Kamis, 12 April 2018

PASCA PENETAPAN 38 TERSANGKA ANGGOTA DEWAN




Oleh : Beniharmoni Harefa
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)


Kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho, memasuki babak baru. Pasca Gatot divonis 4 tahun penjara pada Maret 2017 yang lalu, kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 38 orang mantan anggota dan anggota DPRD Sumut sebagai tersangka. Ke 38 orang ini, diduga menerima suap dari Gatot, untuk melancarkan laporan pertanggungjawaban pemerintah provinsi untuk tahun anggaran 2012, persetujuan APBD 2013, dan pengesahan APBD 2014.

Para tersangka “berjamaah” tersebut, dijerat pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. Apabila terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, menanti ke 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut.

Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana kelanjutan pasca penetapan tersangka ke 38 mantan anggota dan anggota DPRD Sumut oleh KPK. Apakah dapat dipastikan upaya yang dilakukan ini dapat meminimalisir bahkan menghilangkan korupsi dalam penyelenggaran pemerintahan ke depan?

Korupsi dan Kekuasaan
Tidak dimungkiri kasus korupsi sering terjadi, karena penyalahgunaan kekuasaan abuse of power. Montesqieu dalam bukunya Le Espirit des Lois yang diterjemahkan sebagai The Sprit of Law, menyebut bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan. Dalam konteks inilah sering terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Kekuasaan yang besar memang membawa risiko di mana para pemangku kekuasaan, acap kali bertindak tanpa kendali. Para pejabat lupa bahwa jabatan yang diembannya adalah amanah yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Ketika tidak amanah, maka ini akan membawa malapetaka. Banyak kepentingan publik yang terabaikan sehingga menimbulkan kemelaratan.

Kekuasaan seharusnya diimbangi dengan kontrol yang mutlak. Jika tidak, sama saja membiarkan korupsi merajalela. Atas dasar inilah seorang sejarahwan bernama Lord Acton berkata: power tends to corrupt and absolute power to corrupt absolutely. Setiap kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan yang mutlak, korupsinya juga mutlak. Korupsi yang melibatkan Gubernur dan para anggota DPRD, sesungguhnya adalah wujud nyata betapa kekuasaan besar, yang tidak terawasi dengan baik akan mudah disalahgunakan.

Tidak Mengenal SP3
Penetapan tersangka-38 mantan anggota dan anggota DPRD Sumut, telah melalui proses yang tidak singkat. Jika mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 14, maka penetapan tersangka dilakukan berdasarkan minimal dua alat bukti, seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini berarti bahwa penyidik KPK, telah menemukan minimal dua alat bukti, serta patut diduga para mantan anggota dan anggota DPRD Sumut tersebut, sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPK tidak berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi. Hal ini secara tegas tertuang dalam Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menegaskan bahwa : “KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.” Hal tersebut membuat KPK sangat cermat dan hati-hati, dalam menetapkan tersangka dalam tindak pidana korupsi.

Dalam kasus korupsi yang melibatkan 38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut ini, dapat dipastikan KPK tidak akan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kasus penyidikan tindak pidana korupsi ini, pasti terus berlanjut, hingga sidang di Pengadilan. Justru sangat terbuka kemungkinan, KPK dapat melakukan penahanan terhadap para tersangka. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa para tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (berdasarkan pasal 21 ayat 1 KUHAP)

Tidak Terhalang UU MD 3
Pasca penetapan tersangka-38 anggota dan mantan anggota DPRD Sumut, proses pemanggilan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK “tidak terhalang” oleh UU MD 3. Meski sempat menuai kontroversi, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (sering disingkat UU MD 3), yang sah berlaku Maret lalu, tidak akan menghalangi KPK untuk memeriksa dan memanggil para tersangka anggota dan mantan anggota DPRD Sumut.

Pada pasal 245 ayat 1 UU MD 3, menegaskan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR/DPRD sehubungan dengan terjadinya tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Namun, dalam Pasal 245 ayat 2 huruf c UU a quo, persetujuan tertulis dimaksud “tidak berlaku” apabila anggota DPR/DPRD, disangka melakukan tindak pidana khusus.
Dalam penjelasan pasal 245 ayat 2 huruf c, yang dimaksud dengan tindak pidana khusus antara lain meliputi “tindak pidana korupsi”, tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Sehingga dapat disimpulkan, KPK dapat memanggil dan meminta keterangan para mantan anggota dan anggota DPRD Sumut, “tanpa harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden dan pertimbangan MKD”, dikarenakan para mantan dan anggota DPRD Sumut dimaksud, disangka melakukan tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi.

Dari kasus korupsi Gubernur dan para mantan serta anggota DPRD Sumut, ada beberapa catatan penting. Pertama, pasca desentralisasi (pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah), kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota serta DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, semakin besar. Kewenangan yang semakin besar ini, menimbulkan potensi korupsi yang semakin besar pula.

Kedua, sudah saatnya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota khususnya di wilayah Sumatera Utara, menerapkan konsep dengan sistem online. Peningkatan sistem dengan E-Planning, E-Budgeting, setidaknya dapat mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan. Dengan E-Planning, E-Budgeting, dan konsep-konsep sistem online lainnya, membuat pengelolaan anggaran dilaksanakan secara transparan, sehingga dapat diawasi oleh publik, dan potensi abuse of power dapat dihindari.

Sebesar dan segencar apapun upaya KPK, untuk menetapkan sebanyak-banyaknya para pejabat khususnya di Sumatera Utara, termasuk Gubernur dan para anggota DPRD sebagai tersangka, jika tidak diikuti pembenahan sistem dan peningkatan upaya-upaya pencegahan lainnya, maka dapat dipastikan korupsi akan terus terjadi.

* * *
Tulisan ini telah diterbitkan di Harian ANALISA/ 3 April 2018

0 komentar:

Posting Komentar