Minggu, 15 Mei 2016

PERLU PERSIAPAN MATANG, MENERAPKAN UU SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK



Oleh : Beniharmoni Harefa

Kekerasan seksual pada anak, kembali terjadi. YY seorang anak asal Bengkulu berusia 14 tahun diperkosa, lalu dibunuh, pada 2 April yang lalu. Usai diperkosa YY diikat, dibunuh dan dibuang ke jurang. YY, siswi sekolah menengah pertama di Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, diperkosa dan dibunuh oleh 14 pria. Sebagian pelaku merupakan pelajar, yang berdasarkan Undang-Undang sistem peradilan pidana anak, masih tergolong usia anak.



Beredar kabar, karena sebagian para pelaku masih tergolong usia anak, maka mereka tidak dapat dihukum (dipidana). Kesan awam, hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, membuat pelaku tindak pidana yang tergolong usia anak, seolah menjadi pihak yang kebal dan tidak tersentuh hukum. Namun sependek pengetahuan penulis, para pelaku pemerkosa dan pembunuh YY, telah ditahan, diperiksa, dan saat ini telah masuk tahap persidangan di Pengadilan.

Semua pihak turut prihatin dan berduka atas kejadian yang menimpa YY. Kebiadaban para pelaku tidak dapat ditolerir. Para pelaku yang saat kejadian, dibawah pengaruh minuman keras, melakukan perbuatan sadis, di luar nalar kemanusiaan. Usia para pelaku yang tergolong anak, tidak menghapuskan pidana terhadap mereka. Meski tergolong anak, pemerkosa dan pembunuh YY, harus dipidana.

Anak Pelaku Tindak Pidana
Agar tidak bias makna, perlu dipahami siapa yang dimaksud anak pelaku tindak pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada pasal 1 ayat (3) UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dapat dipahami bahwa seseorang (anak) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana yakni anak antara umur 12 sampai 18 tahun. Konsekuensi logis, kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan lebih dari 18 tahun sudah termasuk dewasa.

Konsekuensi batasan umur ini, sangatlah penting dalam sistem peradilan pidana anak. Apabila seseorang tergolong anak, dan diduga melakukan tindak pidana, maka proses penanganan perkara terhadapnya berbeda dengan orang dewasa. Bahkan dalam UU SPPA, dikenal program diversi berbasis pada keadilan restoratif. Secara singkat, diversi ini dapat diartikan pengalihan proses penyelesaian perkara pidana anak, dari peradilan pidana formal ke luar peradilan pidana formal.

Diversi Berbasis Keadilan Restoratif
Perihal diversi berbasis keadilan restoratif-lah, yang membedakan UU SPPA dengan Undang-Undang yang ada sebelumnya, yang mengatur sistem peradilan pidana anak di Indonesia, yakni UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Diversi yang dimaksud dalam UU SPPA, merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan (Jack E. Bynum, 2002).

Diversi berbasis keadilan restoratif yang dimaksud adalah sebuah tindakan yang berorientasi pada pemulihan hubungan korban-pelaku dan masyarakat, pasca terjadinya tindak pidana. Pemulihan itu dilakukan melalui forum dengar pendapat antar kedua belah pihak (Howard Zehr, 1990). Singkatnya, bahwa berdasarkan UU SPPA, sedapat mungkin anak yang melakukan tindak pidana, dialihkan ke luar sistem peradilan pidana dan diselesaikan melalui musyawarah dengan tidak melupakan kerugian korban, guna memulihkan hubungan pelaku, korban dan masyarakat.

Perlu Persiapan Matang Untuk Memberlakukan UU SPPA
Mungkin karena diversi berbasis keadilan restoratif yang diatur dalam UU SPPA, maka kesan masyarakat, bahwa hadirnya UU SPPA, membuat anak seperti pihak yang kebal hukum dan tidak tersentuh. Kesan itu tidaklah sepenuhnya benar, namun tidak dapat dibantah begitu saja. Diversi berbasis keadilan restoratif ini sebenarnya, sebagai terobosan baru dalam rangka menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana.

Adapun tujuan menghindarkan anak dari sistem peradilan pidana ini, yakni untuk menghindarkan stigma/ cap jahat pada anak, sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang rawan dilanggar apabila menjalani proses peradilan pidana. Pemahaman ini dilandasi, paradigma bahwa anak merupakan pihak yang rentan. Anak mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Maka, kenakalan yang dilakukan anak, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut kejahatan, tidak harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana.

Hal tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban orangtua, masyarakat, lingkungan sekitar, bahkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, untuk mendidik, memelihara dan membina anak. Hal ini juga sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Maka, anak pelaku tindak pidana wajib menjalani diversi berbasis keadilan restoratif.

Akan tetapi, melihat semakin marak dan brutalnya aksi para pelaku yang tergolong anak, akhir-akhir ini, seolah mengingatkan kita, bahwa diperlukan persiapan matang untuk memberlakukan UU SPPA. Seyogianya bermaksud ingin menghindarkan stigma dan memberikan perlindungan pada anak, justru malah menjadi pemicu, pelaku yang tergolong usia anak, beraksi semakin sadis.

Persiapan-persiapan yang dimaksud, termasuk fasilitas, sumber daya manusia, aturan petunjuk teknis serta budaya hukum masyarakat. Penyediaan fasilitas lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial misalnya, sebagaimana diatur dalam UU SPPA, yang hingga kini belum terakomodir di semua daerah. Peningkatan sumber daya manusia baik para pendidik (guru), bahkan orangtua, juga para penegak hukum. Aturan teknis pelaksana dan budaya hukum masyarakat yang selalu memojokkan anak, juga perlu pemahaman yang utuh.

Sinergisitas kebijakan pemerintah yang berpihak pada kepentingan terbaik anak, juga perlu menjadi perhatian. Misalnya regulasi pelarangan peredaran minuman keras (miras) sembarangan, pengawasan terhadap situs/ website yang mengandung pornografi, pengawasan terhadap warung-warung internet yang acapkali menjadi pemicu anak melakukan kekerasan seksual. Dibutuhkan upaya-upaya konkrit dari pemangku kepentingan, sebagai upaya pencegahan dari perilaku-perilaku kenakalan anak, yang dapat menjurus pada perilaku jahat. Sehingga hadirnya UU SPPA, tidak salah sasaran dan tidak malah menjadi pemicu pelaku yang tergolong anak, semakin berbuat brutal.

Pemerkosa dan Pembunuhan YY Harus Dipidana
Kembali pada kasus YY, khusus para pelaku pemerkosa dan pembunuh YY yang tergolong usia anak, diberlakukan UU SPPA. Namun, perlu diketahui bahwa diversi berbasis keadilan restoratif yang tertuang dalam UU SPPA, diatur secara bersyarat dan limitatif. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, menegaskan bahwa diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Perbuatan para pelaku, yang memperkosa dan membunuh YY, dikenakan pasal 81 dan pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Hal tersebut berarti, bahwa para pelaku pemerkosaan sekaligus pembunuhan terhadap YY, tidak dapat didiversi (dialihkan), meski mereka tergolong usia anak. Pelaku pemerkosa dan pembunuhan terhadap anak, tetap harus dipidana.

Kasus YY, menjadi momen penting bagi semua pihak. Selain anak yang menjadi korban, menarik untuk disimak, bahwa para pelaku juga masih tergolong anak/ remaja. Kesan bahwa hadirnya UU SPPA, membuat pelaku tindak pidana yang tergolong usia anak, kebal dan tidak tersentuh hukum, tidak sepenuhnya benar. Pada kasus YY, para pelaku yang tergolong usia anak, tetap harus dipidana. Namun kiranya kehadiran UU SPPA, yang memuat perihal diversi berbasis keadilan restoratif, diharapkan benar-benar sesuai dengan tujuan awal, yaitu memberi perlindungan bagi anak. Tidak sebaliknya, justru menjadi pemicu, pelaku tindak pidana tergolong anak, semakin brutal dan sadis.

Penulis : Konsen pada Masalah Perlindungan Anak

0 komentar:

Posting Komentar