Jumat, 26 Maret 2021

KESESATAN FAKTA (ERROR IN FACTI) TIDAK DAPAT DIMINTAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA




Pendapat Hukum Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M.
Disampaikan pada saat memberikan Keterangan Ahli Pidana
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
22 Maret 2021
Perkara : Pasal 188 KUHP

Salah satu dari tiga hal pokok dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban pidana. Elemen penting dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan (schuld). Kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan memiliki dua syarat yaitu mengetahui dan menghendaki sedangkan syarat kelalaian (culpa) adalah kurang penghati-hatian dan kurang penduga-dugaan. Kurang penduga-dugaan dalam kealpaan/ kelalaian melahirkan dua bentuk kealpaan yaitu: bewuste culpa atau kealpaan yang disadari dan onbewuste culpa atau kealpaan yang tidak disadari.

Rabu, 18 November 2020

ADANYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA, TIDAK SERTA MERTA DIKATEGORIKAN "TINDAK PIDANA KORUPSI"

Gambar: Ilustrasi


Pendapat Hukum
Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LL.M.
Disampaikan pada sidang Pengadilan Negeri Palangka Raya 18 November 2020

Dalam beberapa kasus korupsi sering digunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat 1 menegaskan: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyakRp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"

Pasal 3 menegaskan : "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)"

Perbuatan yang dilarang dalam kedua pasal di atas adalah :
- Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
- Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Yang harus dibuktikan dalam unsur ini adalah apakah benar perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa telah adanya motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang mana perbuatan tersebut dimaksudkan supaya dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan tersebut dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri si pelaku atau orang lain atau suatu korporasi, hingga menimbulkan akibat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Antara motivasi, perbuatan dan akibat harus benar-benar terwujud. Motivasi adalah suatu hal yang melatar belakangi sesuatu. Perbuatan : memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kesempatan, atau orang lain atau suatu korporasi. Akibat: merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Ketiganya ini harus terwujud. Dalam hal akibat terwujud, namun selama motivasi dan perbuatan tidak ada kausalitas dengan akibat ini, maka tidak dapat dikatakan tindak pidana. Dapat saja terjadi kerugian Negara namun dalam konteks administrasi atau perdata.

Khusus pada pasal 3, pembuktian lebih berat lagi. 
Perlu dicatat kata-kata "dengan tujuan" menandakan corak kesengajaan dalam pasal a quo adalah kesengajaan sebagai maksud. Artinya antara motivasi, perbuatan dan akibat harus benar-benar terwujud. Jika salah satu saja tidak terwujud, penuntut umum harus dianggap gagal membuktikan kesengajaan sebagai maksud dalam pasal a quo. Penuntut umum harus dapat membuktikan terdakwa memiliki dolus malus atau niat jahat sebagai syarat motiv yang dimaksud dalam pasal a quo. 

Konsekuensi logis dari kata-kata “dengan tujuan” penuntut umum harus bekerja ekstra untuk membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud dan bukan corak kesengajaan lainnya. Artinya pasal a quo menutup peluang adanya kesengajaan sebagai kepastian atau kesengajaan sebagai kemungkinan. Hal ini berbeda dengan pasal 2 ayat (1) yang mana Penuntut Umum hanya cukup membuktikan adanya kesengajaan tanpa harus membuktikan lebih lanjut corak kesengajaan dimaksud.

Dikatakan seperti suatu perbuatan sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi pada saat motivasi, perbuatan dan akibat benar-benar terwujud. Kembali ke kata-kata “dengan tujuan” adalah suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin (sikap batin) si pelaku “yang ditujukan” untuk memperoleh suatu keuntungan. Hukum hanya mengatur bagaimana melihat suatu tujuan dalam suasana batin (sikap batin) seseorang adalah dari perbuatan-perbuatannya yang tampak/ terlihat sehingga dari perbuatan itulah kemudian disimpulkan tentang ada atau tidaknya tujuan dalam batin si pelaku. 

Harus ada hubungan kausalitas antara penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana dengan jabatan atau kedudukan pelaku. Dalam hal ini ajaran kausalitas dari Brickmayer yaitu: mest wirksame bedingung, syarat yang paling utama untuk menentukan akibat. Bisa jadi apa yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah suatu penyalahgunaan wewenang melainkan Business Judgement Rules.

Pembentuk Undang-Undang telah mengantisipasi apabila hal tersebut terjadi, agar pelaku tidak lolos tetapi dapat digugat secara perdata atau dapat juga dijatuhi sanksi administrasi. Pasal 32 UU a quo menegaskan: "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan"


Beniharmoni Harefa
Email: beniharefa@upnvj.ac.id atau beniharefa9@gmail.com
FB: Beni Harefa
IG: Beni Harefa

"KENAKALAN ANAK" TIDAK SAMA DENGAN "KEJAHATAN ORANG DEWASA"

Gambar: Ilustrasi


PENDAPAT HUKUM
Dr. Beniharmoni Harefa, SH, LLM
(Ahli Hukum Pidana - Perlindungan Anak FH UPN Veteran Jakarta)
Disampaikan pada saat memberikan Keterangan Ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 15 September 2020

Parentum est liberos alere etiam nothos (Tugas orang dewasa di sekitar anak (orang tua) adalah untuk mendukung anaknya)

Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak bukanlah suatu kejahatan, melainkan kenakalan atau juvenile deliquency. Fuad Hasan dalam bukunya mendefinisikan kenakalan sebagai perbuatan oleh anak yang dikategorikan melanggar aturan dan merupakan suatu kejahatan jika yang melakukan adalah orang dewasa. Pada dasarnya kita dapat melihat bahwa kenakalan anak memang berbeda dengan kejahatan pada orang dewasa, terutama dalam segi sikap batin atau niat jahatnya (mens rea). Anak yang melakukan suatu perbuatan kriminal hanya melakukan tindakan tersebut tanpa dibarengi niat yang buruk dan tidak berpikir konsekuensi jauh ke depan, anak melakukannya lebih karena dorongan dan faktor linkungan, dimana anak itu sehari-hari bergaul, berbeda dengan orang dewasa dimana selain actus reus, terdapat pula mens rea dalam tindak pidana. Dengan demikian tindak pidana yang dilakukan anak tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan anak.

Dalam menjaga suatu nilai-nilai dalam masyarakat dapat diupayakan 3 hal, yaitu: (1) Bentuk pertama berupa usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal). (2) adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas. Ketiga adalah menggunakan sarana penal yang sering disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Melihat dari karakteristik hukum pidana sebagai Ultimum Remedium atau sarana terakhir, maka untuk menanggulangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur, maka dapat diusahakan cara non penal. Pengembalian kepada orangtua agar dibina dan diarahkan merupakan suatu tindakan yang tepat, namun dengan diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Menempatkan anak dalam sistem peradilan pidana formal, hanya akan memberikan dampak buruk terhadap anak, dan tidak menyelesaikan persoalan.

Leo Palak mengatakan bahwa sanksi pidana termasuk juga tindakan yang bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai. Pidana tidak hanya tidak enak dalam waktu proses menjalankan, tetapi sesudah itu orang tersebut masih merasakan akibatnya yang berupa cap atau label oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam kriminologi kita dapat nilai sebagai stigma, dan dapat berpotensi menjadi faktor penyebab kejahatan. Bahkan dalam beberapa kasus, menjadikan anak yang semula melakukan kenakalan berakhir pada melakukan kejahatan dan “menjadi penjahat yang sesungguhnya”.

Apabila stigma tersebut tidak hilang, maka anak seolah-olah dipidana seumur hidup, maka untuk itu Prof Sudarto menegaskan untuk mendudukan sifat pidana sebagai “ultimum remedium” (obat yang terakhir) apabila tidak perlu sekali jangan menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Dengan menjatuhkan pidana terhadap anak, maka tentunya akan memberikan dampak secara psikologis bagi anak itu sendiri.

Apong Herlina yang pernah menjabat sebagai komisioner KPAI tahun 2010-2013 menjelaskan bahwa ingatan anak akan merekam dengan jelas dan membekas ketika adanya pengalaman saat berjalannya proses hukum yang melelahkan. Kondisi tersebut memberikan dampak buruk/ dampa negatif seperti ketakutakan, kegelisahan, adanya gangguan secara fisik dan psikis yang kesemua hal tersebut akan diperparah ketika jatuhnya putusan pengadilan sehingga adanya label buruk terhadap anak.

Kesejahteraan pada anak pada dasarnya dapat diukur melalui lima hal menurut Thornton yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis dan emonsional, kesejahteraan sosial, kesejahteraan kognitif dan pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi. Sedangkan, anak yang berkonflik dengan hukum, baik sejak melakukan kriminalitas, ditahan atau diberi sanksi, sampai pada dikembalikannya anak ke masyarakat, maka terdapat beberapa efek yang akan dialami oleh anak, seperti: 1) Psikologis anak dapat terganggu seperti merasa cemas, takut, hingga malu mendapat penolakan dari masyarakat, 2) Rentan menghadapi kekerasan baik secara fisik, verbal, maupun psikis, 3) Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak akibat keterbatasan fasilitas, 4) Pendidikan anak terhenti atau terjadinya penurunan minat belajar anak, 5) Anak cenderung menjadi pemalas karena kurang banyaknya kegiatan untuk anak yang sesuai, 6) Anak berpotensi melakukan pengulangan kejahatan atau malah mempelajari kejahatan di dalam tahanan. Sehingga dengan menempatkan anak di hadapan hukum secara langsung maupun tidak telah menelantarkan kesejahteraan anak tersebut.

Berhadapan dengan hukum dan melalui serangkain sistem peradilan bagi anak dan masyarakat menimbulkan suatu konsekuensi yang merugikan karena pada dasarnya proses peradilan bagi anak adalah hal asing yang tidak biasa, ketidakjelasan pada sebagian alasan anak diproses secara hukum, tidak berpihaknya system peradilan pada anak dikarenakan memang diciptakan untuk orang dewasa, dan dapat menimbulkan stress serta trauma pada anak.

Pada tahapan puncak di masa remaja, setidaknya terdapat empat jenis bentuk-bentuk kenakalan remaja yaitu: a) Kenakalan remaja terisolir merupakan remaja yang berbuat nakal dikarenakan lingkungannya. b) Kenakalan remaja neurotik adalah kelompok remaja dengan gangguan jiwa yang serius seperti kecemasan, rasa takut berlebih, dan dibayangi perasaan bersalah. c) Kenakalan remaja psikotik adalah oknum criminal yang jumlahnya tidak banyak, namun sangat berbahaya bagi keamanan. Kelompok ini memiliki ciri-ciri seperti berasal dari keluarga yang brutal, tidak mampu sadar akan arti salah dan dosa, bentuk kejahatan manjemuk tergantung perasaan yang kacau, gagal dalam memahami dan mengamalkan norma sosial, dan kebanyakan menderita gangguan neurologis sehingga sulit untuk mengontrol diri sendiri. d) Kenakalan remaja defek moral merupakan kelompik yang gagal dalam memahami tingkah lakunya yang jahat serta sulit untuk mengkontrol hal tersebut. Dengan adanya berbagai bentuk kenakalan anak, maka penggeneralisasian dengan penjatuhan pidana terhadap anak bukan merukana solusi yang tepat dimana anak malah akan menerima dampak buruk dari sistem peradilan pidana tersebut dan bukan mengatasi kenakalan yang dilakukannya secara tepat.

Anak sebagai objek dalam hak asasi manusia termasuk dalam kelompok rentan yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan terhadapnya marak terjadi. Penjelasan dari Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa kelompok rentan yang berhak mendapat perlindungan antara lain yaitu anak, wanita hamil, orang lanjut usia, fakir miskin, dan penyandang cacat. Dengan demikian ketika anak harus berhadapan dengan hukum dan masuk pada sistem peradilan pidana, hak-hak anak rawan untuk dilanggar. Padahal sejatinya hak asasi manusia tidak hanya berporos pada manusia dalam artian dewasa, melainkan juga anak yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak serta martabat untuk dijunjung. Anak telah diakui sebagai subjek hak asasi manusia yang sui generis berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak (CRC) sebagai landasan dalam memberi perlindungan yang utuh terhadap anak dan hak asasi manusia.

Kesalahan yang dilakukan oleh anak tidak serta merta menjadi tanggungjawab anak sepenuhnya karena anak sejatinya merupakan tanggungjawab dari orangtuanya. Kewajiban orangtua terhadap anak, yang dalam hal ini merupakan hak anak telah tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi Orang tua berkewajiban dan bertanggugjawab untuk: a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c) Mencegah terjadinya perkawinan pada uisa anak-anak, dan; d) Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Sehingga penjatuhan pidana anak tidaklah tepat, karena adanya peran orangtua dalam perilaku anak dimana kontrol terhadap anak ada pada diri orangtuanya sehingga kesalahan anak tidak lepas dari kesalahan orangtuanya.

Teori differential association menekankan bahwa suatu perilaku tidak serta merta diwariskan, melainkan lebih kepada pembelajaran. Suatu perbuatan yang criminal dapat dilihat dari bagaimana tindakan tersebut dipelajari sehingga berbeda ada tindakan normal umumnya. Dengan demikian, seorang anak tidak lantas dapat berperilaku kriminal jika tidak mempelajari perilaku tersebut baik dari sekitarnya maupun secara luas dari dunia luar dimana keluarga dan lingkunganlah yang seharusnya mengawasi perkembangan anak sehingga tidak akan terjadinya penyimpangan.

Teori yang dipaparkan oleh Edwind H. Sutherland mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku berasal dari pergaulan yang berbeda. Anak mempelajari perilaku menyimpang dari komunikasi yang dilakukannya dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Peranan masyarakat juga turut andil ketika secara tidak sengaja memberikan contoh perilaku menyimpang yang kemudian ditiru oleh anak. Penyimpangan inilah yang kemudian menyebabkan segala tindak tanduk buruk anak yang melanggar aturan dan norma sosial di masyarakat.

UUD 1945 memberikan jaminan atas perlindungan terhadap hak anak yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (2) yang mengamanatkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang yang mana hal ini juga diamini dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2) yang menjabarkan bahwa hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum. Menurut Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M selaku ahli pidana anak dengan menempatkan anak di dalam sistem peradilan pidana, termasuk didalamnya berkenaan dengan penjatuhan pidana terhadap anak, mempunyai dampak buruk bagi kehidupan mereka (anak). Dampak buruk atau dampak negatif tersebut, mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak, hingga pada akhirnya berlanjut merusak masa depan mereka.

Adam Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana I halaman 18 menjelaskan bahwa sanksi pidana merupakan nestapa bagi pelaku yang sengaja dijatuhi oleh negara. Dalam hal ini pidana dapat dikatakan sebagai sikap yang memberi suatu penderitaan yang dilimpahkan oleh negara kepada pembuat delik. Secara filosofis, penanganan terhadap pelaku pelanggaran hukum usia anak didasari oleh kesalahan yang dilakukan oleh anak dianggap belum sepenuhnya dipahami. Sejatinya, anak diyakini lebih mudah dibina, dididik, dan disadarkan dibandingkan dengan orang dewasa atas kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga penjatuhan pidana terhadap anak tidak perlu untuk dilakukan karena lebih banyak memberi mudharat daripada manfaatnya.

Teori yang dikemukakan John Braithwaite tentang reintegrative shaming. Model ini sejalan dengan pendekatan yang mendasari ketentuan dan nilai-nilai dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, yaitu pendekatan kesejahteraan, di mana para pelanggar usia muda sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana, segala tindakan yang diambil oleh negara, berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh si anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Sejatinya dalam Pancasila sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, telah mengakui adanya jaminan kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia dimana termasuk pula pada anak. Dengan membiarkan anak masuk dalam sistem peradilan pidana yang melelahkan dan berdampak traumatis, maka sama saja tidak menjunjung hak asasi terhadap anak tersebut, sekalipun ia merupakan pelaku tindak kejahatan. Hak asasi manusia tidak hanya berporos pada manusia dalam artian dewasa, melainkan juga anak yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak serta martabat untuk dijunjung. Anak telah diakui sebagai subjek hak asasi manusia yang sui generis berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak (CRC) sebagai landasan dalam memberi perlindungan yang utuh terhadap anak dan hak asasi manusia.

Menurut M. Nasir Djamil dalam bukunya yang berjudul “Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak)” menyebutkan bahwa anak bukanlah objek untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental. Terkadang Anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan dalam penjara.

Melansir dari data yang dikemukakan oleh ICJR dalam situsnya yang menyebutkan bahwa hingga Juni 2017, jumlah anak yang menjadi narapidana atau warga binaan berada pada angka 2.559 anak, dimana angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada pada kisaran angka 2.320 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia. Namun ironisnya, tidak seluruh wilayah memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa anak yang menjadi Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak (saat ini LPKA dan LPAS) berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa. Menurut Paulus Hadisuprapto dalam disertasinya yang berjudul “Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Non Penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”, Penempatan anak pada lapas dewasa menjadi salah satu dampak buruk yang ditimbulkan dari sistem peradilan anak yang ada saat ini.

Orangtua bertanggungjawab atas anaknya sebagaimana Pasal 3 angka 2 Konvensi Hak Anak yang berisi, “Negara-negara peserta berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan perawatan sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak, dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua anak, walinya yang sah, atau orang lain, secara hukum bertanggung jawab atas anak yang bersangkutan, dan untuk maksud ini, akan mengambil semua tindakan legislatif dan administratif.” Yang mana tanggungjawab tersebut tidak bisa lepas hanya karena anak bersalah dan hanya mengerahkan telunjuk pada anak, karena pada dasarnya atas adanya tanggungjawab tersebut, maka berarti termasuk pula tanggungjawab atas tindakan anak akibat dari pengajaran dan pengawasan orangtua terhadapnya.

Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif) diantaranya : (a)Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai ultimum remedium), (b) Sanksi hukum pidana merupakan "remedium" yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/ atau efek samping yang negatif , (c) efektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalah-kan. Sehingga menjadi kurang tepat untuk memberikan sanksi pidana kepada anak dibawah umur.

Menurut Prof Romli Atmasasmita, terdapat banyak faktor penyebab penyimpangan yang dilakukan oleh anak, sehingga dapat mudah dipengaruhi mengingat kelabilan tinggi yang ada dalam diri anak, pendapat Romli Atmasasmita dibagi menjadi 2 (dua) kelompok motivasi, yaitu yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah; 1. Faktor intelegentia 2. Faktor usia 3. Faktor kelamin 4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga dan Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: 1. Faktor rumah tangga 2. Faktor pendidikan dan sekolah 3. Faktor pergaulan anak 4. Faktor mass media. Sehingga anak tidak serta merta melakukan kenakalan ‘karena dirinya’, melainkan adanya berbagai faktor baik dari dalam maupun luar yang mempengaruhinya.
Beniharmoni Harefa
Email: beniharefa@upnvj.ac.id
FB: Beni Harefa
IG: Beni Harefa

Senin, 08 Juni 2020

VONIS BEBAS UNTUK PEMBANTUAN


Oleh: Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM)

Judicia sunt tanquam juris dicta, et pro veritate accipitur. Artinya, putusan hakim merupakan penerapan hukum dan diterima sebagai suatu kebenaran. Demikian suatu postulat dalam doktrin hukum yang berlaku universal untuk setiap putusan pengadilan. Senin, 4 November 2019, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir yang didakwa melakukan pembantuan (Pasal 56 ke-2 KUHP) terhadap Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 secara alternatif dengan Pasal 11 juncto 15 Undang-Undang Tipikor.

"QUO VADIS" REVISI UU KPK

Oleh: Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM)

Kolega saya yang juga pegiat antikorupsi, Zainal Arifin Muchtar, dalam suatu acara yang disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi menyatakan secara tegas bahwa satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah perubahan.

URGENSI KUHP BARU


Oleh: Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM)

Pada 17 Agustus 2019, Negara Kesatuan Republik Indonesia genap berusia 74 tahun. Dalam konteks tata hukum Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan merupakan sumber tertib hukum sebab sejak saat itu yang berlaku adalah hukum nasional Indonesia.

PERCOBAAN DAN PEMBANTUAN DALAM DELIK KORUPSI


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM)

PASAL 15 Undang-Undang Tipikor menyatakan setiap orang yang melakukan percoban, pembantuan, atau permufatan jahat untuk melakukan korupsi dipidana dengan pidana yang sama. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa korupsi ialah kejahatan luar biasa sehingga baik percobaan maupun pembantuan dianggap sama dengan perbuatan selesai atau vooltoid.

MENJAWAB KEBERATAN KPK


Oleh: Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM)

Beberapa waktu lalu, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menemui Presiden Joko Widodo terkait masuknya delik korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Kala itu ada sepuluh alasan KPK untuk menolak masuknya delik korupsi dalam RUU HP.

Rabu, 06 Mei 2020

PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE APPROACH)



Oleh: Beniharmoni Harefa
(Dosen Hukum Pidana FH UPN Veteran Jakarta)

Paradigma hukum pidana modern, lebih menekankan kepada pendekatan keadilan restoratif. Salah satu penyelesaian perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif dan telah dinormakan di Indonesia, yaitu dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

Rabu, 29 Mei 2019

MAKAR, HASUT, ATAU HOAKS





Oleh :
Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Pasca-pemilihan umum serentak pada 17 April 2019, eskalasi politik terus meningkat, terutama menjelang penetapan hasil pemilu 22 Mei 2019. Kendati terdapat banyak kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, harus diakui bahwa secara umum pemilu berjalan dengan aman, tertib, dan damai.