Oleh : Eddy OS
Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum UGM)
PERKARA kebijakan talangan (bail
out) Bank Century memasuki babak baru menyusul persidangan perdana kasus a
quo dengan terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia
saat kebijakan talangan diambil.
Dalam dakwaan disebutkan Budi Mulya
bersama Boediono selaku Gubernur BI, dan deputi gubernur BI lain yang menjabat
saat itu, terlibat dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP)
sebesar Rp 689,39 miliar. Masih menurut dakwaan, bail out Bank
Century sebagai bank gagal yang berdampak
sistemik merugikan keuangan negara
sebesar Rp 7,45 triliun dengan rincian FPJP sebesar Rp 689,39 miliar dan
penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 6,76 triliun.
Menurut jaksa, pembengkakan PMS yang
semula Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun karena data yang digunakan BI
untuk menghitung kebutuhan dana tidak akurat dan tidak menggunakan data
terkini. Dalam dakwaan, nama Boediono disebut sampai 67 kali sehingga
menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana tanggung jawab Boediono dalam perkara a
quo.
Terpisah
Dalam konteks hukum pidana, perlu
dipahami bahwa ada pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana,
tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
ataukah tidak.
Akan tetapi, seseorang yang dijatuhi
pidana sudah pasti telah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks hukum pidana pula,
pertanggungjawaban dapat disamakan dengan kesalahan dalam pengertian yang luas.
Ada tiga elemen dalam kesalahan yang
bersifat kumulatif. Artinya, seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana jika memenuhi ketiga elemen tersebut.
Pertama, kemampuan bertanggung
jawab. Kedua, adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang
dilakukan. Sikap batin ini melahirkan dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan
dan kealpaan. Syarat kesengajaan adalah weten en wilen (mengetahui
dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian
atau kurang adanya penduga-dugaan.
Ketiga, tidak ada alasan penghapus
pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan
pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum
perbuatan yang meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan
terpaksa, dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf menghapuskan sifat dapat
dicelanya pelaku yang teridiri dari kemampuan bertanggung jawab, pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, perintah jabatan yang tidak sah, dan daya paksa.
Pada dasarnya, bail out Bank
Century adalah suatu kebijakan yang dapat diadili dalam konteks hukum pidana
jika kebijakan tersebut dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan
kejahatan. Hal ini tentunya harus dibuktikan dengan ajaran kausalitas dalam
hukum pidana bahwa antara kebijakan dan kejahatan tersebut merupakan satu
rangkaian terjadinya suatu tindak pidana.
Selain itu, ada aji mumpung (moral
hazard) dalam pengambilan kebijakan tersebut. Secara gamblang, WPJ Pompe
dalam Handboek Van Het Nederlandse Strafrechtmenyatakan bahwa dalam
hukum pidana yang dipersoalkan tidak hanya kesalahan yuridis, tetapi juga moral
hazard dalam melakukan suatu perbuatan. Moral hazardberkaitan
erat dengan sikap batin seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dan tentunya
tidak mudah dibuktikan.
Oleh karena itu, dengan menggunakan
teori kesengajaan yang diobyektifkan, moral hazard dapat
terlihat dari kesesuaian fakta-fakta atas dasar bukti yang valid. Di samping
itu pula, kebijakan tersebut melanggar peraturan. Pengertian peraturan di sini
sangat luas. Tidak harus melanggar undang-undang, tetapi cukup melanggar
peraturan perundang-undangan lainnya termasuk peraturan yang dibuat oleh
pejabat publik atau suatu lembaga negara.
Pembuktian tiga elemen
Bila bail out Bank
Century dihubungkan dengan ketiga elemen kesalahan sebagaimana diurakain di
atas, dapat tidaknya Boediono dimintai pertanggungjawaban pidana bisa dilihat
dari hal sebagai berikut.
Pertama, perihal elemen kemampuan
bertanggung jawab, kiranya tidak perlu dibahas lebih lanjut bahwa Boediono
memiliki kecakapan bertindak, terlebih dalam kapasitasnya sebagai ahli ekonomi.
Kedua, terkait adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan
yang dapat berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan. Mengenai adanya unsur
kealpaan haruslah dikesampingkan karena Pasal 2 ayat (1) ataupun Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan adanya
bentuk kesalahan berupa kealpaan, melainkan secara implisit mensyaratkan bentuk
kesalahan berupa kesengajaan.
Persoalan lebih lanjut yang harus
dibuktikan sebagaimana dalam dakwaan bahwa pembengkakan PMS yang semula Rp 632
miliar menjadi Rp 6,76 triliun karena data yang digunakan BI untuk menghitung
kebutuhan dana tidak akurat dan tidak menggunakan data terkini. Apakah
ketidakakuratan data diketahui ataukah tidak oleh Boediono sebagai Gubernur BI?
Jika ketidakakuratan data sebagai
dasar pengambilan keputusan diketahui, maka unsur kesengajaan telah terbukti.
Sebaliknya, jika ketidakakuratan data sebagai dasar pengambilan keputusan tidak
diketahui, maka sesungguhnya Boediono berada dalamfeitelijke dwaling (kesesatan
fakta). Dalam konteks teori, feitelijke dwaling adalah salah
satu kesesatan dalam kesengajaan yang dapat tidak dijatuhi
pidana.
Ketiga, elemen tidak adanya alasan
penghapus pertanggungjawaban pidana, baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Bail
out Bank Century selalu dikaitkan dengan bank gagal berdampak sistemik
dan pada saat itu berada dalam situasi krisis ekonomi. Hal ini harus dibuktikan
lebih lanjut, apakah jika Bank Century tidak di-bail out akan
terjadi krisis luar biasa seperti tahun 1998 ataukah tidak.
Bila kegagalan Bank Century tidak
berdampak sistemik seperti yang diwacanakan, maka ada moral hazard dalam
kebijakan bail out tersebut. Sebaliknya, bila kegagalan Bank
Century berdampak sistemik dan jika tidak di-bail out akan
menimbulkan kerugian yang lebih besar, berarti kebijakan tersebut diambil dalam
keadaan darurat sebagai suatu alasan pembenar.
Dalam keadaan darurat berlaku
prinsip necessitas non habet legem yang berarti keadaan
darurat tidak mengenal hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan pidana dapat dikesampingkan.
Terakhir yang perlu menjadi catatan
bahwa disebutkannya nama Boediono sebanyak 67 kali dalam dakwaan Budi Mulya
tidak serta-merta berarti Boediono dapat dituntut pertanggungjawabannya secara
pidana. Jika penyebutan nama Boediono hanya untuk merekonstruksi dugaan tindak
pidana sebagai suatu rangkaian perbuatan, maka keberadaan nama Boediono
hanyalah saksi yang perlu didengarkan keterangannya dalam perkara a quo.
(Dimuat pada harian KOMPAS, 11 Maret 2014)
0 komentar:
Posting Komentar