Minggu, 28 September 2014

ANATOMI MALAPRAKTIK DOKTER


Oleh : Muladi
(Guru Besar Hukum Pidana Emeritus Universitas Diponegoro Semarang)

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihadapkan pada gonjang-ganjing dunia kedokteran.

Gonjang-ganjing ini akibat putusan kasasi Mahkamah Agung, 18 September 2012, yang membatalkan putusan bebas Pengadilan Negeri Manado dan memidana dokter Ayu Susiary Prawarni dan dua dokter lainnya dengan pidana 10 bulan penjara. Mereka dianggap terbukti melakukan malapraktik, yaitu karena kealpan mereka menimbulkan kematian pasien Julia Fransiska Makatey pada saat melahirkan melalui operasi caesar. Ribuan dokter di sejumlah wilayah Nusantara melakukan demonstrasi atas dasar solidaritas menentang putusan MA, yang dianggap tindakan kriminalisasi profesi dokter.
Hal yang menarik adalah bahwa sebelumnya PN Manado menyatakan tiga dokter tersebut divonis bebas. Putusan itu antara lain atas dasar testimoni Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Sulut, yang menyimpulkan bahwa ketiga dokter tersebut tidak terbukti melanggar etik dan prosedur profesi kedokteran. Hal ini membuktikan bahwa persoalan malapraktik bukan masalah sederhana dalam pembuktian.

Malapraktik dokter merupakan kelalaian atau kealpaan profesional (professional negligence), baik dengan cara berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang dilakukan seorang dokter. Perbuatan dokter tersebut dinilai berada di bawah standar praktik yang diterima masyarakat medis dalam kondisi yang sama, mengakibatkan kerugian atau cedera. Dalam kasus ini mengakibatkan kematian.

Jaksa penuntut umum—atas dasar laporan keluarga pasien— lalu menuntut tim dokter itu karena dianggap melakukan kelalaian, kecerobohan, atau kesemberonoan yang relatif berat, yang menimbulkan kematian (Pasal 359 KUHP). Tidak mustahil tuntutan semacam ini juga dapat diajukan terhadap penyelenggara kesehatan lain , seperti perawat, rumah sakit, dan klinik jika terlibat dalam penyertaan.

Elemen Malapraktik
Untuk suksesnya laporan telah terjadinya malapraktik dokter atas dasar kealpaan (negligence), Jaksa penuntut umum harus dapat membuktikan empat elemen berikut. Pertama, pembuktian adanya elemen kewajiban hukum (legal duty) atau semacam kontrak dalam hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien. Dalam hal ini pasien mengharapkan pelayanan kesehatan yang didasarkan norma dan standar pelayanan yang telah digariskan profesinya. Dalam kerangka ini kesaksian atau testimoni ahli yang kredibel dari kedua belah pihak dapat diajukan. Kedua, pembuktian adanya pelanggaran terhadap hubungan kewajiban hukum itu (breach of duty) oleh dokter. Dokter dianggap gagal memenuhi standar pelayanan yang ditentukan profesinya.

Ketiga, pembuktian bahwa pelanggaran itu telah menyebabkan terjadinya cedera (causation). Hubungan sebab-akibat ini harus nyata dan layak dapat diduga seorang dokter, baik dalam bentuk berbuat atau tidak berbuat, yang sering disebut sebagai kausa yang bernilai hukum (legal cause atau proximate cause). Keempat, pembuktian mutlak adanya kerugian (damage) aktual terhadap kepentingan pasien akibat pelanggaran standar pelayanan yang mengakibatkan kerugian akibat cedera itu, baik ekonomis dan non-ekonomis (cedera fisik mulai cacat sampai dengan kematian) (American College of Legal Medicine, The Medical Malpractice Survival Handbook, Mosby, Elsevier, 2007).

Di sejumlah negara maju, persoalan malapraktik ini sangat menghantui dokter sehingga mengakibatkan berkembangnya pengaturan tentang pembatasan gugatan ekonomis; waktu kedaluwarsa yang lebih pendek; keberadaan pengadilan khusus malapraktik; asuransi malapraktik; dan praktik medis defensif (defensive medical practice) berupa tindakan dokter yang berkelebihan yang mengharuskan berbagai tes diagnostik yang sebenarnya tidak perlu untuk menghindari kemungkinan gugatan atau tuntutan malapraktik. Hal ini mengakibatkan meroketnya biaya pelayanan kesehatan.

Untuk membantu hakim agar dapat menyimpulkan secara normatif apakah dokter telah melanggar standar pelayanan medis, kesaksian ahli yang kredibel sangat perlu dalam memutuskan perkara. Apabila terjadi keragu- raguan dalam deskripsi para saksi ahli yang diajukan kedua pihak, hakim dapat memberlakukan prinsip in dubio pro reo. Artinya, apabila terjadi keragu-raguan hakim harus memihak terdakwa atas dasar asas praduga tak bersalah. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran yang diatur dalam Pasal 55 hingga Pasal 64 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran hanya berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran disiplin dokter. Dalam kasus dokter Ayu, jika diyakini ada keadaan baru (novum) atau pernyataan hakim yang bertentangan atau ternyata ada kekhilafan hakim, peninjauan kembali dapat diajukan. Namun, PK tak menangguhkan atau menghentikan eksekusi (Pasal 268 Ayat 1 KUHAP).

Agenda ke depan
Kementerian Kesehatan diharapkan segera merumuskan dengan jelas apa yang dinamakan standar pelayanan kesehatan (standard of care) yang masing-masing berlaku secara nasional untuk semua penyelenggara kesehatan, seperti dokter, perawat, rumah sakit, dan klinik. Di samping itu, perlu dikembangkan suatu lembaga semacam forum konsultasi antara para penyelenggara pelayanan kesehatan, profesional kesehatan, penegak hukum, pengacara, administrator, pendidikan hukum dan kedokteran, serta peminat lain untuk dapat menghayati bersama secara interdisipliner masalah- masalah hukum kesehatan agar dapat ditegakkan secara tepat dan profesional.

Tulisan dimuat pada Harian Kompas, 6 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar