Minggu, 14 Juni 2015

MEMAHAMI SIFAT MELAWAN HUKUM


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)


Sifat melawan hukum ramai dibicarakan, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU PTPK tidak mengikat secara hukum.

Pasal 2 Ayat 1 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana…".

Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 UU PTPK menyebut, "Yang dimaksud ’melawan hukum’ mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meski perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana".

Dalam hukum pidana, istilah "sifat melawan hukum" (SMH) memiliki empat makna.

Pertama, SMH diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

Kedua, kata "melawan hukum" dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.

Ketiga, SMH formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi.

Keempat, SMH material mengandung dua pandangan. Pertama, dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik. Kedua, dari sudut sumber hukumnya, SMH mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat.

Perkembangan berikut, SMH material dibagi menjadi : SMH material dalam fungsi negatif dan fungsi positif. SMH material dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun SMH material dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Perbuatan Pidana

Pasal 2 Ayat 1 UU PTPK berikut penjelasannya mengandung keempat makna SMH yang telah diuraikan. SMH umum dan formal dengan sendirinya mengikat mengingat korupsi adalah perbuatan pidana. Sementara SMH khusus tergambar dari kata-kata "melawan hukum" yang ada dalam rumusan delik. Adapun SMH material secara eksplisit dicantumkan dalam penjelasan.

Raison d’etre UU PTPK dipagari dengan empat makna. Pertama, korupsi adalah kejahatan terkait nasib banyak orang karena mencuri uang negara yang bisa bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, kepentingan hukum yang akan dilindungi pembentuk UU adalah keuangan dan perekonomian negara. Ketiga, kejahatan korupsi hampir dilakukan secara terorganisasi dengan modus operandi yang canggih sehingga sering dapat lolos dari rumusan dalam UU PTPK (SMH formal).

Karena itu, dalam membasmi korupsi, hakim tidak hanya berkutat pada SMH formal tetapi juga material. Hal ini terbukti dengan yurisprudensi MA yang menggunakan SMH material.

Putusan MA, 8 Januari 1966, terkait penyalahgunaan DO gula oleh Machroes Effendi di Kalimantan Barat telah menggunakan SMH material dalam fungsinya yang negatif. Dia dibebaskan meski memenuhi unsur penggelapan dalam KUHP, tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Sebaliknya, putusan MA, 15 Desember 1983, kasus korupsi Bank Bumi Daya (BBD) tegas menggunakan SMH material dalam fungsi positif. Direktur BBD memberi prioritas kredit di bidang real estat, padahal ia tahu, ada surat edaran BI yang melarang pemberian kredit. Terdakwa, menurut edaran BI, dikenai sanksi administrasi. Namun, dalam putusannya MA menyatakan, terdakwa melanggar asas kepatutan di masyarakat sehingga dipidana karena korupsi (Komariah Emong S, 2002).

Kembali kepada putusan MK, konsekuensinya adalah para koruptor kian sulit dijerat. Moral korup pada koruptor selalu berusaha mencari celah agar tidak dapat dijerat hukum.
Dimuat pada Harian KOMPAS, 03 Juni 2008

0 komentar:

Posting Komentar