Jumat, 04 Agustus 2017

DARURAT PERKAWINAN ANAK



Oleh : RETNO LISTYARTI 
(Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia dan Komisioner KPAI Terpilih Periode 2017-2022

Setiap hari lebih dari 41.000 perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Kemiskinan, ketimpangan jender, ketiadaan akses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan reproduksi yang terbatas, dan peluang kerja yang terbatas mengekalkan praktik pernikahan dini dan kelahiran bayi dari perempuan di bawah 18 tahun. Perkawinan anak di Indonesia, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berada di peringkat ketujuh di dunia untuk kategori angka absolut perkawinan usia anak tertinggi yang menanggung beban perkawinan usia anak.

Indonesia salah satu negara tertinggi di Asia Timur dan Pasifik untuk jumlah angka perkawinan usia anak. Di Asia Tenggara, posisi Indonesia hanya berada di bawah Kamboja. 

Dalam analisis data perkawinan usia dini yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, angka perkawinan usia anak tertinggi terjadi pada perempuan berusia 16 dan 17 tahun. Analisis menyatakan, satu dari empat anak perempuan menikah sebelum 18 tahun. Data yang menganalisis perkawinan usia anak dari tahun 2008 hingga 2015 itu menyebut tak terdapat perubahan signifikan terhadap angka perkawinan anak. Sejak tahun 2008, angka perkawinan usia anak relatif tetap stabil sekitar 25 persen. Daerah dengan tingkat perkawinan usia anak tertinggi berada di Sulawesi Barat, rata-rata 36,2 persen, disusul Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. 

Data tersebut menguatkan fakta bahwa kondisi pernikahan anak di Indonesia sudah masuk dalam kategori darurat. Kondisi tersebut masuk dalam kedaruratan karena menjadi persoalan yang memiliki banyak dampak, bagi anak, orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara. 

Pelanggaran hak anak 

Pertama, perkawinan usia dini adalah pelanggaran dasar hak asasi anak karena membatasi pendidikan, kesehatan, penghasilan, keselamatan, kemampuan anak, dan membatasi status dan peran. Anak yang mengalami pernikahan dini terpaksa berhenti sekolah atau tak dapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Jika dia anak perempuan, jika hamil di usia yang begitu belia, itu sangat berisiko karena organ-organ tubuhnya belum siap. 

Selain itu, mengasuh anak jelas butuh kematangan mental, sementara di usia yang masih anak-anak sudah harus mengasuh anaknya sendiri. Hari-harinya akan dipenuhi kesibukan merawat dan mengasuh anak dan tidak memiliki lagi kesempatan mengembangkan diri sesuai bakat dan potensi yang dimilikinya. Bahkan, berpotensi kehilangan kesempatan bekerja untuk mendapatkan penghasilan. 

Sementara itu, banyak kasus perkawinan anak bukanlah atas keinginan si anak karena ada anggapan di masyarakat Indonesia, anak yang bersekolah dianggap beban bagi keluarga, terutama keluarga dengan kemampuan ekonomi lemah. Anak yang tak bersekolah dinikahkan agar keluar dari rumah orangtua. Ada juga anak yang dipaksa menikah karena kepercayaan orangtua, saat memasuki masa puber, rentan terjebak pergaulan permisif dengan lawan jenis. Padahal, semestinya anak dididik bersosialisasi yang benar. 

Padahal, banyak perkawinan anak kemudian berakhir dengan perceraian. Akibatnya, si anak perempuan kembali lagi ke rumah orangtuanya dengan membawa anak hasil pernikahannya. Dampaknya, beban orangtua yang miskin bertambah. Bahkan, terkadang si orangtua belum selesai melunasi utangnya setelah menikahkan anaknya tersebut, kadang meminjam biaya nikah kepada rentenir yang bunganya mencekik peminjam. Akibatnya, kondisi keluarga semakin sulit dan semakin miskin. 

Kedua, perkawinan anak menjadikan anak-anak sulit mendapatkan haknya berupa hak atas pendidikan, hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. 

Ketiga, perkawinan anak juga berisiko fatal bagi tubuh yang berujung seperti kematian, terkait kehamilan, kekerasan, dan infeksi penyakit seksual. Tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia sebagian besar disumbang oleh kelahiran di usia ibu yang masih remaja. Hal ini di antaranya karena secara fisik, organ tubuh dan organ alat reproduksi remaja belum tumbuh sempurna dan belum siap untuk hamil. Dampaknya ketidaksiapan tersebut sangat berpengaruh juga pada kondisi kesehatan janin yang dikandung. 

Meminjam pernyataan Direktur Proyek Bank Dunia Quentin Wodon, hak atas keselamatan dan keamanan, kesehatan, pendidikan, serta pilihan dan keputusan hidup seorang remaja yang menikah sering kali "dirampok" sebuah pernikahan. Pernikahan remaja tidak hanya memupus harapan perempuan, tetapi juga menafikan upaya penanggulangan kemiskinan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesetaraan. 

Bebani ekonomi negara 

Pernikahan usia dini tak hanya berdampak pada aspek kesehatan dan kependudukan, tetapi juga ekonomi negara karena biaya kesehatan yang besar. Selama ini, aspek ini kurang mendapat perhatian dari pengambil kebijakan. Berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia dan International Center for Research on Women berjudul Economic Impacts of Child Marriage, pernikahan usia dini akan merugikan negara berkembang hingga triliunan dollar AS pada 2030 jika tak diakhiri. 

Sebaliknya, menunda usia perkawinan akan berkontribusi besar pada peningkatan derajat pendidikan perempuan dan anak, pengendalian jumlah penduduk, serta peningkatan kesejahteraan perempuan di rumah dan di tempat kerja. Adapun dasar analisisnya adalah sebagai berikut. 

Pertama, persalinan perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi secara kesehatan dan konsekuensi pembiayaan. Pendewasaan usia perkawinan dan kehamilan bisa mengurangi pengeluaran biaya kesehatan. Pernikahan usia dini dan kelahiran tidak diinginkan merupakan masalah besar. 

Kedua, di banyak negara, penundaan perkawinan menyebabkan populasi penduduk terkendali sehingga anggaran pendidikan bisa dihemat sedikitnya 5 persen. Hasil analisis menunjukkan, pada 2015, peningkatan kesejahteraan global dari mengakhiri pernikahan dini tercatat 22 miliar dollar AS setahun. Pada 2030 diperkirakan meningkat hingga 566 miliar dollar AS per tahun. 

Ketiga, peningkatan usia perkawinan dapat menurunkan angka kematian anak balita dan kejadian anak balita pendek (stunting) akibat kekurangan nutrisi. Ini setara keuntungan 90 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Keuntungan lain, peningkatan kesejahteraan perempuan di lapangan kerja. Pendapatan mereka diproyeksikan lebih rendah 9 persen dari yang menikah di atas usia 18 tahun. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah memasukkan program pencegahan pernikahan usia anak dalam agenda pembangunan nasional. Strateginya antara lain inisiasi kota layak anak, advokasi usia perkawinan 21 tahun, dan mendorong wajib belajar 12 tahun. 

Komite Hak Anak dari PBB telah melakukan pengamatan tentang penerapan hak anak di Indonesia. Salah satu rekomendasinya, menaikkan usia minimum pernikahan di Indonesia dari 16 menjadi 18 tahun. 

Koalisi 18+ yang merupakan jaringan masyarakat sipil yang melakukan advokasi penghentian praktik perkawinan anak, sekarang ini sedang berusaha menaikkan usia perkawinan untuk perempuan di Indonesia lewat upaya uji materi Pasal 7(1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam perkara 22/PUU/XV/2017 yang sedang menunggu hasil pleno untuk sidang I di Mahkamah Konstitusi. 

Daerah lebih progresif 

Ketika uji materi batas usia perkawinan 16 tahun ditolak MK, sejumlah daerah justru sudah memiliki kebijakan sendiri terkait perkawinan dini dalam berbagai bentuk, mulai dari perda, surat edaran kepala daerah, hingga peraturan desa. Misalnya, di Nusa Tenggara Barat ada surat edaran gubernur tentang usia pendewasaan usia perkawinan minimal 21 tahun. Kemudian ada juga peraturan bupati Gunung Kidul yang menetapkan usia minimal menikah 20 tahun. 

Bahkan, di Kabupaten Kebumen ada delapan desa yang menetapkan peraturan desa yang menetapkan setiap anak berhak dan berkewajiban menjaga dan melindungi dirinya dari menikah di usia anak, larangan tiap orang yang memengaruhi dan membujuk anak untuk menikah di usia anak, dan larangan memberikan rekomendasi nikah bagi aparat desa bagi pernikahan anak. 

Aturan hukum di Indonesia, terutama soal batas usia nikah, sangat dipengaruhi paham keagamaan. Agamawan sangat diharapkan dapat menginterpretasikan ulang secara kritis teks-teks keagamaan terkait batas usia nikah. Tafsir terhadap dalil-dalil agama perlu dilihat dengan lebih kritis dan mempertimbangkan kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas. 

Momentum peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2017 saat yang tepat untuk Pemerintah Indonesia mendukung Resolusi Sidang Umum PBB Nomor A/HRC/35/L.26 sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap HAM. Pemerintah harus mengakomodasi dan mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan batas usia nikah, salah satunya ialah tingginya angka kematian ibu. Perjuangan pendewasaan usia nikah secara struktural dan kultural harus terus-menerus dilakukan secara bersamaan di republik ini. Mengakhiri perkawinan anak tak hanya benar secara moral, tetapi juga cerdas secara ekonomi.

Sumber : Harian KOMPAS, 25 Juli 2017

0 komentar:

Posting Komentar