Selasa, 28 November 2017

Empat Isu Penting Merespons Pandangan Prof Eddy OS Hiariej



Oleh : Romli Atmasasmita
(Guru Besar Emeritus FH Unpad Bandung)

Pada awal artikel ini, penulis mengapresiasi kesediaan redaksi KORAN SINDO untuk memuat secara berturut-turut pendapat saya dan Prof Eddy OS Hiariej sekitar operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penyadapan dan Analogi.

Apresiasi penulis kepada rekan Prof Eddy OS Hiariej, Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater penulis dalam melakukan studi doktor ilmu hukum (1996), yang telah mengungkapkan bahwa sesama akademisi saya sangat terbuka untuk diskusi hukum mengenai masalah hukum pidana dan hukum pidana internasional. Bahkan saya menyampaikan usul kepada Pemimpin Redaksi KORAN SINDO untuk diselenggarakan Focus Group Discussion (FGD) perihal topik ini. Tujuannya agar bisa terjaring berbagai pendapat lain selain kami berdua untuk kepentingan masa depan hukum pidana dan langkah KPK yang lebih pasti, baik, dan berkeadilan.

Ada empat isu penting bagi penulis terhadap respons Prof Eddy OS Hiariej atas artikel penulis pekan lalu. Pertama, Pemerintah RI telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan UU RI Nomor 7 tahun 2006. Selain itu, juga telah dipersiapkan sejak tahun 2010, RUU Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 telah direvisi dan unsur kerugian keuangan negara telah dihilangkan, lebih ketentuan suap diutamakan.

Ketentuan Pasal 12 B dibenahi seperti bunyi draf awal sebelum disetujui DPR RI, yaitu berlaku pembuktian terbalik murni tidak dikaitkan dengan jabatan atau kewenangan sehingga tidak tumpang tindih dengan Pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999, suap pasif. Dalam RUU perubahan tersebut yang merupakan tindak lanjut ratifikasi UNCAC 2003 telah dikriminalisasi, termasuk antara lain trading in influence, illicit enrichment, dan surveillance.

Namun, sampai tulisan ini diturunkan, ketentuan UNCAC 2003 (vide RUU Perubahan UU Tipikor) belum bisa diberlakukan sebagai undang-undang berhubung sistem hukum Indonesia menganut “nonselfimplementing legislation” dan memiliki justifikasi konstitusional Pasal 11 UUD 1945: “(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Ketentuan UUD 1945 tersebut merupakan alas konstitusional berlakunya hukum internasional ke sistem hukum nasional menjadi hukum positif.

Kedua, Prof Eddy kurang teliti membaca ketentuan konvensi internasionall—UNCAC 2003 khusus Pasal 50 karena jelas dinyatakan secara eksplisit dalam kalimat awal dari pasal a quo yang menyatakan: “..each State Party shall, to the extent permitted by the basic principles of its domestic legal system and in accordance with the conditions prescribed by its domestic law, take such measures as may be necessary, within its means to allow for the appropriate use…and where it deems appropriate, special investigative technique, such as electronic surveillance and undercover operations,…to allow for the admissibility in court of evidence derive therein..”.

Kata kunci (key words) dalam ketentuan pasal a quo adalah permitted by the basic principles of its domestic legal system…in accordance with the conditions prescribed by the its domestic law, dan to allow for the admissibility in court of evidence.

Secara keseluruhan kalimat tersebut memiliki saling keterkaitan/hubungan sebab akibat. Jika tindakan penyadapan tidak dilakukan secara benar dan apa lagi belum didasarkan pada suatu UU Penyadapan tersendiri atau UU KPK tidak direvisi memasukkan hukum acara penyadapan, maka tindakan pe nyadapan dan OTT KPK mengandung cacat hukum dan batal demi hukum (van rechtswege nieteg).

Akibatnya, bukti-bukti yang diperoleh dari dan/atau berasal dari penyadapan dan OTT KPK tidak bisa dijadikan bukti di muka pengadilan atau inadmissible evidence. Atas dasar hal tersebut berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP, maka penyadapan yang dilakukan melalui pengintaian dan OTT KPK sebelum UNCAC 2003 berlaku sebagai hukum positif, tidak memiliki alas hukum yang sah. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyadapan tanpa tata cara yang benar hanya cukup dengan SOPKPK dilanjutkan dengan pengintaian dan OTT KPK selama ini dalam praktik melanggar, baik hukum nasional maupun hukum internasional.

Dua kekeliruan Prof Eddy dalam menyikapi ketentuan Pasal 50 UNCAC 2003 Bab IV Kerjasama Internasional, yaitu pertama, bahwa ratifikasi UNCAC 2003 dipandang ketentuan berlaku serta-merta menjadi hukum positif. Konten pasal a quo itu sendiri justru memberikan sinyal bahwa prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan tindakan penyadapan wajib dikedepankan prinsip due process of law, prinsip praduga tak bersalah dan the right to privacy setiap orang agar tetap dilindungi, bukan sebaliknya. Kalimat efektivitas pada awal kalimat Pasal 50 UNCAC 2003 adalah merupakan tujuan bukan sarana untuk mencapai tujuan.

Prinsip kehati-hatian dan perlindungan hak asasi tersangka juga dicantumkan dalam Pasal 65 Bab VII UNCAC 2003 tentang Ketentuan Penutup yang menyatakan: (1) Each State Party shall take the necessary measures, including legislative and administrative measures, in accordance with fundamental principles of its domestic law, to ensure the implementation of its obligation under this Convention; (2) Each State Party may adopt more strict or severe measures than those provided for by this Convention for preventing and combating corruption.

Dua ayat dari Pasal 65 menegaskan: Pertama, bahwa setiap negara peserta/peratifikasi konvensi ini wajib (shall)melakukan langkah legislasi dan administrasi sejalan dengan prinsip fundamental dari hukum nasional masing-masing untuk menjamin implementasi kewajiban yang diletakkan dalam konvensi. Kedua, setiap negara peserta/peratifikasi boleh (may) mengadopsi tindakan yang tegas atau keras dari apa yang diperbolehkan konvensi untuk tujuan pencegahan dan penindakan korupsi, tetapi tetap harus didasarkan pada alas hukum yang sah.

Dua kata kunci dalam setiap perjanjian internasional yang penulis ketahui, yaitu penggunaan kalimat “shall” dan “may” atau “shall adopt” dan “shall consider adopting.” Dalam praktik negosiasi, draf suatu konvensi perdebatan mengenai kalimat-kalimat tersebut telah menyita banyak waktu dan energi anggota delegasi karena merupakan kalimat yang strategis dan berdampak signifikan bagi kepentingan setiap negara peserta konvensi. Setiap konvensi internasional dipastikan menggunakan bahasa diplomatik (diplomatic language). Setiap keputusan dalam negosiasi tidak bersifat unilateral, melainkan hasil negosiasi antarnegara yang berasal dari berbagai sistem hukum yang berbeda-beda untuk tujuan menemukan “common denominator” di antara peserta konvensi.

Termasuk juga Pemerintah Indonesia yang ketika itu diwakili penulis sebagai ketua delegasi Pemri (alternate) pembahasan sidang negosiasi draft text UNCAC 2003. Intinya, ketentuan setiap konvensi internasional mengikat penuh terhadap setiap negara peratifikasi, tetapi implementasi konvensi sangat tergantung pada sistem hukum yang berlaku di masing-masing negara.

Ketiga, Prof Eddy kurang memahami bahwa UNCAC 2003 termasuk “reserved convention” yang berbeda dengan Statuta ICC (1998) yang merupakan “repressive convention” dan “nonreserved convention.” Hal ini di tegaskan dalam Bab VII Klausula Penutup Pasal 67 paragraf 3 yang menyatakan: “this Con vention is subject to ratification, acceptance or approval…” Dalam posisi UNCAC 2003 dengan karakter yang nonrepressive measures dan konvensi yang boleh direservasi negara peserta menunjukkan bahwa dasar kekuatan mengikat UNCAC 2003 sangat lemah terutama ditinjau dari aspek hubungan kerja sama internasional.

Selain itu, harus diketahui bahwa negara peserta UNCAC 2003 telah sepakat untuk melaksanakan two-pronged approachdalam pemberantasan korupsi, yaitu pencegahan (BAB yang ditempatkan pada Bab II dan kriminalisasi dan penegakan hukum pada Bab III). Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka pola penindakan (penegakan hukum) bukan lagi andalan utama dalam pemberantasan korupsi. Pola pendekatan inilah yang dianut dalam UU KPK khusus Pasal 6 sampai dengan Pasal 12, UU KPK karena dipercaya bahwa pencegahan yang diabaikan berarti menambah/memperberat beban penindakan karena selalu tidak terbangun sistem penyelenggaraan negara yang sehat dan bebas KKN.

Contoh China sejak tahun 2010 telah mulai membangun sistem pencegahan yang andal didukung dengan teknologi IT canggih dengan mengambil model Korea Selatan dan KPK dibubarkan dan diganti Ombudsman serta fungsi penyidikan dan penuntutan dikembalikan ke instansi masing-masing.

Keempat, soal analogi, tidak ada komentar atas penjelasan Prof Eddy mengenai pro atau kontra pada analogi yang membentuk tindak pidana. Karena Prof Eddy sendiri telah menyatakan sikapnya sebagaimana telah diuraikan dalam artikelnya. Dalam praktik peradilan di Indonesia sepanjang yang diketahui penulis, telah ada upaya menggunakan tafsir analogi dalam kasus persetubuhan dengan janji untuk dikawin dan tidak terjadi perkawinan sehingga atas inisiatif Hakim Bismar Siregar, perbuatan laki-laki yang bersangkutan digolongkan ke dalam delik penipuan dimana kalimat “barang” dipersamakan dengan “keperawanan” dari korban.

Namun, kemudian MARI telah menolak dan membatalkan putusan Hakim Bismar sehingga belum ada yurisprudensi tetap MARI yang menghalalkan tafsir analogi. Fokus diskusi selama ini dengan Prof Eddy adalah tentang penerapan/pelaksanaan Pasal 12 UU KPK khusus tentang wewenang penyadapan dan OTT KPK bukan tafsir terhadap ketentuan tentang penyadapan yang dilanjutkan dengan tindakan OTT KPK.

Prof Eddy juga mengkritisi penulis mengenai wewenang KPK melakukan penyadapan tanpa mengatur tentang tata caranya. Lazim dan telah diatur dalam UU RI Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa pelaksanaan teknis diatur di dalam antara lain peraturan pemerintah.

Sumber : Koran SINDO, 16 Oktober 2017

0 komentar:

Posting Komentar