Jumat, 21 Juli 2017

SEKOLAH RAMAH ANAK



Oleh : Tuti Budirahayu
(Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga)

Menyambut tahun ajaran baru yang jatuh pada pertengahan Juli 2017 ini, pemerintah kembali menyosialisasikan gerakan sekolah ramah anak. Sebelum libur Lebaran, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengajak pemerintah daerah untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa (Kompas, 28/6).

Imbauan Muhadjir itu bukan tanpa sebab. Berbagai kasus dan ulah sejumlah siswa dengan tindakan yang tidak mencerminkan keterpelajaran mereka merebak di mana-mana. Tawuran antarpelajar, perundungan antara senior ke yunior, tindakan kekerasan hingga penganiayaan antarsiswa akhir-akhir ini menjadi pemberitaan yang tak pernah surut. Sebagai pelajar terdidik dan berbudaya, seharusnya mereka menghindari hal-hal yang menampakkan kebiadaban. Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan brutal siswa? Patutkah hanya mereka yang disalahkan? 

Iklim belajar di sekolah 

Ulah pelajar yang melakukan tindakan tercela jelas mengundang keprihatinan kita semua. Akan tetapi, menimpakan semua kesalahan yang terjadi semata hanya kepada siswa tentu tidak adil. 

Penelitian penulis pada tahun 2016 di empat kota di Jawa Timur (Surabaya, Malang, Pasuruan, dan Bangkalan; dengan responden 400 siswa SMA) menunjukkan bahwa berbagai tindak dan perilaku kekerasan yang dialami siswa di sekolah disebabkan oleh iklim dan budaya akademik yang tidak kondusif terhadap keramahan, persahabatan, dan saling percaya di antara para aktor di sekolah. Interaksi yang baik di antara warga sekolah sesungguhnya dapat membuat iklim belajar menjadi lebih kondusif dan menyenangkan. 

Dari hasil studi terlihat, siswa yang merasa interaksinya dengan guru-guru cukup akrab mengakui bahwa mereka tidak pernah mengalami kekerasan di sekolah (sebanyak 74 persen). Sebaliknya, siswa yang merasa interaksinya kurang akrab dengan guru mengaku pernah mengalami atau melakukan kekerasan di sekolah. 

Sistem dan budaya senioritas di antara siswa, yaitu model interaksi yang mengarah pada relasi kuasa antara kakak kelas (senior) terhadap adik kelas (yunior), juga menjadi penyumbang langgengnya budaya kekerasan di sekolah. Data yang didapat dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekolah yang di dalamnya memiliki budaya senioritas ternyata siswanya cenderung pernah mengalami kekerasan (37 persen), dibandingkan dengan sekolah yang tidak memiliki sistem senioritas. 

Hal lain hasil temuan studi ini menunjukkan, iklim belajar yang kondusif dan memacu siswa untuk bisa menyalurkan bakat dan kreativitasnya cenderung akan mencegah agresivitas siswa. Kegiatan-kegiatan seperti pentas dan pameran seni, lomba antarsiswa, OSIS (organisasi siswa intra-sekolah), kerohanian, atau ekstrakurikuler yang dapat mendukung pengembangan minat dan bakat siswa ternyata memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kenyamanan belajar siswa di sekolah. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 80 persen siswa yang di sekolahnya disediakan beragam aktivitas penunjang minat dan bakat ternyata tidak pernah mengalami atau melakukan kekerasan di sekolah. Sebaliknya, di sekolah yang tidak ada atau sedikit sekali menyediakan kegiatan penunjang minat dan bakat ternyata siswanya pernah mengalami atau melakukan kekerasan di sekolah. 

Mengondisikan sekolah 

Memperhatikan hasil penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa sekolah yang ramah siswa cenderung mampu mengembangkan iklim dan budaya akademik yang penuh dengan keramahan, toleransi, dan saling menghargai. Iklim akademik semacam itu bukan hal yang sulit dilakukan dan tidak hanya menjadi milik sekolah-sekolah mahal atau sekolah favorit. 

Strategi yang bisa dilakukan oleh sekolah yang ingin membangun iklim dan budaya akademik ramah siswa adalah mengembangkan berbagai program pembelajaran dengan melibatkan semua aktor di sekolah. Bukan hanya siswa, melainkan juga kepala sekolah, guru-guru, dan tenaga kependidikan, juga orangtua murid, sebagai salah satu pemangku kepentingan sekolah. Program-program pembelajaran itu tidak berarti menambah beban belajar siswa dengan memperpanjang jam belajar di kelas, tetapi berupa berbagai aktivitas yang dilakukan di luar kelas atau sekolah dan membuat siswa merasa senang, nyaman, dan betah mengikuti aktivitas tersebut. 

Sebagai contoh adalah memperkaya kegiatan ekstrakurikuler. Kemampuan psikomotorik siswa dapat diasah melalui berbagai kegiatan olahraga, sedangkan kemampuan afeksinya dapat diajarkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan, pelestarian lingkungan hidup, atau proyek-proyek sosial yang dapat mempertajam kepekaan nurani siswa. Komitmen kepala sekolah dan para guru yang dipadukan dengan partisipasi aktif orangtua siswa dalam mendukung, dan bila perlu membimbing siswa dalam berbagai aktivitas di sekolah, menjadi kunci kesuksesan sekolah dalam memberikan bekal hidup yang terbaik bagi siswa. 

Sepatutnya kita kembali meresapi filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Menurut Ki Hajar, fungsi mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 

Konsep pendidikan Ki Hajar tentang tiga dinding kelas juga menjadi inspirasi yang luar biasa untuk mereformasi pendidikan kita yang sudah cukup lama menjadikan ruang kelas bagaikan penjara bagi siswa. Ide ruang kelas tiga sisi dinding sesungguhnya memberikan kesempatan terbuka bagi siswa untuk berinteraksi tanpa batas dengan dunia riil di luar kelas. Ini artinya, siswa tidak boleh dipisahkan dari lingkungan sekitarnya dan mereka harus bisa melebur dengan kehidupan masyarakat. 

Pemikiran Ki Hajar itu juga sejalan dengan pemikiran ahli pendidikan dari Amerika Serikat, John Dewey (1953). Dalam kariernya sebagai ahli pendidikan, ia membuat sebuah sekolah yang dapat menghidupkan semangat saling bekerja sama dan tolong-menolong di antara siswa, guru, dan keluarga siswa. Menurut dia, sekolah adalah sebuah masyarakat mini, yang di satu pihak sekolah harus mencerminkan kehidupan bersama di luar sekolah dan di pihak lain harus memberikan sumbangan demi memperbaiki kehidupan sosial yang lebih beradab bagi generasi muda. 

Dengan memahami pemikiran-pemikiran para pendahulu yang cukup jernih itu, sudah sepantasnya pemerintah dan sekolah-sekolah di Indonesia berbenah kembali untuk mewujudkan sekolah yang menyenangkan dan ramah bagi para peserta didiknya

Sumber : Harian KOMPAS, 18 Juli 2017

0 komentar:

Posting Komentar