Jumat, 29 Mei 2015

DELIK PENCABULAN ANAK (BUKAN) DELIK ADUAN



Oleh : Beniharmoni Harefa

Apakah proses penyidikan kasus pencabulan anak dapat dihentikan?”. Demikian salah satu komentar yang muncul dalam diskusi di group facebook yang saya ikuti. “Tidak jarang beberapa kasus pencabulan anak harus berhenti pada proses penyidikan (belum sampai pada tahap sidang di Pengadilan)” tulis salah seorang anggota group yang lain. Penghentian dilakukan biasanya dengan berdalih, “telah ada kesepakatan damai dari para pihak (korban maupun pelaku), untuk apa diperpanjang”. Kesepakatan yang dituangkan dalam surat perjanjian damai itu, acapkali menjadi dasar untuk menghentikan kasus pencabulan anak.

Penulis yang sempat aktif pada lembaga perlindungan anak (PKPA Nias), setidaknya dua kali pernah beradu argumen dengan aparat penegak hukum (polisi) yang hendak menghentikan kasus pencabulan anak.

Berangkat dari pemahaman keseriusan negara untuk memberikan perlindungan bagi anak, tulisan ini hendak mengulas beberapa hal terkait pencabulan anak. Pertama, penegasan delik pencabulan anak bukan sebagai delik aduan. Kedua, bagaimana bila pelaku pencabulan anak juga merupakan anak (pelaku dan korban sama-sama anak). Ketiga, apa sanksi bagi aparat yang menghentikan kasus pencabulan anak.

Delik Pencabulan adalah Delik Biasa
Pembagian delik menjadi delik biasa (gewone delic) dan delik aduan (klacht delic) memiliki arti penting dalam proses peradilan pidana. Dalam banyak literatur sering kali sebutan “delik” digunakan untuk menggantikan istilah “perbuatan pidana”. Dalam tulisan ini perbuatan pidana yang dimaksud ialah perbuatan pidana pencabulan yakni pencabulan dengan anak sebagai korban. Delik pencabulan anak diatur di dalam KUHP maupun dalam UU Perlindungan Anak.

Paling tidak ada tiga bab dalam KUHP yang berkaitan dengan delik aduan (klacht delic). Pertama, Bab XVI KUHP tentang penghinaan atau defamation atau belediging. Kedua, kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan, dan pengancaman serta penggelapan, khususnya pasal 367, 370 dan 376 terkait dengan pencurian, pemerasan dan pengancaman serta penggelapan dalam keluarga. Dan ketiga, kejahatan terhadap kesusilaan yakni perzinahan. (Eddy OS Hiariej, 2014, hlm110-113).

Khusus perihal pertama dan kedua (penghinaan dan pencurian, pemerasan dan pengancaman serta penggelapan dalam keluarga) kiranya tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun untuk perihal yang ketiga yang berkaitan dengan delik aduan khususnya kejahatan terhadap kesusilaan. Kejahatan yang berkaitan dengan kesusilaan diatur di dalam Bab XIV KUHP dibawah judul besar Kejahatan Terhadap Kesopanan.

Kesopanan disini dalam arti kesusilaan (zeden, eerbaarheid) perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita, mencium, dsb (Pasal 281 KUHP R.Soesilo).

Dalam pasal 72 KUHP yang mengatur tentang delik aduan, maka delik aduan dibedakan atas dua jenis yakni delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut ialah delik yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan, seperti pasal : 284, 287, 293, 310, 332, 322 dan 369 KUHP. Sedangkan delik aduan relatif ialah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga, lalu menjadi delik aduan, seperti pasal : 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP.

Kembali pada kejahatan kesusilaan, kiranya Pasal 310, 332, 322, 369 KUHP ini, tidak perlu diulas karena bukan kejahatan kesusilaan. Maka khusus pasal 284 (perzinahan), 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum cukup umur 15 tahun), dan 293 (pencabulan terhadap orang yang belum dewasa) mensyaratkan delik aduan absolut. Terlebih khusus pasal 287 dan 293 KUHP, kedua pasal ini terkait dengan pencabulan terhadap anak dibawah umur. Pasal 287 dan 293 pada ayat (2) menegaskan bahwa penuntutan untuk pasal ini hanya dilakukan kalau ada pengaduan.

Selain di KUHP, delik pencabulan anak juga diatur dalam UU Perlindungan Anak. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal Pasal 76E menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Selanjutnya ditambahkan pada Pasal 82 UU a quo : “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Delik pencabulan sebagaimana yang ada dalam UU Perlindungan Anak, jelas tidak mensyaratkan pengaduan. Sehingga delik pencabulan dalam UU Perlindungan Anak bukan merupakan delik aduan. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk perwujudan semangat terhadap perlindungan anak, bahkan pembentuk UU memberikan pemberatan terhadap pelaku. Delik ini termasuk dalam delik biasa (gewone delic). Konsekuensi dari delik biasa, yaitu untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara yang tergolong delik biasa tidak dibutuhkan pengaduan, namun karena keterbatasan aparat penegak hukum setidaknya dibutuhkan laporan masyarakat atau pihak terkait untuk melaporkan delik biasa ini.

KUHP dan UU Perlindungan Anak memang sama-sama mengatur perihal delik pencabulan anak. Namun demikian, UU Perlindungan Anak lebih sering dan tepat penggunaannya. Setidaknya ada tiga alasan, pertama, dalam hukum dikenal asas lex specialis derogat legi generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU umum). Artinya bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). UU Perlindungan Anak sebagai lex specialis mengesampingkan KUHP sebagai lex generalis.

Kedua, pengaturan mengenai delik pencabulan anak di UU Perlindungan Anak, lebih luas. Beberapa hal yang tidak diatur dalam KUHP, telah diakomodir di dalam UU Perlindungan Anak.

Ketiga, ancaman pidana bagi pelaku pencabulan anak dalam UU Perlindungan Anak lebih berat. Dalam Pasal 82 UU a quo pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan di dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku lebih ringan. Pasal 287 KUHP memuat ancaman pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, pasal 293 KUHP memuat ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Delik pencabulan anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah delik biasa, sehingga konsekuensinya yakni bahwa proses hukum kasus pencabulan anak tidak dapat dihentikan. Pihak korban tidak berhak mencabut pengaduan, karena memang sejak dari awal proses (penyidikan) tidak mensyaratkan pengaduan. Proses hukum terhadap delik pencabulan anak tidak dapat dihentikan, karena delik biasa bukan delik aduan.

Pelaku Pencabulan Sama-sama Anak
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika pelaku adalah juga tergolong anak. Agar tidak bias makna, dalam Pasal 1 ayat (3) UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Berdasarkan UU a quo, dapat dipahami bahwa seseorang (anak) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yakni anak antara umur 12 sampai 18 tahun. Konsekuensi logis, kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan lebih dari 18 tahun sudah termasuk dewasa.

Masih mengenai UU SPPA, maka dalam UU ini dikenal pengaturan mengenai diversi dan restorative justice. Secara singkat diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan (Jack E. Bynum, 2002). Sedangkan restorative justice merupakan sebuah tindakan yang berorientasi pada pemulihan hubungan korban-pelaku pasca terjadinya tindak pidana. Pemulihan itu dilakukan melalui forum dengar pendapat antar kedua belah pihak. (Howard Zehr, 1990). Singkatnya bahwa berdasarkan UU SPPA, sedapat mungkin anak yang melakukan tindak pidana, dialihkan ke luar sistem peradilan pidana dan diselesaikan melalui musyawarah dengan tidak melupakan kerugian korban.

Namun UU SPPA sendiri mengatur secara limitatif terkait hal ini. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA menegaskan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana dilakukan : a.diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Sehingga bila merujuk pada Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, delik pencabulan terhadap anak diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Hal ini berarti bahwa pelaku pencabulan terhadap anak tidak dapat didiversi (dialihkan), kendati masih tergolong anak.

Sanksi Menghentikan Delik Pencabulan Anak
Berdasarkan aturan perundang-undangan yang sah berlaku di negara kita, maka secara tegas dinyatakan bahwa : delik pencabulan anak sebagai delik biasa dan pelaku pencabulan anak tidak dapat didiversi (dialihkan) meskipun anak. Pertanyaan penting selanjutnya yakni : apakah ada sanksi bagi oknum aparat penegak hukum, khususnya penyidik (karena berada pada garis terdepan proses peradilan pidana), yang menghentikan proses perkara pencabulan anak?

Sejauh pengamatan penulis, bahwa memang tidak ada ketentuan yang memberikan sanksi kepada penyidik yang menghentikan penyidikan khususnya delik pencabulan anak. Namun apabila merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian RI No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, di Bab IV mengatur perihal evaluasi kinerja penyidik. Hal ini dapat diartikan sebagai sanksi tidak langsung bagi kinerja penyidik yang bersangkutan bila menghentikan kasus pencabulan anak.

Selama dipermasalahkan tentunya melalui prosedur yang benar dan disertai bukti-bukti, maka akan menjadi catatan hitam dalam rekam jejak si oknum penyidik. Catatan hitam ini diharapkan akan berpengaruh pada perkembangan karir dan kinerja. Meski untuk sampai pada tahap ini memang sangat sulit.

Namun setidaknya dengan pengawasan dari khalayak, akan membuat penyidik lebih berhati-hati dalam melaksanakan proses penyidikan khusus penyidikan kasus pencabulan anak. Sehingga ke depan tidak akan terjadi, penghentian kasus pencabulan anak yang tiba-tiba terhenti di tengah jalan, seperti topik diskusi di group facebook saya di atas (di awal tulisan). Karena delik pencabulan anak bukanlah delik aduan.

Penulis : konsen pada masalah perlindungan anak

3 komentar:

  1. Artikel yang menarik Gan!!!

    Buruan Gabung Sekarang Juga dan Dapatkan Bonus Hingga Jutaan Rupiah disetiap Harinya Hanya di mgmdomino

    BalasHapus
  2. VIPQIUQIU99.COM AGEN JUDI DOMINO ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA

    Kami VIPQIUQIU99 AGEN JUDI DOMINO ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA mengadakan SEO Kontes atau Kontes SEO yang akan di mulai pada tanggal 20 Januari 2017 - 20 Juni 2017, dengan Total Hadiah Rp. 35.000.000,- Ikuti dan Daftarkan diri Anda untuk memenangkan dan ikut menguji kemampuan SEO Anda. Siapkan website terbaik Anda untuk mengikuti kontes ini. Buktikan bahwa Anda adalah Ahli SEO disini. Saat yang tepat untuk mengetest kemampuan SEOAnda dengan tidak sia-sia, hadiah kontes ini adalah Rp 35.000.000,-

    Tunggu apa lagi?
    Kontes SEO ini akan menggunaka kata kunci (Keyword) VIPQIUQIU99.COM AGEN JUDI DOMINO ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA Jika Anda cukup percaya akan kemampuan SEO Anda, silahkan daftarkan web terbaik Anda SEKARANG JUGA! Dan menangkan hadiah pertama Rp. 10.000.000. Keputusan untuk Pemenang Akan di tentukan dengan aturan kontes SEO yang dapat dilihat di halaman ini.

    Tunggu apa lagi? Ikuti kontes ini sekarang juga!

    CONTACT US
    - Phone : 85570931456
    - PIN BB : 2B48B175
    - SKYPE : VIPQIUQIU99
    - FACEBOOK: VIPQIUQIU99

    BalasHapus
  3. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus