Minggu, 03 Mei 2015

MEMAHAMI GRATIFIKASI



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Wacana mengenai gratifikasi kembali muncul. Ini menyusul pemberian uang sebanyak 120.000 dollar Singapura dari M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar yang terjadi September 2010. Namun, kejadian baru terungkap ke publik tiga minggu lalu.

Apakah perbuatan M Nazaruddin dapat dikategorikan sebagai suatu gratifikasi? Tulisan berikut mencoba mengulasnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan. Sedangkan dalam kamus hukum, gratifikasi—yang berasal dari bahasa Belanda, gratificatie, atau bahasa Inggrisnya, gratificationdiartikan sebagai hadiah uang. Berdasarkan kedua pengertian tersebut, ada beberapa catatan.

Pertama, baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun kamus hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. Kedua, pengertian gratifikasi dalam kedua kamus tersebut bersifat netral. Artinya, tindakan gratifikasi bukanlah merupakan suatu perbuatan tercela atau makna suatu perbuatan yang negatif. Ketiga, obyek gratifikasi dalam pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia jelas ditujukan kepada pegawai, sementara dalam kamus hukum, obyek gratifikasi tidak ditentukan.

Dalam konteks hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, pengertian gratifikasi tidak sama persis dengan apa yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun kamus hukum. Istilah gratifikasi secara jelas dan gamblang kita temukan dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kutipan Pasal
Agar tidak bias, secara lengkap kedua pasal tersebut dikutip sebagai berikut:
Pasal 12B Ayat (1), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Ayat (2), Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 12C Ayat (1) menyebutkan, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Ayat (2) menyatakan, Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Pasal 12C Ayat (3) menyebutkan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

Berdasarkan konstruksi kedua pasal tersebut, ada beberapa catatan yang perlu dipahami. Pertama, gratifikasi pada dasarnya bukanlah suatu tindak pidana. Kedua, gratifikasi baru dianggap sebagai tindak pidana, dalam hal ini dipersamakan dengan suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, gratifikasi tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum.

Sebagai misal, banyak pejabat negara di Indonesia yang berasal dari kalangan akademis. Ketika dia memberikan kuliah atau sebagai pembicara dalam seminar yang tidak ada kaitannya dengan kewajiban atau tugasnya dan kemudian mendapatkan honor, penerimaan honor tersebut adalah gratifikasi yang sah menurut hukum pidana.

Ketiga, semangat para pembentuk undang-undang perihal gratifikasi yang dianggap sebagai suap adalah kepada pejabat negara dengan kewajiban untuk melaporkan setiap pemberian yang dianggap ada kaitannya dengan jabatan atau yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya kepada KPK terlepas dari apakah pemberian tersebut akan dimiliki atau tidak.

Keempat, terdapat alasan penghapus tuntutan pidana jika penerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya melaporkan hal tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari.

Kelima, salah satu kelemahan dalam pasal gratifikasi yang dipersamakan dengan suap ini adalah tidak ada ancaman pidana bagi yang memberikan gratifikasi. Padahal, secara teori, jika gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya dipersamakan dengan suap, tidak mungkin ada penerima suap tanpa ada pemberi suap. Menurut ajaran kausalitas dalam hukum pidana, pemberi suap adalah causa proxima (sebab mutlak) adanya penerima suap.

Pemberi Suap Bebas
Kenyataannya, dalam praktik pengadilan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, banyak sekali penerima suap yang mendekam dalam penjara, sementara pemberi suap entah ke mana seperti kasus cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom. Padahal, uang yang diterima para anggota DPR bukanlah benda tak bertuan. Selain itu, pemberi suap biasanya juga dikenai Pasal 5 UU Tipikor yang ancaman pidananya jauh di bawah penerima gratifikasi terkait jabatan atau berlawanan dengan tugas yang disamakan dengan suap.

Masih segar dalam ingatan kita Arthalyta Suryani yang hanya diganjar lima tahun penjara, itu pun didiskon Mahkamah Agung menjadi empat tahun, sementara jaksa Urip Tri Gunawan yang dirusak oleh Arthalyta harus mendekam dalam penjara selama 20 tahun akibat penerapan pasal yang berbeda. Hukum akan lebih adil jika pemberi dan penerima suap diancam dengan pidana setimpal, terlebih bila kita merujuk pada ajaran kausalitas sebagaimana diutarakan di atas.

Terkait kasus pemberian uang oleh M Nazaruddin kepada Janedjri M Gaffar dengan asumsi kronologis kejadian yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi M Mahfud MD kepada publik adalah benar, terdapat indikasi kuat bahwa M Nazaruddin telah melakukan percobaan penyuapan. Ini sebagaimana dimaksud Pasal 5 UU Tipikor dan bukan pasal mengenai gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B dan 12C undang-undang a quo. Akan tetapi, perlu diingat bahwa ketentuan Pasal 15 UU Tipikor menyatakan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama. Artinya, percobaan dianggap sebagai delik selesai. Selanjutnya yang diharap adalah KPK segera memverifikasi bukti terkait dugaan penyuapan tersebut untuk menentukan layak tidaknya M Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka.

Dimuat pada Harian Kompas, 13 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar