Sabtu, 19 Desember 2015

QUO VADIS SIDANG MKD

(sumber gambar : sp.beritasatu.com)

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MKD) kini tengah bergulir. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pengadu, dan Presiden Direktur (Presdir) PT. Freeport Indonesia, telah diperiksa. Tidak tanggung-tanggung, sidang MKD kali ini digelar untuk menyidangkan kasus Ketua DPR RI Setya Novanto (SN). Sang pimpinan wakil rakyat itu, sebagai teradu, dilaporkan karena melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden RI terkait percaloan dan permintaan saham PT. Freeport Indonesia.

Menteri ESDM melaporkan SN, tidak dengan tangan kosong. Disertai rekaman percakapan antara SN bersama Reza Chalid seorang pengusaha minyak dan Maroef Sjamsoeddin Presdir PT. Freeport Indonesia. Rekaman itu menjadi bukti bagi sang Menteri untuk melaporkan etika dan perilaku SN. Adapun rekaman percakapan itu diperoleh dari Maroef Sjamsoeddin. Sejauh ini sidang MKD telah berjalan, dan masih menyisakan sidang lanjutan, guna memeriksa saksi lainnya.

Beberapa waktu sebelum sidang digelar, sempat diwarnai berbagai perdebatan. Mulai dari siapa yang dapat menjadi pengadu, apakah sidang digelar terbuka, hingga ihwal bukti rekaman percakapan. Rekaman percakapan diragukan keabsahannya sebagai bukti, oleh sebagian anggota MKD. Bahkan saat sidang digelar, berbagai tarik menarik kepentingan kerap dipertontokan. Dari rangkaian itu, publik bertanya, ada apa dibalik MKD. MKD sebagai Mahkamah etik dan perilaku, sudah memiliki hukum acara khusus, yang jelas dan pasti. Seyoginya tidak perlu lagi ada perdebatan perihal tata beracara. Wajar jika saat ini publik bertanya-tanya, quo vadis sidang MKD.

Sidang dengan Kepentingan Masing-Masing

Setidaknya ada tiga catatan, bahwa sidang MKD terlihat berjalan syarat dengan kepentingan masing-masing. Pertama, perdebatan-perdebatan pra sidang MKD menunjukkan masing-masing hakim memiliki agenda berdasarkan fraksinya. Bila merujuk pada tata cara bersidang MKD, maka secara expressive verbis telah ditegaskan dalam UU MD3 dan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015. Di sana diatur mulai dari siapa pengadu, teradu, sampai pada alat bukti. Sehingga seharusnya perdebatan mengenai teknis beracara tidak perlu terjadi. Sehingga sulit dinafikan, bahwa ada tujuan-tujuan terselubung dibalik perdebatan-perdebatan pra sidang MKD.

Kedua, pada saat jalannya sidang. Jalannya sidang MKD-pun tidak dimungkiri, memiliki agenda-agenda lain selain mengadili etik dan perilaku teradu. Hal ini terlihat secara terang benderang, ketika ada sebagian hakim bertindak sebagai pembela dan sebagian lainnya sebagai penuntut umum terhadap pengadu dan saksi lainnya. Hakim sebagai pengadil, seharusnya tidak perlu menunjukkan sikap demikian. Seharusnya hakim sebagai pengadil bersikap netral, objektif dan tidak memihak.

Ketiga, Menteri ESDM dan Maroef Sjamsoeddin didudukkan seolah-olah sebagai terdakwa. Hal ini dapat terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim (yang mulia) kepada pengadu dan saksi, dalam sidang yang terbuka untuk umum itu.

Pembentukan Panel

Dugaan pelanggaran etik yang dialamatkan kepada Ketua DPR amatlah serius. Hal ini sebagaimana terungkap dari sidang-sidang MKD yang sudah berlangsung sebagian. Tindakan Ketua, diduga mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan negara. Hal tersebut jelas bertentangan dengan kewajibannya sebagai anggota DPR. Maka apabila merujuk pada Pasal 20 angka 4 Kode Etik DPR, tindakan sang Ketua, termasuk jenis pelanggaran berat dengan ancaman sanksi pemberhentian. Pelanggaran serius itu, tentunya akan menjadi sulit dituntaskan dengan sanksi yang maksimal, apabila MKD bersidang dengan kepentingan masing-masing.

Pembentukan panel menjadi alternatif terbaik. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 148 UU MD3. Dalam hal MKD menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk panel. Panel terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan 4 (empat) orang dari unsur masyarakat. Sebaiknya kasus ini tidak disidangkan dan diputuskan sendiri oleh MKD. Akan lebih objektif, netral dan tidak memihak jika melibatkan unsur masyarakat.

Pasal 40 Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 Tata Beracara MKD, menegaskan anggota panel yang berasal dari unsur masyarakat harus memiliki integritas. Mereka mewakili akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau praktisi hukum. Pembentukan panel paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak MKD memutuskan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat. Kendati sidang MKD telah dimulai, namun pembentukan panel masih dimungkinkan, setidaknya untuk memeriksa saksi-saksi lainnya.

Menanti Kelanjutan Pasca Sidang MKD

Sejauh ini dalam transkrip rekaman percakapan, adanya “permufakatan jahat” sulit terbantahkan. Perpanjangan kontrak Freeport jelas bukan ranah legislatif. Sehingga sulit mengatakan jika pertemuan SN bersama bos Freeport Indonesia, dengan mengajak R si pengusaha minyak itu, hanyalah pertemuan biasa. Kecuali SN memiliki raison d’etre yang bisa menjelaskan kepada publik bahwa pertemuan itu dalam rangka tugas sebagai wakil rakyat.

Selain pelanggaran etik, publik juga berharap pelanggaran pidana atas kasus ini juga bisa diusut. Beberapa pasal yang bisa menjerat misalnya pasal pemerasan dalam jabatan, pasal 12e UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Percobaan atau permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi pasal 15 UU a quo. Percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana sama dengan tindak pidana korupsi itu sendiri.

Tindakan SN juga dapat dikualifikasi ke dalam tindakan “memperdagangkan pengaruh” (trading in influence) dalam jabatan. SN menggunakan kedudukan sebagai ketua DPR, untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 18 UNCAC (telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 7 Tahun 2006). Apabila dihubungkan dengan UU pemberantasan tindak pidana korupsi, beberapa unsur memperdagangkan pengaruh diatur dalam Pasal 11 mengenai penyuapan pasif atau setidak-tidaknya diatur dalam Pasal 12e, 12f, dan 12g terkait pemerasan.

Meskipun MKD hanya mengadili pelanggaran etik, namun jalannya sidang MKD sangatlah penting. Apa yang terungkap dalam sidang MKD, dapat menjadi pintu masuk setidak-tidaknya menjadi bukti permulaan, bagi penegak hukum untuk melanjutkan ke ranah pidana. Kendati seharusnya aparat penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK, tidak bergantung pada hasil sidang MKD. Setidaknya hal-hal yang terungkap dalam sidang MKD dapat membantu aparat. Pelanggaran etik mutatis mutandis dengan tindak pidana. Kendati bila melihat jalannya sidang MKD sampai sejauh ini, harapan itu masih jauh dari kenyataan. Tarik menarik kepentingan para hakim yang berlatar belakang partai itu, seolah menjadikan kasus ini sulit terungkap secara terang. Publik menanti, quo vadis sidang MKD?

0 komentar:

Posting Komentar