Jumat, 13 Oktober 2017

Tertangkap Tangan, Percobaan, Penjebakan, dan Analogi


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana FH UGM Yogyakarta)

Hari ini pada 5 Oktober 2017 menerbitkan artikel Prof Romli Atmasamita dengan judul “Apakah OTT KPK Legal atau Ilegal“ sebagai tanggapan atas artikel saya sehari sebelumnya dengan judul “Legalitas OTT KPK“. Tulisan berikut ini membahas empat isu yang diperdebatkan antara Prof Romli dan saya.

Pertama, perihal tertangkap tangan. Tertangkap tangan didefenisikan dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP. Berdasarkan pasal tersebut, ada empat keadaan yang memungkinkan seseorang dikatakan tertangkap tangan. Pertama, tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana. Dalam keadaan jika orang yang tertangkap tangan telah memenuhi semua unsur delik, maka delik itu telah selesai (vooltoide delic). Jika seseorang yang tertangkap tangan belum memenuhi semua unsur delik, hakikatnya masih dalam delik percobaan.

Kedua, tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Dalam keadaan ini, jika delik dirumuskan secara formil, tindak pidana itu vooltoide delic. Akan tetapi jika delik dirumuskan secara materiil, sangat mungkin terjadi percobaan selesai (vooltoide poging). Artinya akibat yang disyaratkan suatu rumusan delik belum terjadi.

Ketiga, tertangkapnya seseorang sesaat kemudian setelah diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Dalam keadaan ini, penjelasannya sama dengan keadaan pertama sebagaimana telah diutara­kan. Keempat, tertangkapnya seseorang sesaat kemudian pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu. Dalam keadaan keempat ini penjelasannya sama dengan keadaan kedua sebagaimana telah diulas.

Berdasarkan keempat keadaan tersebut dalam hal tertangkap tangan, sangatlah mungkin seseorang tertangkap tidak di tempat kejadian perkara. Ilustrasinya: beberapa orang merampok bank. Seketika setelah keluar dari bank kemudian dikejar polisi dan tertangkap, maka beberapa orang tersebut dikatakan tertangkap tangan sesuai dengan keadaan kedua di atas. Di sini polisi menangkap bebe­rapa orang tersebut bukan pada locus delicti dan tidak se­dang melakukan tindak pidana.

***
Kedua, perihal percobaan. Pasal 53 KUHP menyatakan, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri. “Percobaan adalah delik yang tidak sempurna dalam pemenuhan unsur-unsurnya.

Permulaan pelaksanaan secara subjektif didasarkan pada postulat, voluntas reputabitur pro facto yang berarti niat sama artinya dengan fakta yang ada. Adapun secara objektif, permulaan pelaksanaan mendekati delik yang dituju. Hal terpenting dari percobaan adalah tidak selesainya permulaan pelaksanaan, bukan semata-mata disebabkan kehendak sendiri.

OTT KPK didahului penyadapan yang selanjutnya diikuti pengintaian. Saat calon tersangka beraksi, KPK kemudian melakukan penangkapan. Per definisi tertangkap tangan di atas, sangat terang-benderang OTT KPK sama dengan salah satu keadaan tertangkap tangan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP. Jika uang atau barang yang menjadi objek suap belum berada pada tangan yang dituju, delik itu belum selesai. Orang yang tertangkap tangan, tetapi belum memnuhi semua unsur, dalam teori hukum pidana dinamakan percobaan.

Sebab tidak selesainya permulaan pelaksanaan bukan karena kehendak sendiri, tetapi terhenti karena ditangkap KPK. Pasal 15 UU Tipikor, percobaan sama dengan delik selesai. Berdasarkan keadaan tertangkap tangan dihubungkan dengan percobaan, amat sangat mungkin pejabat publik yang tertangkap tidak berada di tempat kejadian perkara dan tidak sedang melakukan tindak pidana.

***
Ketiga, perihal penjebakan. Prof Romli dalam artikelnya menyatakan OTT KPK adalah penjebakan dan tanpa kewenangan didasarkan pada argumentasi: (1) kasus yang menimpa Khariansyah dan Probosutejo yang telah menemui pimpinan KPK terlebih dulu, kemudian KPK melakukan OTT; (2) kewenangan penyadapan pascaputusan MK harus diatur dalam undang-undang dan tidak cukup dengan SOP KPK; (3) pengintaian tidak diatur dalam UU sehingga ilegal; (4) OTT KPK dilakukan pada saat penyelidikan; (5) penetapan tersangka dilakukan saat penyelidikan, padahal hasil penyelidikan harus dilaporkan paling lambat 7 hari.

Terhadap berbagai argumentasi Prof Romli, tanggapan saya sebagai berikut. Pertama, dalam kasus Khariansyah dan Probosutejo, saya sepakat bahwa itu adalah penjebakan dan bukan tertangkap tangan. Kedua, Prof Romli menggunakan logika pars pro toto yang berarti sebagian untuk semua. Artinya kasus yang menimpa Khariansyah dan Probosutejo digeneralisasi berlaku pula untuk semua OTT KPK dalam kasus-kasus yang lain. Analisis hukum tidaklah boleh berdasarkan logika pars pro toto atau kebalikannya totem pro parte, tetapi harus berdasarkan realitas fakta yang ada.

Mahkamah Agung Amerika pada 1932 dalam kasus Sorrells vs US, 287 U.S 435 mendefinisikan sebagai berikut: “Entrapment is the conception and planning of an offence by an officer, and his procurement of its commission by one who would not have perpetrated it except for the trickery, persuasion or fraud of the Office. “Mahkamah kemudian menegaskan bahwa sesuatu dianggap penjebakan bila adanya tindakan aktif dari penyidik untuk membuat seseorang melakukan kejahatan. Richard G Singer dan Prof John Q la Fond dalam Criminal Law menyatakan bahwa penjebakan harus ada dua pendekatan.

Pendekatan subjektif berarti harus ada ajakan dari penegak hukum agar seseorang melakukan tindak pidana. Adapun pendekatan objektif berarti ajakan tersebut meliputi pemberian informasi suatu tindak pidana seakan-akan bukan tindak pidana dan jaminan bahwa tindak pidana tersebut akan ditanggung petugas yang menyamar. Pertanyaan lebih lanjut, selain kasus Khariansyah dan Probosutejo, adakah tindakan OTT KPK yang meliputi pendekatan subjektif dan objektif sebagaimana di­maksud dalam penjebakan?

Ketiga, putusan MK tidak membatalkan kewenangan penyadapan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a UU KPK dan boleh dilakukan pada tahap penyelidikan.

Keempat, pengintaian memang tidak diatur dalam UU, tetapi apakah sesuatu yang tidak diatur secara mutatis mutandis dilarang atau ilegal? Terkait dengan pengintaian, harap diingat bahwa penegak hukum yang melakukan penyelidik­an/penyidik­an pada hakikatnya juga melaksanakan fungsi intelijen dalam penanganan suatu kasus. Oleh sebab itu dalam institusi kejaksaan maupun Polri ada bagian intelijen. Demikian pula dengan KPK yang memasukkan bagian intelijen ke dalam monitoring. Artinya pengintaian adalah hal yang wajar dilakukan dalam proses penyelidikan/penyidikan.

Kelima, meskipun ada perbedaan terminologi penyelidikan dan penyidikan, dalam penegakan hukum tidak ada sekat yang tegas antara kedua tindakan tersebut. Oleh karena itu dalam RUU KUHAP, sudah tidak ada lagi terminologi penyelidikan dalam proses perkara pidana. Tidak selamanya proses terhadap suatu tindak pidana dimulai dengan penyelidikan. Adakalanya pada waktu melakukan penyelidikan, di saat yang sama juga dilakukan penyidikan, terlebih dalam hal tertangkap tangan.

Dalam OTT, KPK tidak serta-merta menetapkan tersangka, tetapi selalu dilakukan investigasi terhadap mereka yang ditangkap, baru kemudian ditetapkan sebagai tersangka. OTT KPK tidak melanggar ketentuan UU yang menyatakan hasil penyelidikan harus dilaporkan paling lambat 7 hari karena yang diatur adalah batasan maksimal sehingga satu atau dua jam setelah penyelidikan, hasilnya dilaporkan, kemu­dian status perkara dinaikkan ke tingkat penyidikan dan tersangka ditetapkan berdasarkan bukti yang sudah terang-benderang. Dengan de­mikian OTT KPK memiliki legalitas dan bukanlah perbuatan melawan hukum.

***
Keempat, terkait dengan analogi. Prof Romli dalam artikelnya masih saja menyebut bahwa saya menganalogikan hasil OTT dengan percobaan Pasal 53. Terhadap pernyataan tersebut, perlu saya jelaskan sebagai berikut. Pertama, analogi adalah perbuatan yang menjadi persoal­an tidak bisa dimasukkan ke dalam aturan yang ada. Selanjutnya perbuatan itu me­nurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula. Karena termasuk intinya aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi. Per definisi tersebut, menghubungkan antara tertangkap tangan dan percobaan bukanlah ben­tuk analogi, melainkan pen­jelas­an keadaan tertangkap tangan dihubungkan dengan delik percobaan.

Kedua, salah satu makna asas legalitas adalah nullum crimen, nula peone sine lege stricta. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Berdasarkan postulat ini, analogi dilarang. Ketiga, larangan analogi hanyalah sebatas analogi yang menimbulkan perbuatan pidana baru (rechtsanalogie) dan bukan analogi dalam rangka menjelaskan undang-undang (gesetze analogie). Keempat, KUHP Belanda, demikian pula KUHP Indonesia, tidak mencantumkan larangan analogi secara expressive verbis. Dalam Wetboek van Strafrecht terbitan 2011, dalam Bab I dengan judul Omvang van de werking van de strafwet yang terdiri atas 8 Pasal—termasuk asas legalitas dalam Pasal 1—, tidak ada satu pun larangan tentang analogi. Dalam konteks KUHP Indo­nesia, larangan analogi ini secara tegas baru akan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP.

Keempat, perihal tafsir eks­tensif dan bukan analogi di­hubungkan dengan kasus pen­curian. Sayangnya buku Prof Moeljatno yang dirujuk Prof Romli tidak mengutip secara utuh putusan Hooge Raad 23 Mei 1921. Kalau saja kita mem­baca literatur aslinya, pema­ham­an mengenai suatu per­masalahan menjadi utuh dan tidak secara parsial. Putusan Hooge Raad 23 Mei 1921 tidak hanya menggunakan inter­pretasi ekstensif, tetapi juga menggunakan gesetze analogie.

Seorang dokter gigi di Den Haag kurang lebih sebulan mengambil listrik tanpa izin dari tetangganya untuk menjalankan praktik di rumahnya. Dokter gigi kemudian dilaporkan ke polisi karena pencurian. Putusan Pengadilan Negeri Den Haag 3 November 1920 dan Putusan Pengadilan Tinggi Den Haag 26 Januari 1921 menjatuhkan vonis bebas terhadap dokter gigi. Perkara tersebut kemudian dikasasi ke Hooge Raad. Dalam pertimbangan dan putusannya yang berjudul “Electriche energie is een goed, vatbaar voor wegneming“, secara kasatmata terlihat bahwa menyangkut pengertian barang, Hooge Raad melakukan penaf­sir­an ekstensif dengan menyatakan bahwa sebuah barang dapat berupa barang berwujud atau barang tidak berwujud dan energi listrik ditafsirkan se­bagai barang tidak berwujud. Adapun terhadap kata “meng­ambil”, Hooge Raad menganalogikan inschakelen (perbuatan menaik­kan dan menurunkan saklar sehingga aliran listrik bisa berpindah) dipersamakan dengan wegneemt atau meng­ambil (lihat Burgersdijk en van Bemmelen, 1955, halaman 311-314).

Sumber : KORAN SINDO, Senin, 9 Oktober 2017

0 komentar:

Posting Komentar