Jumat, 21 Juli 2017

"Obstruction of Justice" dan Hak Angket DPR



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Hak angket DPR terhadap KPK yang sedang bergulir menimbulkan kontroversi secara diametral di kalangan ahli hukum bidang kenegaraan terkait keabsahan hak tersebut.

Tulisan berikut ini tidak akan membahas mengenai keabsahan hak angket, tetapi melihat penggunaan hak tersebut terkaitobstruction of justice dalam hukum pidana. Berdasarkan judul artikel ini, ada tiga hal yang akan diulas lebih lanjut. Pertama, apa yang dimaksud obstruction of justice. Kedua, mengapa obstruction of justice merupakan suatu tindak pidana. Ketiga, apakah hak angket DPR terhadap KPK tersebut berpotensi sebagaiobstruction of justice? 

Secara harfiah, obstruction of justicediartikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses hukum. Dalam konteks hukum pidana, obstruction of justiceadalah tindakan yang menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, dan advokat), baik terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa. 

Penafsiran doktriner terhadapobstruction of justice adalah suatu perbuatan, baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan maksud menunda, mengganggu, atau mengintervensi proses hukum dalam suatu kasus. Per definisi, obstruction of justice yang demikian mengandung makna bahwa tindakan yang dilakukan sejak awal tersebut punya motif untuk menghalangi proses hukum. 

Suatu pertanyaan mendasar adalah mengapa obstruction of justicedikualifikasikan sebagai tindak pidana. Hal ini tidak terlepas dari landasan filosofi asas legalitas dalam hukum pidana yang bersandar pada postulatnullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana sebelumnya. Sebagai asas yang fundamental dalam hukum pidana, postulat tersebut berasal dari tiga frasa. Pertama, nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang). Kedua,noela poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana). Ketiga,nullum crimen sine poenal legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Terkait frasa yang ketiga ini lahirlah legalitas penuntutan dalam hukum pidana, yang berarti setiap perbuatan pidana harus dituntut. 

Cacat hukum sejak awal 

Kedalaman makna dan hakikat postulat tersebut melahirkan dua fungsi asas legalitas. Pertama, fungsi melindungi, yakni untuk mencegah tindakan sewenang- wenang negara terhadap warga negaranya, yang menurut Fletcher dalam The Basic Concepts Of The Criminal Law sebagai prinsip negatifasas legalitas. Kedua, fungsi instrumentasi yang berarti dalam batas-batas yang ditentukan UU, pelaksanaan kekuasaan negara terhadap orang yang diduga terlibat atau mengetahui suatu tindak pidana dibolehkan dalam rangka melindungi masyarakat dari kejahatan. 

Masih menurut Fletcher, fungsi instrumentasi ini merupakan prinsip positif asas legalitas. Obstruction of justice adalah suatu pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam suatu perkara. Oleh sebab itu,obstruction of justice dikualifikasikan sebagai tindak pidana karena menentang asas yang fundamental dalam hukum pidana. 

Tidak mengherankan bahwa substansiobstruction of justice secara universal diatur dalam KUHP semua negara di dunia, termasuk Pasal 221-225 KUHP Indonesia. Bahkan, spesifik terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, substansi obstruction of justice ini diatur dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Apabila dikaitkan lebih lanjut dengan Konvensi PBB tentang Antikorupsi yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006,obstruction of justice adalah mandatory offences. Artinya, negara pihak yang meratifikasi konvensi itu wajib memasukkan ketentuan a quo dalam hukum nasionalnya. 

Pertanyaan lebih lanjut, apakah hak angket DPR saat ini merupakanobstruction of justice tentunya tidak terlepas dari motif dan latar belakang lahirnya hak angket DPR terhadap KPK. Tidaklah dapat dimungkiri dan sudah pengetahuan umum bahwa hak angket DPR terhadap KPK yang saat ini sedang berlangsung tidak terlepas dari proses hukum yang dilakukan KPK terhadap dugaan korupsi dalam pengadaan KTP elektronik. 

Lebih spesifik, baik media cetak maupun elektronik memberitakan, salah satu tujuan hak angket adalah meminta KPK membuka rekaman Miryam S Haryani pada saat pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP). Pembuatan BAP dalam peradilan pidana adalah sesuatu yang pro-yustisia sehingga bersifat rahasia dan tidak boleh dipublikasikan. Sebab itu, dapat dimaklumi bahwa informasi dalam proses hukum adalah hal yang dikecualikan dalam UU Keterbukaan Informasi. 

Sangat jelas bahwa motif anggota DPR yang menggelindingkan hak angket terhadap KPK menunjuk pada kasus konkret yang sedang diproses secara hukum. Artinya, motif penggunaan hak tersebut adalah untuk menunda atau mengganggu atau mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung terhadap suatu perkara. Secara mutatis mutandis, kelahiran hak angket DPR terhadap KPK saat ini telah memiliki kecacatan sejak awal karena patut diduga keras telah memiliki dolus malus (niat jahat) untuk merecoki proses hukum pengadaan KTP elektronik. Dengan demikian, penggunaan hak angket DPR terhadap KPK amat sangat berpotensi terhadap adanya obstruction of justice.

Dimuat di Harian KOMPAS, Jumat/21 Juli 2017

0 komentar:

Posting Komentar