Senin, 08 Juni 2020

PERCOBAAN DAN PEMBANTUAN DALAM DELIK KORUPSI


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM)

PASAL 15 Undang-Undang Tipikor menyatakan setiap orang yang melakukan percoban, pembantuan, atau permufatan jahat untuk melakukan korupsi dipidana dengan pidana yang sama. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa korupsi ialah kejahatan luar biasa sehingga baik percobaan maupun pembantuan dianggap sama dengan perbuatan selesai atau vooltoid.

Dalam doktrin hukum pidana, percobaan merupakan perluasan dapat dipidananya suatu perbuatan meskipun tidak selesai dilakukan. Hal itu menunjukkan sifat berbahayanya perbuatan tersebut. Sementara itu, pembantuan merupakan perluasan dapat dipidananya pelaku. Dalam KUHP, baik percobaan maupun pembantuan, pidana yang dijatuhkan ialah sepertiga dari pidana pokok yang diancamkan. 

Ketentuan ini tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi mengingat sifat dan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime. Ada tujuh parameter sehingga korupsi dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa: Pertama, delik tersebut dampak viktimisasinya sangat luas dan multidimensi. 

Kedua, delik tersebut bersifat transnasional terorganisasi dan didukung teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika. Ketiga, delik tersebut merupakan predicate crimes tindak pidana pencucian uang. Keempat, delik tersebut memerlukan pengaturan hukum acara pidana yang bersifat khusus. 

Kelima, delik tersebut memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan yang luas. Keenam, delik tersebut dilandasi konvensi internasional yang merupakan treaty based crimes. Ketujuh, delik tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional.
Kendatipun percobaan dan pembantuan dalam delik korupsi dipidana sama dengan pidana pokok yang diancam tanpa dikurangi sepertiga, kriteria percobaan dan pembantuan didasarkan pada doktrin hukum pidana yang berlaku universal. 

Percobaan dalam KUHP diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4). Pasal 53 ayat (1) mendefinisikan sebagai berikut, 'Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri'. Berdasarkan konstruksi pasal tersebut, paling tidak ada tiga unsur percobaan. 

Pertama, unsur niat. Kedua, unsur permulaan pelaksanaan. Ketiga, unsur tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri. Voornemen atau yang diterjemahkan sebagai niat ialah unsur yang bersifat subjektif dalam percobaan. Unsur kedua dari percobaan ialah begin van uitvoering atau permulaan pelaksanaan. Ada dua teori terkait dengan permulaan pelaksanaan. Pertama, teori objektif yang menyatakan adanya permulaan pelaksanaan jika perbuatan terdakwa harus mendekati delik yang dituju. 

Sementara itu, teori subjektif menyatakan bahwa jika dipandang dari sudut niat, tidak ada lagi keraguan pelaku terhadap apa yang dilakukannya telah diarahkan pada delik yang dituju. Sementara itu, unsur 'tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri', menurut Memorie van Toelichting, untuk menjamin tidak akan dipidana orang yang dengan kehendak sendiri, sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai.

Dalam konteks tindak pidana korupsi, ukuran adanya percobaan tetap mengacu pada doktrin umum dalam hukum pidana sehingga sangat mungkin terjadi terlebih dalam operasi tangkap tangan--uang atau barang sesuatu yang dipakai sebagai objek suap belum tentu sampai ke tangan penerima suap. Demikian pula terhadap delik yang dirumuskan secara materiil, sangat mungkin perbuatan telah selesai, tetapi akibat yang dilarang suatu rumusan delik belum terwujud. Hal ini pun masuk konteks percobaan.

Selanjutnya terkait dengan pembantuan. Dalam pembantuan atau medeplichtige ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pertama ialah pelaku atau pembuat atau de hoofd dader. Kedua, pembantu atau medeplichtige. Terdapat dua bentuk pembantuan. Pertama, pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Kedua, pembantuan untuk melakukan kejahatan. 

Artinya, pembantuan itu diberikan sebelum kejahatan terjadi, apakah dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pembantuan untuk melakukan pelanggaran tidaklah dipidana. Seseorang tidak bisa disebut sebagai pelaku pembantu hanya karena ia kenal pelaku utamanya, tetapi pembantuan harus tahu apa yang ia perbuat dan dengan cara apa membantunya: nullus dicitur accessories post feloniam sed ille qui novit principalem feloniam fecisse, et illum receptavit et comfortavit.

Pembantuan haruslah dilakukan dengan suatu kesengajaan. Kendatipun demikian tidak berarti pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan semata, namun juga dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan.

Terhadap kesengajaan dalam pembantuan dan pembantuan terhadap delik-delik yang mensyaratkan kesengajaan serta delik-delik yang mensyaratkan kealpaan, Penulis berpendirian, pertama, tidak mungkin ada pembantuan jika tidak ada kesengajaan untuk membantu melakukan kejahatan. Tegasnya, syarat mutlak adanya pembantuan adalah kesengajaan. Kedua, terkait dengan yang pertama, tidak mungkin pembantuan dilakukan karena suatu kealpaan.

Hal lain dalam pembantuan adalah terkait percobaan. Pembantuan dalam percobaan untuk melakukan kejahatan dapat dipidana. Sebaliknya, percobaan untuk membantu melakukan suatu kejahatan tidaklah dapat dipidana. Terkait pembantuan, hal terakhir yang penting diulas adalah perbedaan prinsip antara turut serta melakukan dan pembantuan.

Lima perbedaan prinsip

Paling tidak ada lima perbedaan prinsip antara turut serta melakukan dan pembantuan. Pertama, turut serta melakukan pelanggaran dijatuhi pidana, sedangkan pembantuan dalam pelanggaran tidak dijatuhi pidana. Kedua, dalam turut serta melakukan harus ada kesengajaan untuk bekerja sama atau relasi yang sebanding, tetapi dalam pembantuan hal itu tidak disyaratkan. Ketiga, dalam turut serta melakukan harus ada kerja sama yang erat di antara para pelaku, sedangkan dalam pembantuan, orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting.

Keempat, dalam turut serta melakukan harus ada uitvoeringshandeling atau tindakan pelaksanaan, sedangkan dalam pembantuan, pembantu hanya cukup melakukan voorbereidingshandeling atau tindakan persiapan maupun tindakan dukungan atau ondersteuningshandeling. Kelima, meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian (voltooingshandeling), jika kerja sama di antara para pelaku ialah sangat erat, orang yang demikian itu lalu dipandang sebagai pelaku dan bukan sebagai pembantu.

Terakhir, bagaimana pembantuan dalam delik korupsi haruslah dibuktikan beberapa hal: Pertama, harus ada niat jahat dari pembantu dalam mewujudkan suatu delik. Kedua, niat jahat tersebut tidak hanya karena pembantu kenal dengan pelaku atau tidak hanya pembantu beberapa kali bertemu dengan pelaku, tetapi lebih dari itu harus dibuktikan bahwa substansi pertemuan tersebut benar-benar untuk mewujudkan meeting of mine antara pelaku dan pembantu untuk melakukan suatu kejahatan kroupsi. 

Ketiga, relasi antara pelaku dan pembantu tidak seerat dalam delik penyertaan tetapi harus memiliki hubungan kausalitas yang signifikan dan tetap menunjukkan niat jahat dari pelaku dan pembantu sebagai kerja sama yang nyata mewujudkan delik yang dituju. Jika ketiga hal tersebut yang bersifat kumulatif tidak dapat dibuktikan, seseorang tidak dapat dikatakan pembantuan dalam delik korupsi.

Sumber : Media Indonesia, Jumat 23 Agustus 2019

0 komentar:

Posting Komentar