Senin, 23 November 2015

MEMPERDAGANGKAN PENGARUH

(sumber gambar : s-hukum.blogspot.com)

Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Politisi Senayan kembali berulah. Tak tanggung-tanggung, kali ini yang dicatut adalah nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia.

Jika pencatutan nama itu terbukti, politisi tersebut tidak hanya melanggar etika sebagai anggota DPR, tetapi terdapat indikasi yang kuat telah melakukan pelanggaran hukum. Paling tidak, sang politisi dapat dijerat memperdagangkan pengaruh. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh tidak terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi secara jelas diatur dalam Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Perihal keberlakuan UNCAC, terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum pidana. Ada yang berpendapat bahwa UNCAC belum efektif berlaku karena UU nasional kita belum menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC. Argumentasi ini didasarkan pada teori transformasi dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh suatu negara tidak serta-merta berlaku sebelum disesuaikan dengan UU nasional. Pendapat yang lain menyatakan, ratifikasi yang dilakukan terhadap UNCAC berlaku sebagai self executing treaty. Artinya, dapat serta-merta diberlakukan sebagai hukum positif.

Argumentasi Teoretis Penerapan

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum pidana internasional, saya pun sependapat bahwa UNCAC yang telah diratifikasi berlaku sebagai hukum positif dan serta-merta dapat diterapkan. Hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi teoretis. Pertama, merujuk pada UNCAC, korupsi adalah kejahatan internasional. Artinya, berlaku asas universal dalam hukum pidana bahwa setiap negara wajib melakukan penuntutan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan internasional. Kedua, ratifikasi UNCAC oleh Pemerintah Indonesia tentunya sudah didasarkan pada pertimbangan yang matang bahwa isi konvensi itu sesuai dengan situasi dan kondisi negara yang sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi.

Ketiga, ratifikasi suatu konvensi internasional tunduk pada prinsip umum hukum internasional, yakni pacta sunt servanda yang berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat ibarat UU. Menurut Oppenheim, sebagaimana dikutip Anthony Aust, di dalam asas pacta sunt servanda tercakup asas keadilan dan itikad baik untuk melaksanakan isi suatu perjanjian/konvensi yang telah diratifikasi.

Keempat, dalam konteks hubungan antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional, hukum pidana internasional berfungsi sebagai pelengkap terhadap hukum pidana nasional bilamana aturan-aturan yang berada dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi belum diatur dalam UU nasional. In casu, ’trading in influence’ yang belum diatur dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 18 UNCAC berfungsi sebagai instrumen pelengkap dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kelima, asas hukum pidana internasional, yakni asas civitas maxima, secara tegas menyatakan bahwa hanya ada satu sistem hukum universal yang dianut semua bangsa di dunia dan harus dihormati serta dilaksanakan. Keenam, korupsi sebagai kejahatan internasional yang merupakan substansi dari hukum pidana internasional dalam hubungan dengan paham monisme dan paham dualisme, hukum pidana internasional lebih menitikberatkan pada paham monisme bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum berupa kaidah-kaidah yang mengikat individu, negara, ataupun kesatuan lainnya yang bukan negara.

Secara eksplisit, Pasal 18 UNCAC menyatakan, Setiap Negara Pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap perlu untuk menetapkan kejahatan pidana, apabila dilakukan dengan sengaja (a) Janji, penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain siapa pun, secara langsung atau tidak langsung manfaat yang tidak semestinya agar pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh dari otoritas administrasi atau publik dari Negara Pihak suatu manfaat yang tidak semestinya untuk kepentingan penghasut yang sebenarnya dari tindakan tersebut atau untuk orang lain siapa pun. (b) Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain siapa pun, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh dari otoritas administrasi atau publik dari Negara Pihak, suatu manfaat yang tidak semestinya.

Berdasarkan pasal tersebut, ada beberapa catatan. Pertama, adanya kata-kata ”... dapat mempertimbangkan ...”. Menunjukan bahwa tindakan yang dikriminalisasikan sebagai trading in influence bersifat non-mandatory offences. Artinya, tidak ada kesepakatan di antara Negara Pihak untuk mengkriminalisasi tindakan tersebut sebagai tindak pidana korupsi. Kedua, hakikat Pasal 18a dan Pasal 18b UNCAC mendefinisikan trading in influence menjadi dua bagian, yakni active trading in influence sebagaimana terdapat dalam Pasal 18a dan passive trading in influence sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18b. Active trading in influence berarti memberikan tawaran untuk memperdagangkan pengaruh, sedangkan passive trading in influence berarti menerima tawaran memperdagangkan pengaruh.

Ketiga, bentuk kesalahan dalam pasal tersebut adalah kesengajaan yang berarti menghendaki adanya pengetahuan dan kehendak (weten en wilen) dari pelaku. Bahkan, kalau ditelaah lebih detail adanya kata-kata ”... dengan maksud...” dalam pasal tersebut telah membatasi corak kesengajaannya adalah kesengajaan sebagai maksud. Motivasi seseorang sangat memengaruhi perbuatannya (affectio tua nomen imponit operi tuo).

Keempat, bentuk kesengajaan dengan corak kesengajaan sebagai maksud pada dasarnya tidak mudah untuk dibuktikan. Akan tetapi, kesulitan untuk membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud tersebut diimbangi dengan wujud penyalahgunaan pengaruh yang sangat mudah dibuktikan. Hal ini tersirat dalam kata-kata, ”...yang nyata atau yang dianggap ada...”. Artinya, untuk membuktikan adanya penyalahgunaan pengaruh, tidak mesti ada penyalahgunaan pengaruh secara nyata, tetapi cukup berdasarkan suatu anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah penyalahgunaan pengaruh.

Kelima, untuk membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud seperti yang terdapat dalam rumusan pasal itu biasanya dengan menggunakan teori kesengajaan yang diobyektifkan sehingga orang tersebut dianggap memperdagangkan pengaruh. Kesengajaan yang diobyektifkan sebenarnya bukanlah jenis kesengajaan, melainkan cara untuk memastikan adanya kesengajaan.

Subyek hukum yang bisa dipidana

Keenam, subyek hukum yang dapat dipidana atau adresat dari pasal tersebut tidak hanya pejabat publik, tetapi juga setiap orang, baik yang mempunyai hubungan dengan pejabat publik tersebut maupun tidak. Dapatlah dikatakan rumusan pasal tersebut ada perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memperdagangkan pengaruh. Tidak hanya seseorang yang memperdagangkan pengaruh terhadap pejabat publik, tetapi juga perantara dalam perbuatan memperdagangkan pengaruh dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tegasnya, rumusan pasal tersebut mengandung teori penyertaan yang ekstensif.

Kembali kepada kasus pencatutan nama oleh politisi Senayan, adanya rekaman pembicaraan, pengakuan dari yang bersangkutan, dan kesaksian Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, sudah merupakan bukti permulaan yang cukup untuk memproses secara pidana. Artinya, KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri harus proaktif melakukan pengusutan.

Apabila dihubungkan dengan UU pemberantasan tindak pidana korupsi, beberapa unsur memperdagangkan pengaruh diatur dalam Pasal 11 mengenai penyuapan pasif atau setidak-tidaknya diatur dalam Pasal 12e, 12f, dan 12g terkait pemerasan. Terlebih dalam Pasal 15 UU a quo, percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana sama dengan tindak pidana korupsi itu sendiri. Selanjutnya, politisi yang mencatut nama, dalam rangka mempermudah pengusutan, lebih elegan mengundurkan diri dari jabatannya.

Hendaklah becermin kepada beberapa menteri dan politisi partai yang mengundurkan diri dari jabatannya ketika mereka terbelit kasus korupsi.


Dimuat dalam harian KOMPAS, Selasa/24 November 2015

0 komentar:

Posting Komentar