Minggu, 14 Juni 2015

MENYIKAPI PUTUSAN BEBAS



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Herman Kantorowichs, seorang yuris agung, pernah mengatakan: menyatakan hukum sebagai apa yang diputus oleh pengadilan sama dengan mengatakan bahwa obat adalah apa yang dituliskan di atas kertas resep oleh dokter.

Meskipun dokter dapat saja menuliskan racun di atas kertas resep, sang pasien menaruh kepercayaan penuh bahwa obat yang ditulis di resep itu adalah untuk menyembuhkan penyakitnya. Begitu pula putusan pengadilan, haruslah berpegang pada asas res judicata provaritate habetur, yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan harus dihormati.

Mengapa demikian?
Kekuasaan mengadili, yang ada pada hakim, bersumber dari Tuhan. Karena itu, setiap kepala putusan pengadilan selalu bertuliskan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kekuasaan hakim dalam mengadili harus bebas merdeka, mandiri, dan tak boleh dipengaruhi oleh apa dan siapa pun, baik oleh kekuasaan maupun tekanan opini publik.

Akhir-akhir ini terjadi polemik terkait putusan bebas terdakwa korupsi. Bahkan, ada media memberinya judul: ”Koruptor Divonis Bebas”. Judul ini bombastis dan menyesatkan pembaca. Di satu sisi, kata koruptor berarti orang itu telah dinyatakan bersalah melakukan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di sisi lain kok divonis bebas. Belum lagi sejumlah komentar yang mempertanyakan kredibilitas hakim Pengadilan Tipikor sampai pada wacana penghapusan Pengadilan Tipikor di daerah. Sejumlah polemik tersebut memberi kesan seolah Pengadilan Tipikor haram menjatuhkan putusan bebas.

Dalam konteks hukum pidana, mengadili suatu perkara bukan mudah. Selain berpegang pada alat bukti yang sah, hakim harus yakin atas kesalahan terdakwa. KUHAP tegas melarang menjatuhkan pidana jika berdasarkan bukti minimum hakim tak yakin bahwa terdakwa bersalah.

Ada tiga kemungkinan putusan perkara pidana. Pertama, terdakwa dinyatakan bersalah dan dipidana apabila perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan. Kedua, dinyatakan tidak bersalah dan dilepas dari segala tuntutan hukum apabila perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi bukan perbuatan pidana karena ada alasan pembenar atau alasan pemaaf. Ketiga, dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas apabila perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Perlu Langkah Eksaminasi
Kalau ada anggapan bahwa Pengadilan Tipikor harus menjatuhkan pidana kepada terdakwa korupsi, ada dua saran saya. Pertama, ”Pengadilan Tipikor” diganti namanya menjadi ”Penghukuman Tipikor” sehingga hakim wajib menjatuhkan hukuman bergantung berat-ringannya perbuatan terdakwa. Sebab, kalau menggunakan istilah ”pengadilan”, hakim harus melaksanakan fungsi mengadili sehingga ada konsekuensi terdakwa dinyatakan tidak bersalah.

Kedua, lebih ekstrem lagi, Pengadilan Tipikor dibubarkan saja karena hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Sudah cukup ketika seseorang dinyatakan tersangka kasus korupsi, langsung diputus dia harus mendekam berapa lama dalam penjara sesuai bukti yang diperoleh.

Terlepas dari kedua saran tersebut, kita pun tak bisa menutup mata terhadap adanya aparat penegak hukum yang terjerembap dalam kubangan mafia peradilan. Fenomena suap-menyuap di kalangan hakim, jaksa, polisi, dan advokat, (maaf) ibarat kentut: baunya sangat busuk, tetapi tak kelihatan. Alhasil, sangat mungkin putusan bebas dilatarbelakangi oleh praktik suap-menyuap antara terdakwa dan aparat penegak hukum.

Bagaimana menyikapinya?
Pertama, tak perlu dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Selain KUHAP melarang adanya upaya hukum apa pun terhadap putusan bebas, jika ada indikasi suap-menyuap dalam putusan bebas tersebut, melakukan upaya hukum berarti memberi peluang suap-menyuap di peradilan tingkat atas.

Kedua, para akademisi harus proaktif melakukan eksaminasi terhadap putusan bebas. Meski eksaminasi tidak akan berpengaruh terhadap putusan, kasus tersebut dapat dikaji lebih mendalam. Sangat mungkin putusan bebas disebabkan jaksa penuntut umum yang tidak profesional dalam membuat dakwaan atau hakim yang tidak kredibel dalam mengadili atau kasus tersebut sengaja direkayasa. Kita tidak bisa menafikan bahwa banyak oknum polisi dan jaksa yang bergerilya dengan isu pemberantasan korupsi untuk merekayasa kasus dengan tujuan memeras calon tersangka sembari mengejar target perkara.

Jika hasil eksaminasi menunjukkan putusan bebas akibat ketidakprofesionalan jaksa atau hakim, harus diteliti lebih lanjut ada apa di balik ketidakprofesionalan itu. Apakah semata-mata faktor kapasitas intelektual yang kurang memadai ataukah ada indikasi suap.

Jika ketidakprofesionalan disebabkan kapasitas intelektual yang kurang memadai, usul konkretnya jaksa atau hakim tersebut diberhentikan dari Pengadilan Tipikor. Jika karena adanya indikasi suap, tindakan hukum harus segera dilakukan dengan membuka perkara baru mengenai suap-menyuap antara aparat hukum dan terdakwa, bukan melakukan upaya hukum terhadap putusan bebas.

Dimuat pada Harian KOMPAS, 7 Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar