Jumat, 21 Juli 2017

DIVERSI MENJADI ALTERNATIF, MENGHINDARI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK FORMAL



Oleh : Beniharmoni Harefa

Lanjutan artikel Kelemahan Sistem Peradilan Pidana Anak Formal.

Dalam artikel sebelumnya, disampaikan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak Formal memiliki kelemahan. Setidaknya ada tiga kelemahan, yaitu : pertama, sulit mengontrol. Kedua, tidak mewakili kepentingan korban secara langsung. Ketiga, belum tentu memperbaiki pelaku.


Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diperkenalkan model penyelesaian perkara pidana anak yang disebut DIVERSI. Secara singkat diversi dapat diartikan suatu tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana formal (Jack E. Bynum).

Berdasarkan Pasal 6 UU No 11 Tahun 2012, diversi bertujuan, untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.

Secara konkrit diversi ini dilakukan yakni dengan mempertemukan pelaku (anak), orangtua/wali pelaku, korban, orangtua/wali korban. Pertemuan tersebut dihadiri juga oleh, pembimbing kemasyarakatan dari Lembaga Pemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan. Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial serta masyarakat yang diwakili oleh : tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dan tokoh pemuda.

Adapun inti yang hendak dicapai dalam pertemuan tersebut, adalah untuk meminta pertanggungjawaban dari si anak (pelaku), namun tanpa harus menyakiti, menghakimi, terlebih menegaskan stigma, bahwa anak (pelaku) merupakan pelaku kejahatan. Pertemuan dimaksudkan agar korban menyampaikan langsung apa yang dialami, sebagai akibat/dampak dari tindak pidana yang dilakukan anak (pelaku). Lalu, pelaku diharapkan dapat menyadari kesalahannya, meminta maaf, menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi.

Adapun sebagai fasilitator diversi berdasarkan UU No 11 Tahun 2012 yakni di tahap penyelidikan/penyidikan difasilitasi oleh Polisi. Di tahap penuntutan difasilitasi oleh Jaksa. Di tahap sidang Pengadilan difasilitasi oleh Hakim. Artinya bahwa di setiap tingkatan Sistem Peradilan Pidana, sebelum memasuki baik penyelidikan/penyidikan, penuntutan, maupun sidang pengadilan, diversi wajib dilaksanakan dan difasilitasi oleh aparat penegak hukum di setiap tahap.

Meskipun, dalam penerapannya, pelaksanaan diversi ini juga masih menemui kendala. Tidak jarang pertemuan diversi GAGAL (Tidak ada titik temu antara korban dan pelaku (anak). Banyak faktor, rata-rata alasan kegagalan tersebut yakni besarnya nilai ganti kerugian yang diminta korban kepada pelaku.

Jika gagal, maka diversi tidaklah bermakna. Anak pelaku tindak pidana, sama saja, akan berpotensi masuk dalam proses peradilan pidana formal dan berpotensi berdampak buruk bagi anak. Jika demikian, lalu bagaimana seharusnya ?

Lanjut pada artikel berikutnya ....


Penulis : konsen pada masalah Perlindungan Anak

0 komentar:

Posting Komentar