidik (guru),
selain mengawasi juga harus menjadi tempat curahan hati (curhat) yang nyaman
bagi anak.
Lemahnya
pengawasan orang tua, terhadap perilaku dan perkembangan si anak menjadi faktor
utama penyebab anak menyimpang. Sejatinya anak harus mendapatkan perhatian
lebih, dari orang tuanya, namun karena kesibukan dan alasan lainnya, maka anak
dipercayakan saja pada pihak lain seperti pembantu rumah tangga, pihak sekolah,
atau siapa saja yang dapat terlibat untuk mengasuh dan membesarkan anaknya.
Faktor intern
Selain
kedua faktor tersebut di atas, maka juga kiranya menjadi pertimbangan faktor
intern (dari dalam). Kedua faktor sebelumnya, karena dipertontonkan contoh yang buruk dan kurangnya pengawasan orang tua dapat digolongkan faktor ekstern
(dari luar diri si anak). Maka berbicara faktor dari dalam diri si anak,
kiranya menjadi titik tekan adalah faktor moral spiritual.
Nilai-nilai
moral dan agama hendaknya jangan dilupakan apalagi dianggap sepele oleh semua
pihak terkait maraknya kasus video asusila pelajar ini. Nilai moral dan agama
juga memegang peran penting. Dapat dipastikan karena lemahnya nilai moral dan
agama para pelajar, menjadi salah satu faktor penyebab mengapa mereka tidak
merasa malu lagi untuk berbuat asusila. Bahkan pada kasus yang terakhir, dua
orang pelajar “mengizinkan” temannya untuk menonton perbuatan mesum yang mereka
lakukan. Menunjukkan nilai moral dan agama yang dimiliki pelajar-pelajar ini
sangat jauh dari yang diharapkan. Bagaimana mungkin perbuatan yang seyogianya
dilakukan oleh pasangan suami istri, dilakukan oleh dua orang pelajar yang
belum menikah, dengan disaksikan oleh teman-temannya. Suatu degradasi moral dan agama yang hampir
mencapai titik nadir.
Hukum hanya
sebagai upaya terakhir
Kiranya
dari uraian di atas dapat menjelaskan pada kita bahwa permasalahan video
asusila pelajar ini jangan dipandang sebelah mata. Permasalahan ini tidaklah
selesai pada tataran hukuman (pemidanaan) semata, mengingat juga bahwa hukum
hanyalah sebagai ultimum remedium
(sebagai obat terakhir). Jangan kita berhenti pada pemikiran bahwa hukum saja para pelaku/
penyebar video itu, maka semua akan selesai, tanpa harus melihat akar
permasalahannya.
Sebagaimana
yang sudah terjadi selama ini bahwa setelah pelaku/ penyebar diproses secara
hukum, tidak membuat pembuatan video asusila menjadi berhenti. Terulang lagi
dan terulang lagi, mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan
permasalahan video pelajar ini. Selama tidak menyentuh akar permasalahan yang
sebenarnya maka pasti kita akan mendengar lagi “terulang lagi, video asusila
pelajar”.
0 komentar:
Posting Komentar