Selasa, 11 April 2017

KELEMAHAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK FORMAL


Oleh : Beniharmoni Harefa

Sudah banyak artikel yang menulis, terkait perlunya perlindungan bagi anak yang ditempatkan dalam sistem peradilan pidana formal. Mengapa? karena banyak dampak buruk, saat anak ditempatkan dalam sistem peradilan pidana formal. Baik dampak psikologis, fisik, dan sosial.

Dampak buruk itu terjadi, tatkala sistem peradilan pidana formal memiliki kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan sistem peradilan pidana anak formal, menurut saya, yakni :


Pertama, sulit mengontrol. Sebagaimana diketahui secara umum tahap dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dimulai dari penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, sidang di pengadilan, dan jika terbukti dan dinyatakan bersalah maka menjalani sanksi pidana di lembaga pemasyarakatan. 

Di setiap tahap, pelaku anak, wajib didampingi oleh penasehat hukum atau lembaga perlindungan anak dan juga petugas Balai Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.11 Tahun 2012 ttg Sistem Peradilan Pidana Anak). Transparansi kelanjutan kasus melalui mekanisme ini, sulit mengontrol. Biasanya yang mengikuti kasus adalah pihak-pihak yang benar-benar berkepentingan. Sehingga, sulit untuk mengontrol/mengawasi.

Kedua, tidak mewakili kepentingan korban secara langsung. Dalam konsep peradilan pidana formal selama ini, kepentingan korban diwakili oleh negara dalam peradilan pidana Indonesia oleh penuntut umum (jaksa). Korban hanya sebagai pihak yang pasif dalam menyelesaikan konfliknya dengan pelaku.

Sesuatu hal yang berbeda, apabila korban langsung berhadapan dengan pelaku (anak) saat perkaranya diselesaikan. Selain mendengar pengakuan bersalah secara langsung, korban juga akan menerima permintaan maaf, dan penyesalan dari si pelaku. Untuk selanjutnya, korban dapat menyampaikan langsung, apa yang menjadi kepentingannya, agar perkara ini bisa selesai, dan semua terpulihkan.

Ketiga, belum tentu memperbaiki pelaku. Efek jera yang sering menjadi tujuan peradilan dengan menggunakan hukum nasional, sering kali tidak tercapai. Bukan tidak jarang, pelaku (anak) yang telah menjalani masa pidananya, saat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, malah menjadi kembali melakukan tindak pidana.

Pada tahun 2012 yang lalu, saya mendampingi seorang anak yang ditangkap oleh Polisi karena melakukan pencurian. Karena masih usia anak, maka Hakim menjatuhkan vonis 6 bulan. Setelah menjalani hukuman selama 6 bulan di Lembaga Pemasyarakatan, si anak bebas dan kembali ke masyarakat. Pada tahun 2013, saya kembali bertemu dengan si anak, di kantor polisi. Kali ini dia ditangkap, karena kasus narkotika. Dari pengakuannya, narkotika didapatkannya, dari orang dewasa yang dikenalnya pada saat ia menjalani pidana karena kasus pencurian tahun lalu.

Ketiga hal di atas, menunjukkan betapa sistem peradilan anak formal, masih menyimpan banyak kelemahan, sehingga harus digeser ke arah sistem peradilan pidana anak non formal.

Bagaimana seharusnya?? Di artikel berikutnya.

***

Penulis : konsen pada masalah Perlindungan Anak

0 komentar:

Posting Komentar