Kamis, 28 Mei 2015

PRAPERADILAN DAN MASA DEPAN KPK


Oleh : Mudzakkir 
(Dosen Hukum Pidana FH UII Yogyakarta)

Praperadilan seolah-olah menjadi ancaman yang serius terhadap eksistensi KPK, karena tiga putusan pengadilan telah menetapkan bahwa penggunaan wewenang penyidik pada KPK dalam proses penyidikan dinilai tidak sesuai dengan UU. Ketiga putusan tersebut memuat konten yang relatif baru dan menjadi perhatian bagi pemerhati hukum pidana dan masyarakat umum serta menimbulkan interpretasi yang beragam. Adapun konten putusan gugatan praperadilan dimaksud, yaitu mengenai status penyidik KPK yang telah mengundurkan diri dari penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan keputusan mengenai penetapan tersangka oleh penyidik (yang ternyata sejalan dengan materi putusan MK), sedangkan yang lainnya sudah menjadi persoalan hukum acara pidana yang sering diajukan menjadi materi gugatan praperadilan penggunaan wewenang penyidik dalam proses penyidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Uji Gugatan Praperadilan
Permohonan materi uji gugatan praperadilan mengenai wewenang penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka sesungguhnya bukan persoalan baru dalam hukum acara pidana. Dalam praktiknya, secara implisit permohonan pengujian wewenang penyidik melakukan penahan, penyitaan, dan wewenang lainnya acap juga menguji keabasahan penetapan tersangka sebagai dasar untuk melakukan penahanan atau melakukan tindak hukum lainnya terhadap tersangka. Argumen hukum yang menjadi dasar penggunaan wewenang penyidik sebagian besar ditentukan oleh adanya penetapan seseorang menjadi tersangka. Oleh sebab itu, penetapan tersangka sebagai titik sentral dalam proses penyidikan yang melahirkan penggunaan penyidik dan wewenang penyidik tersebut berkaitan erat dengan kepentingan penghormatan terhadap hak asasi seseorang yang dijadikan tersangka.

Perkembangan interpretasi hukum setelah amandemen UUD 1945, khususnya mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), telah melahirkan perkembangan interpretasi yang relevan dengan peningkatan penghormatan terhadap HAM. Perkembangan umumnya disambut positif, tetapi ini sebaliknya menimbulkan kekhawatiran bagai aparat penegak hukum, terutama bagi penyidik.

Pasal 1, 10 dan 77 KUHAP tidak secara eksplisit mengatur tentang penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan, tetapi norma hukum dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP memuat ketentuan, `Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan'.

Pengertian `dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang' diinterpretasi ke dua interpretasi, yaitu interpretasi secara sempit yang mengacu kepada penjelasan Pasal 95 ayat (1) saja dan interpretasi secara luas yang mencakup tindakan lain dalam bentuk penggunaan wewenang penyidik tanpa alasan yang berdasarkan UU (terutama terhadap tersangka dan terhadap pihak lain yang dirugikan oleh perbuatan penyidik).

Hakim sidang gugatan praperadilan yang mengabulkan permohonan penetapan tersangka sebagai objek gugatan praperadilan termasuk menggunakan interpretasi yang luas yang merespons suasana kebatinan dari amendemen UUD 1945 (sejiwa dengan konten dari putusan Mahkamah Konstitusi), dan oleh karenanya, penetapan tersangka dapat dimohonkan uji keabsahannya melalui lembaga praperadilan.

Perkembangan seperti itu memiliki dampak positif terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia. Pertama, penggunaan wewenang penyidik dalam proses penyidikan dapat dikontrol melalui lembaga praperadilan, kedua, mendorong aparat penegak hukum penyidik untuk menggunakan wewenangnya dalam penyidikan dilakukan secara selektif, cermat, berhati-hati, dan bertanggung jawab, ketiga, meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum penyidik, dan keempat, lebih meningkatkan kualitas penghormatan dan perlindungan hak asasi tersangka. Cara penguatan kontrol penggunaan wewenang penyidik melalui lembaga praperadilan itu juga berdampak positif pada diri pribadi aparat penegak hukum penyidik sendiri, yaitu selalu bertindak dengan cermat dan mencegah terjadinya kekeliruan (human error) dan hasrat menyalahgunakan wewenang yang berakibat pelanggaran terhadap norma hukum pidana yang hendak ditegakkan karena longgarnya kontrol dalam penggunaan wewenang.

Penetapan Status
Hal yang menjadi persoalan hukum berikutnya ialah ukuran objektif penetapan seseorang menjadi tersangka. Dalam penetapan tersangka, terdapat beberapa kriteria, yaitu bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 ke-14 KUHAP), dan penangkapan terhadap orang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP).

Dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, penyelidikan untuk menduga terjadinya tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan kriteria sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti (Pasal 44 UU 30 Tahun 2002). UU tersebut tidak mengatur kriteria penetapan tersangka.

Menurut doktrin hukum pidana, untuk menetapkan tersangka perlu dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan. Jika terbukti, baru kemudian dibuktikan siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya tindak pidana dan ditetapkan seseorang menjadi tersangka. Kriteria pembuktian unsur-unsur dan penetapan tersangka ialah minimum dua alat bukti yang pokok/utama dan keyakinan penyidik (keyakinan penyidik dibangun berdasarkan dua alat bukti utama/pokok tersebut). Hal itu mengacu kepada KUHAP yang mengatur bahwa untuk menyatakan terbukti dakwaan jaksa dilakukan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim (keyakinan hakim dibangun berdasarkan dua alat bukti utama/pokok tersebut) sebagaimana dimuat dalam Pasal 183 KUHAP.

Status Penyidik KPK
Sebagai penegasan, tidak ada doktrin dalam hukum pidana yang menyatakan tersangka ditetapkan dulu baru kemudian alat bukti dan atau barang bukti dikumpulkan untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang hendak disangkakan.

Persoalan lain yang mengemuka terkait dengan gugatan praperadilan ialah status hukum penyidik KPK yang telah mengundurkan diri atau diberhentikan dari Polri yang diangkat menjadi penyidik KPK.

Masalah hukum siapa penyidik dalam perkara pidana sesungguhnya sudah jelas dasar hukumnya, yaitu Polri yang memenuhi kualifikasi sebagai penyidik dan pegawai negeri yang diangkat secara khusus sebagai penyelidik dan penyidik. Penyidik polisi yang mengundurkan diri dari Polri secara otomatis statusnya sebagai penyidik juga ikut tercabut atau tidak memiliki wewenang sebagai penyidik. Demikian juga penyelidik dan penyidik pegawai negeri. Hal yang sama juga berlaku bagi jaksa penuntut umum yang mengundurkan diri sebagai jaksa.

Ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 yang intinya bahwa penyelidik dan penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK, dan Pasal 51 ayat (1) menyebut bahwa penuntut umum ialah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Konteks norma hukum yang dimuat dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1) terkait dengan norma hukum sebelumnya, yaitu norma hukum yang dimuat dalam Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (3).

Berdasarkan kaidah hukum tersebut, jelas penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK berasal dari penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sebagaimana diatur dalam KUHAP, tetapi pada saat ditugaskan dan diangkat pada KPK berlaku ketentuan Pasal 43 ayat (1), 45 ayat (1), dan 51 ayat (1). Jadi, ketentuan tersebut tidak bisa dimaknai secara berdiri sendiri yang lepas dari konteks Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

Oleh sebab itu, jika penyidik dan penuntut umum pada KPK tidak lagi menjadi anggota Polri dan tidak lagi menjadi jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia, berarti tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan pada KPK, meskipun memiliki surat keputusan pengangkatan sebagai penyidik dan penuntut umum oleh KPK, tetapi KPK tidak ada wewenang berdasarkan undang-undang untuk mengangkatnya.

Sebaiknya KPK mengusulkan perubahan UU KPK untuk menambah wewenang mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sendiri. Walaupun demikian, KPK tetap tunduk kepada sistem hukum lain yang mengatur pengangkatan penyelidik dan penyidik pegawai negeri sipil dan penuntut umum.

Dimuat pada Harian MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar