Rabu, 22 November 2017

PROSES HUKUM KETUA DPR



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Ketua DPR Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan KTP elektronik. Sebelumnya, penetapan Novanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dibatalkan lewat putusan praperadilan PN Jakarta Selatan. Kali ini bahkan Novanto ditahan karena beberapa kali mangkir atas panggilan KPK, baik dalam kapasitasnya sebagai saksi maupun sebagai tersangka dalam kasus tersebut.


Sebenarnya proses hukum terhadap Ketua DPR bukan hal baru. Beberapa tahun silam, Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, pernah terbelit kasus korupsi. Bedanya, Tandjung secara gentlemen menghadapi proses hukum tersebut dengan tenang. Mulai dari penahanan oleh Kejaksaan Agung sampai pada putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Tandjung menghirup udara bebas setelah MA dalam pemeriksaan kasasi memutus bebas dari segala dakwaan meski seorang anggota majelis hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). 

Menyesatkan 

Ada beberapa isu terkait proses hukum terhadap Novanto. Pertama, putusan praperadilan yang telah membatalkan penetapan status Novanto sebagai tersangka beberapa waktu lalu. Pada hakikatnya, pemeriksaan praperadilan hanya terkait hal-hal bersifat formal menyangkut sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Artinya, pemeriksaan praperadilan tidak masuk pada pokok perkara. 

Jika dikaitkan enam parameter pembuktian-(teori pembuktian; alat-alat bukti; cara menemukan, mengumpulkan dan menyampaikan bukti di pengadilan; beban pembuktian; bukti minimum; dan kekuatan pembuktian)-pemeriksaan praperadilan di Indonesia hanya merujuk pada alat-alat bukti dan bukti minimum. Artinya, dalam penetapan tersangka, apakah alat bukti yang dipunyai dan apakah telah memenuhi minimum pembuktian untuk memproses suatu perkara. 

Berbeda dengan praperadilan di negara-negara yang menjunjung tinggi proses hukum yang benar dan adil (due process of law), selain alat-alat bukti dan bukti minimum, maka cara menemukan, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti di pengadilan (bewijsvoering) juga jadi obyek praperadilan. Karena itu, jika suatu bukti diperoleh secara ilegal akan menggugurkan perkara (unlawful legal evidence). Namun, di Indonesia, perihalbewijsvoering ini tidak diatur karena KUHAP yang dijadikan landasan beracara, sementara sebagian besar kewajiban dan perintah yang terdapat di dalamnya bersifat lex imperfecta (hukum tanpa sanksi atau akibat yang jelas). 

Celakanya, pascaputusan praperadilan Novanto ada praktisi hukum-bahkan ada guru besar hukum pidana-yang menyatakan Novanto tidak bisa lagi dinyatakan sebagai tersangka dengan merujuk pada asas ne bis in idem. Jika pernyataan ini dikemukakan oleh seorang praktisi hukum, kiranya dapat dipahami karena kapasitas intelektual yang kurang memadai. Akan tetapi, jika pernyataan ini dikemukakan oleh seorang guru besar hukum pidana, sungguh sangat menyesatkan. 

Asas ne bis in idem yang merujuk pada adagium nemo debet bis vexari, pada intinya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama (Pasal 76 KUHP). Syarat utama ne bis in idem harus ada res judicata in criminalibuis. Artinya, telah ada pemeriksaan pokok perkara, sudah ada putusan terhadap pokok perkara tersebut dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Padahal, pemeriksaan praperadilan tidak meliputi pemeriksaan pokok perkara. 

Dengan demikian, penetapan kembali seseorang sebagai tersangka bukanlah ne bis in idem, kendati ada putusan praperadilan sebelumnya yang telah membatalkan status penetapan tersangkanya. Tegasnya, proses hukum terhadap orang tersebut masih dapat dilakukan. 

Hak imunitas yang salah kaprah 

Kedua, masalah imunitas. Beberapa kali Novanto tak memenuhi panggilan KPK dengan alasan memiliki kekebalan hukum atau imunitas dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR. Perlu dipahami bahwa dalam hukum pidana pada dasarnya tak mengenal imunitas. Hal ini didasarkan pada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi, yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan pada orang tersebut untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat, yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. 

Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Seorang kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah teritorial negaranya. Hal ini berdasarkan postulat par in parem non habet imperium; bahwa kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum negara lain. Demikian pula duta besar, konsul, dan diplomat yang punya imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik. 

Selain itu, harus diketahui bahwa korupsi adalah kejahatan internasional sebagaimana tertuang dalam United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pada hakikatnya korupsi sebagai kejahatan internasional bagian dari hukum pidana internasional substantif, yang salah satu karakteristiknya-menurut Bruce Broomhall-bahwa pertanggungjawaban pidana individu tidak bergantung pada jabatan yang melekat pada seseorang. Tegasnya, tanggung jawab individu tidak mengenal relevansi jabatan resmi. 

Adanya argumentasi bahwa Ketua DPR memiliki hak imunitas dan karena itu tak dapat diproses hukum secara serampangan, memperlihatkan ketidakpahaman atas penegakan hukum pemberantasan korupsi. Sebagai kejahatan luar biasa yang berdimensi internasional, proses pengusutan terhadap saksi maupun pelaku tidak mengenal relevansi jabatan resmi. 

Ketiga, upaya hukum untuk melawan penetapan tersangka Novanto dengan cara mengajukan praperadilan dan uji materi beberapa pasal ke Mahkamah Konstitusi. Kiranya upaya tersebut tidak serta-merta dapat menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung. Bahkan, upaya praperadilan dapat gugur seketika jika pokok perkara mulai diperiksa oleh pengadilan. Demikian pula uji materi yang diajukan ke MK bukanlah sengketa prayudisial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 KUHP, yang dapat menunda penuntutan pidana. Berdasarkan memorie van toelichting, sengketa prayudisial yang dimaksud adalah sengketa kepemilikan dalam ranah keperdataan atau sengketa administrasi dalam konteks tata usaha negara dan bukan pengujian suatu norma. Pengajuan uji materi ke MK tidak menghentikan proses hukum pidana telah diejawantahkan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. 

Jadi, alasan untuk tak menghadiri panggilan KPK karena mengajukan gugatan praperadilan dan uji materi ke MK, lebih pada logika jungkir balik untuk menghindari proses hukum. Bukan atas dasar pemikiran normatif sistematis terhadap prinsip dan asas hukum yang benar.

Sumber : Harian KOMPAS, Kamis/ 23 Nov 2017

0 komentar:

Posting Komentar