Kamis, 18 September 2014

J.E. Sahetapy, Seorang Penjaga Nurani Hukum




Apa dan siapa Profesor J.E. Sahetapy, yang begitu "galak" ketika menguji para calon hakim agung di DPR? Bahkan seorang calon, Benjamin Mangkudilaga, cukup populer sebagai hakim yang jujur dan sederhana, ditanya oleh Sahetapy tentang hadiah rumah yang diterima Benjamin. Tidakkah itu menimbulkan konflik kepentingan? Jawab yang ditanya, rumah itu belum dimilikinya. Dengan cepat, sang penguji langsung menimpali jawaban itu: "Saya tanya, apakah itu tidak menimbulkan conflict of interest?"

Rupanya, Benjamin mencoba berkelit. "Itu hak saya sebagai warga negara," jawabnya. Sang penguji tak juga putus asa, bahkan makin keras bertanya: "Apakah perlu saya bertanya dalam bahasa Inggris atau Belanda, apakah itu tidak menimbulkan confict of interest?" Baru di pertanyaan ketiga kalinya ini sang calon hakim agung yang dikabarkan dijagokan Presiden Abdurrahman Wahid itu menjawab langsung: "Tidak".

Profesor Sahetapy, sudah 40 tahun menjadi dosen di Fakultas Hukum Unair, tampaknya memang tidak bisa tedeng aling-aling. Seorang calon hakim dari Gorontalo mengaku sebagai salah seorang muridnya. Entah apa maksud sang calon, yang kemudian diterimanya adalah semprotan kata-kata yang keras: "Ya, memang. Tapi saya malu punya murid seperti Anda, karena menjawab pertanyaan apakah pernah masuk parpol, tidak mengaku. Ternyata dalam CV, Anda pernah aktif di Golkar."

Tak Cuma kali ini, tentu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, bicara sesuai yang ia yakini sebagai yang benar. Sahetapy pernah meminta Kapolri Jenderal Roesmanhadi untuk mundur dari jabatannya apabila tidak bisa menangani masalah Bank Bali.

Kenapa bapak tiga anak dan satu anak angkat ini sangat prihatin pada komitmen dan integritas penegak hukum? Jawabannya bukan sesuatu yang mengejutkan, melainkan kata-kata yang banyak orang juga tahu, namun bila itu keluar dari Sahetapy bobot kebenarannya memang lain: sebab, yang menjadi persoalan dalam dunia hukum itu bukan hukumnya, tapi orang atau aparat hukum itu sendiri.

Sahetapy lahir di Saparua, Maluku, 67 tahun lalu. Di waktu kecil ia sudah harus menghadapi persoalan yang pelik: menerima perpisahan antara ibu dengan ayahnya. Sebabnya, ayahnya yang kepala desa itu suka berjudi. Ibunya, Nona Tomasoa, tidak tahan ikut menanggung akibatnya, lalu minta cerai. Sang ibu kawin lagi dengan C.A. Lakollo.

Sahetapy kecil masuk sekolah dasar di Partikulere Saparua School, sekolah yang didirikan oleh ibunya sendiri. Dari ibunya yang guru itulah Sahetapy mengaku belajar nasionalisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Menjelang detik-detik akhir kelulusannya, tahun 1943, perang meletus. Sahetapy pun putus sekolah. Berselang empat tahun, 1947, baru ia kembali ke sekolah sampai lulus sekolah dasar. Ia pun masuk SMP. Menjelang lulus, peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan) meledak. Sahetapy pindah ke Surabaya, bergabung dengan kakaknya, A.J. Tuhusula Sahetapy. Di Ibu Kota Jawa Timur itulah ia menamatkan SMA-nya.

Ia tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Ibunya tidak sependapat. "Sebetulnya saya pernah ditawari masuk sekolah pendeta, tapi ibu pun tidak setuju," katanya seperti dikutip Forum Keadilan. Akhirnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya (yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Airlangga). Tampaknya, di kampus, Sahetapy termasuk mahasiswa yang cerdas. Ia juga menguasai Bahasa Belanda. Itulah yang kemudian membawanya menjadi asisten dosen untuk mata kuliah hukum perdata di fakultasnya.

Tak suka memakai jas
Begitu lulus kuliah, Profesor Gondho Wardoyo, dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, menawarinya kuliah di AS. Kesempatan itu tidak disia-siakan Sahetapy. Dua tahun di AS, ia balik ke Indonesia.

Di samping gembira karena bertambah ilmunya, Sahetapy juga harus menerima tuduhan konyol: ia diisukan sebagai mata-mata Amerika oleh kelompok kiri kala itu yang dimotori oleh PKI. Ia tak boleh mengajar. Celakanya, setelah PKI tumbang, ada pula isyu lain yang membuat Sahetapy tetap harus "menganggur" meski resminya ia adalah dosen FH Unair. "Sejak itulah minat saya membela rakyat kecil semakin tinggi," ujarnya.

Tapi semua itu tak sampai membuat orang melupakan potensi Sahetapy. Beberapa lama kemudian ia diperbolehkan mengajar kembali. Dan pada tahun 1979, Sahetapy yang menulis disertasi berjudul "Ancaman Hukuman Mati Terhadap Pembunuhan Berencana" ini terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum Unair.

Di samping menjadi dosen, ia sempat juga menjadi birokrat. Ia pernah menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) Provinsi Jawa Timur. "Saya pernah menjadi asisten Gubernur Mohammad Noor," katanya.

Sebagai dosen, suami Lestari Rahayu ini dikenal sangat kritis. Kritik-kritiknya tajam dan keras. Ia pun dikenal sebagai dosen yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya. Ia tinggal di sebuah rumah di kompleks perumahan dosen Universitas Airlangga, Jalan Darmahusada III. Rumah itu sendiri jauh dari kesan mewah. Perabotannya biasa saja. Misalnya, sofa di ruang tamunya bukanlah dari jenis sofa berharga ratusan ribu rupiah. Sehari-hari, untuk mendukung kegiatannya, ia mengendarai mobil Kijang.

Keseharian yang sederhana itu masih tergambar hingga ia menjadi anggota DPR dari PDI-P di zaman reformasi ini. Ia kerap jalan kaki ke gedung DPR dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR. Waktu itu, ia memang tinggal di tempat kerabatnya, dan mengaku tidak ada taksi yang lewat di lingkungan tersebut. Itu membuatnya harus jalan sekitar lima ratus meter sebelum bisa menemukan taksi. Tapi, karena jarak ke Gedung DPR makin dekat, tidak ada taksi yang bersedia mengantarnya. Jadi, ya, terpaksalah berayun tungkai.

Jelas saja, berjalan kaki di Jakarta yang terik membuatnya berkeringat. Karena itu setiap hari ia memakai kaos, baru setelah sampai di ruang kerjanua ganti baju yang dibawanya. Sahetapy juga tergolong orang Indonesia yang tidak suka memakai jas. Ia pun tidak termasuk anggota DPR yang memikirkan soal tunjangan mobil yang sempat "hangat".

Semua perilaku dan sikap Profesor Sahetapy, tampaknya, membuatnya layak dijuluki penjaga nurani hukum.

Nama : 
J.E. Sahetapy
Tempat, Tgl lahir : 
Saparua, 6 Juni 1933
Pendidikan :
· SMA I di Surabaya
· Fakultas Hukum Universitas Airlangga
· University of Utah, USA (1961-1962)
Karier :
· Asisten Dosen Fakultas Hukum Unair (1957)
· Dosen FH Unair (sejak 1961)
· Dekan Fakultas Hukum Unair (1979-1985, dua priode)
· Anggota DPR-RI (sejak 1999)
· Ketua Komisi Hukum Nasional (Sejak 1999)
Alamat Rumah :
Kompleks Perumahan Dosen Universitas Airlangga,
Jalan Darmahusada III, Surabaya

Sumber : http://tempo.co.id/harian/profil/prof-sahetapy.html

0 komentar:

Posting Komentar