Jumat, 03 Oktober 2014

"KONFLIK" jadi "PERPECAHAN" ???

Hitam putih adalah harmoni, bukan untuk saling membenci. 
Layaknya papan catur, tak akan ada permainan jika hanya ada satu warna.
(Anonim)

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sebagai kumpulan dari beberapa orang, suatu keniscayaan bila sebuah perkumpulan (organisasi) tidak pernah mengalami namanya konflik. Ibarat bumbu dalam makanan, perkumpulan terasa tak sedap jika tanpa konflik. Juga tidak jarang, akibat konflik, suatu perkumpulan harus memilih bubar. Dengan alasan “konflik” yang terjadi, tidak mampu lagi untuk diselesaikan.

Konflik dalam perkumpulan, kerap kali terjadinya berawal dari perbedaan pandangan. Dari perbedaan pandangan ini, kemudian melahirkan batas pemisah. Batas pemisah ini kemudian menjadikan perkumpulan terdiri dari para pihak. Ada pihak yang pro terhadap pandangan itu, ada pihak kontra. Sejatinya suatu perkumpulan dibentuk untuk menyatukan beberapa orang, namun jika dengan hadirnya konflik maka perkumpulan bisa saja berujung pada perpecahan.

Konflik merupakan hal yang wajar terjadi di dalam suatu perkumpulan. Namun menjadi pertanyaan apakah selamanya konflik harus berujung pada perpecahan ? ataukah sebaliknya konflik dapat dimanfaatkan sebagai alat pemersatu perkumpulan ? Pertanyaan mendasar itulah yang kemudian akan dijawab dalam tulisan sederhana ini. Haruskah konflik berujung pada perpecahan ?

Mengapa Harus Berkumpul
Memahami alasan mengapa orang berkumpul (membentuk perkumpulan), akan sangat membantu kita, untuk membicarakan konflik dalam perkumpulan. Setidaknya ada 3 (tiga) catatan, mengapa orang memilih berkumpul dan membentuk suatu perkumpulan. 

Pertama, untuk mendapatkan rasa aman. Hal ini dapat dijelaskan dengan merujuk pendapatnya Thomas Hobbes tentang homo hominilupus, bahwa. manusia bagaikan serigala bagi sesamanya (Sudikno Mertokusumo 2010:2). Hal ini dapat dipahami sebab setiap manusia pada hakekatnya mempunyai kepentingan. Untuk memenuhi kepentingannya, manusia sering berebut dengan manusia lainnya. Maka membentuk kelompok atau perkumpulan adalah akan lebih bermanfaat dari pada seorang diri. Untuk menciptakan kekuatan maka dibentuklah perkumpulan.

Alasan kedua, mengapa orang berkumpul yakni mempertahankan identitas. Identitas atau dapat diartikan sebagai cirikhas, ciri-ciri khusus, atau jati diri dari seseorang. Identitas inilah yang dapat membedakan seseorang dengan orang lain. Untuk mempertahankan identitas agar tidak terkikis atau hilang maka dibentuklah perkumpulan. misalnya perkumpulan suatu suku. Agar identitas suku Nias yang berada di Yogjakarta dapat dipertahankan, maka orang-orang Nias membentuk perkumpulan suku Nias yang berdomisili di Yogja. Beberapa contoh lainnya, yang dapat menjelaskan bahwa tujuan membentuk perkumpulan salah satunya adalah mempertahankan identitas, seperti : perkumpulan marga, perkumpulan alumni, perkumpulan hobi tertentu, dsb.

Ketiga, aktualisasi diri (ingin diakui). Beberapa orang bersatu dan membentuk perkumpulan untuk mengaktualisasikan diri. Alasan ketiga ini dapat dijelaskan, dengan melihat bahwa memang sifat dasar manusia adalah membutuhkan pengakuan. Hal ini jangan diartikan buruk, sebab memang setiap manusia ingin diakui. Sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, kita mempraktekkan sifat ingin diakui ini.

Sebagai seorang mahasiswa, pernahkah kita sangat kesal ketika mendapatkan nilai buruk dari dosen atau teman kita. Atau sebagai seorang pekerja, pernahkah kita merasa kecewa dan marah, saat pimpinan menilai kinerja kita jelek, padahal kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Rasa kesal, kecewa dan marah itu, sebenarnya sebagai wujud dari kita membutuhkan pengakuan. Kita ingin diakui oleh manusia lainnya. Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan dirinya, manusia membentuk perkumpulan agar diakui dan keberadaan (eksistensi) nya tetap dapat dipertahankan.
Setidaknya ketiga hal inilah, yang menjadi alasan mengapa orang berkumpul (membentuk suatu perkumpulan).

Dari ketiganya yakni untuk mendapatkan rasa aman, mempertahankan identitas, aktualisasi diri (ingin diakui), peserta sebuah perkumpulan akan berupaya untuk memenuhi hal dimaksud sebagai motivasi awal dia bergabung di perkumpulan. Dapat dipahami, bahwa apabila hal (alasan) tersebut, salah satu atau ketiga-tiganya tidak terwujud, maka inilah kemudian yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Misalnya si A yang ingin diakui (mengaktualisasikan diri) dalam perkumpulan, agar terlihat eksis, berjasa, hebat, berpengaruh bagi perkumpulan, si A butuh diakui, namun manakala peserta lain (dalam perkumpulan) tidak mengindahkan ini, dapat dipastikan konflik akan “bertunas”. Demikian seterusnya dengan contoh yang bervariasi (kasuistis).

Konflik dikelola bukan dihindari
Tidak sulit menemukan, konflik yang tidak dikelola dengan baik, akan berujung pada perpecahan. Perceraian suami istri dalam rumah tangga, permusuhan antar saudara, menjadi contoh betapa konflik jika tidak mampu dikelola dengan benar akan menimbulkan dampak buruk. Konflik menjadi salah satu bola panas, yang bila tidak dikelola akan melahirkan perpecahan.

Konflik ada bukan untuk dihindari, namun konflik ada untuk dikelola (Stephen R Covey, 2008). Demikian sering diucapkan oleh orang-orang yang sudah tiba, pada kematangan berpikir mengenai konflik. Konflik pasti ada dalam kehidupan perkumpulan, oleh karenanya tidak tepat jika menghindarinya tetapi “dikelola”. Kendati Mao Zedong pemimpin komunis Cina, namun dapat dilihat keberhasilannya dalam mengelola konflik membawanya menjadi pemimpin yang disegani di RRC pada saat itu (1893-1976). Menurutnya konflik dibagi 2, konflik antagonis dan non antagonis. Konflik antagonis dapat diselesaikan dengan pertempuran sedangkan konflik non antagonis dapat diselesaikan dengan diskusi (Majalah Publizer, Maret:2013)

Tidak hendak melihat contoh pemimpin negara komunisnya, namun menyorot kemampuan seorang kepemimpinan (leadership) seorang Mao Zedong hendak menegaskan bahwa konflik dikelola dengan benar, tanpa harus menghindarinya. Hal ini sebagai modal besar, melahirkan pemimpin yang tahan uji.

Mengelola Konflik
Dalam mengelola konflik, setidaknya ada 3 (tiga) yang menjadi catatan penting, Pertama, berdiskusilah (bertukarpikiran). Dapat dipahami ketika orang sedang berkonflik, maka komunikasi akan terganggu. Tidak jarang orang yang sedang berkonflik tidak saling menyapa. Ada juga yang menyapa saat bertemu dengan lawan konflik, namun hanya sebatas simbolis agar terlihat elok oleh orang lain. Maka tentunya diskusi ataupun bertukarpikiran akan sangat sulit tercipta dalam kondisi yang seperti ini. Untuk mensiasatinya, maka dengan pemahaman konflik harus dikelola, dibutuhkan kecerdasan dalam membaca situasi. Lihatlah situasi yang tepat, lalu ajak lawan konflik untuk berdiskusi.

Dalam mengelola konflik dengan cara berdiskusi ini, hendaknya ditanamkan gamaedola (pepatah) nias : Hulo la’ewa ewa nidano ifuli sa fahalo halo, demikianlah persaudaraan bagaikan air yang mengalir, yang hendak dibelah namun pada masanya selalu akan bersatu kembali. Kiranya ini selalu menjadi pegangan, dalam menyelesaikan konflik yang sudah terjadi. Harus dipahamkan bahwa dengan rasa persaudaraan/ kekeluargaan, tidak ada konflik yang tidak dapat diselesaikan, khususnya dalam perkumpulan,

Kedua, bekerjasamalah. Aristoteles berhasil membuktikan teorinya bahwa manusia adalah zoon politicon (manusia makhluk sosial). Tidak ada manusia yang sempurna, tiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka manusia saling membutuhkan, untuk saling melengkapi kekurangannya itu. Saat manusia saling membutuhkan, maka akan dibantu oleh manusia lainnya sehingga terciptalah kerjasama.

Dalam gamaedola nono niha (orang nias) dikenal Aoha noro nilului wahea aoha noro niluli waoso, alisi khoda tafadaya daya hulu tafaewolowolo. Yang bila diartikan : (terjemahan penulis) jika kita bersatu (bersama), akan saling membantu dan saling melengkapi maka mengerjakan sesuatupun akan terasa ringan. Kerjasama inilah yang perlu ditanamkan di dalam diri setiap anggota dalam perkumpulan, sehingga bila terjadi konflik, hendaknya dikelola dengan berpegang pada pemahaman ini, bekerjasamalah.

Ketiga atau yang terakhir, “manfaatkan jasa” pihak ketiga. Memanfaatkan jasa sengaja dibuat dalam kutip agar tidak menimbulkan penafsiran buruk. Hendak disampaikan bahwa memanfaatkan jasa yang dimaksud adalah dalam pengertian yang positif, berguna, dan berdampak guna. Memanfaatkan jasa pihak ketiga ini, dalam mengelola konflik, dapat diartikan dengan meminta bantuan terhadap pihak ketiga. Yang disebut pihak ketiga dalam hal ini ialah orang yang tidak terlibat atau ikut campur dalam konflik yang terjadi. Hendaknya pihak ketiga adalah orang yang netral, tidak berat sebelah, atau tidak menjadi pemicu timbulnya provokasi. Orang ketiga biasanya lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi suatu konflik yang terjadi.

Sedikit ditambahkan, tugas orang ketiga dalam menyelesaikan konflik yakni dengan memfasilitasi, memediasi dan menengahi persoalan konflik yang sedang bergulir, sehingga para pihak berjumpa pada suatu titik temu, yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakhiri konflik.

Maka, kembali pada pertanyaan mendasar tulisan ini, haruskah konflik berujung pada perpecahan ? dengan yakin dan lantang diberikan jawaban tidak. Konflik tidak selamanya berujung pada perpecahan, karena itu harus dipahami bahwa konflik ada untuk dikelola bukan untuk dihindari. Cerdaslah mengelola konflik.


0 komentar:

Posting Komentar