Jumat, 17 November 2017

Membangun Karakter Hukum yang Efesien, Bermanfaat & Menyejahterakan



Oleh : Romli Atmasasmita
(Guru Besar Emeritus FH Universitas Padjajaran Bandung)

Seorang Minah telah men­cu­­ri tiga buah kakao di sua­­tu tempat di Jawa Te­ngah dipastikan ancaman h­u­ku­m­an maksimal 5 tahun (Pasal 362) dan semua unsur tindak pi­dana pencurian dipenuhi. Di te­m­pat lain, A pemegang saham ma­yoritas melaporkan B pe­me­gang saham minoritas dengan pe­malsuan surat (Pasal 263 dan Pa­sal 266 KUHP). Kemudian j­u­ga ada seorang anak telah m­e­nun­t­­ut kerugian kepada ibunya de­­ngan tuntutan sebesar Rp1 mi­­liar karena ibu lalai m­­e­nye­le­saikan masalah warisan. Selain ­itu, ada perkara perceraian an­ta­ra suami dan istri sampai pada tingk­at kasasi di MA.

Semua contoh tersebut ada­lah perkara hukum dalam ke­nya­taan kehidupan masyarakat ki­ta saat ini, dan fakta me­nun­juk­kan tidak ada batas lagi an­ta­ra masalah pribadi dan masalah ke­pentingan umum. Bahkan, se­orang bendahara atau pim­pin­an proyek di suatu ke­men­te­ri­an/lembaga (K/L) telah di­tun­tut melakukan tindak pidana ko­rupsi karena telah me­nim­bul­kan kerugian negara yang di­s­e­­babkan kesalahan ad­mi­nis­tra­­­si saja (ma­la­d­mi­nis­tra­si)– pe­­­nunjukan pemenang tender ti­d­ak memperhatikan k­ete­n­tu­an mengenai pengadaan barang dan jasa. 

Kenyataan praktik hukum di atas tentu telah menimbulkan ke­resahan dalam pe­nye­leng­ga­ra­an birokrasi dan juga ke­re­sah­an kalangan pebisnis, terutama ka­langan ahli hukum. Bagi ka­lang­an masyarakat dan bi­ro­kra­si, praktik hukum tersebut me­nim­bulkan ketidakpastian ­me­nge­nai batas-batas kesalahan ter­kait kewenangan ad­mi­nis­tra­tif dan kesalahan terkait per­buatan pelanggaran hukum yang bertujuan pe­nyeleng­ga­ra­an tertib administrasi (hukum ad­m­inistrasi), melindungi ke­pen­tingan masyarakat luas (hu­kum pidana), dan melindungi ke­pentingan orang perorangan (hu­kum perdata).

Akar masalah praktik hu­kum yang telah berjalan sejak In­donesia merdeka, khususnya ta­hun 1946 dan 1958, dalam la­pang­an hukum pidana telah meng­akibatkan semua per­soal­an di atas (selalu) berakhir de­ngan penghukuman alias men­ja­­lani pidana di lembaga pe­ma­sya­­rakatan. Sangat jarang se­kali mung­kin hanya 0,5% yang ber­akhir dengan pi­da­na ber­sy­­a­rat alias tidak per­lu masuk penjara.

Kerugian materiil dan im­­­ma­terial dari peristiwa ini ada­lah terjadi ke­le­bih­an kapasitas di lembaga pe­ma­syarakatan de­ngan s­e­ga­la ek­ses negatifnya. Be­berapa di an­taranya adalah de­m­ora­li­sa­si seksual, pe­me­ras­an an­tar­peng­huni dan oleh ok­num pe­tu­gas la­pas, dan ma­l­nu­t­ri­si ka­re­na biaya ma­kan Rp15.000 per orang un­tuk 5-10 orang karena ke­lebihan ka­­pa­si­tas. Menurut in­formasi Men­­te­ri Hukum dan HAM, jum­lah na­ra­pidana dan ta­hanan te­lah men­capai 209.000 orang di se­­lu­ruh Indonesia.

Efek jera karena tuntutan pi­dana dan penghukuman juga ti­dak terjadi, sebab dalam praktik si­tuasi sosial ekonomi yang ren­dah menyebabkan residivisme ting­gi. Begitu juga bagi ka­lang­an sosial ekonomi menengah ke atas, efek jera hanya sekilas k­a­re­na sikap permisif masyarakat ter­hadap mereka sangat tinggi. Ra­sa malu tidak terjadi, jika pun ada sangat rendah dan bersifat se­mentara apalagi jika pe­ne­tap­an tersangka karena rekayasa atau termasuk target operasi (TO). Penelitian penulis di 22 ka­bupaten/kota se-Jawa Barat ter­dapat angka kejahatan rata-rata (crime rate) yang tinggi di dae­rah kabupaten/kota karena tingk­at kemiskinan tinggi (gini ratio).

Terlepas dari semua fakta dan konstatasi tersebut, kajian pe­nu­lis telah menemukan pe­nye­bab utama kegaduhan pe­ne­gak­an hukum pidana dalam prak­tik yang terletak pada pe­ma­haman me­ngenai aliran po­si­tivisme hu­kum. Pertama, sum­ber hukum satu-satunya ada­lah hukum ter­tulis. Kedua, asas hukum pidana se­lain asas le­galitas juga dalam per­­tang­gung­jawaban pidana ha­­nya di­akui satu-satunya asas hu­­kum, ya­itu asas tiada pidana tan­­pa ke­salahan (geen straf zon­­der schuld).

Walaupun da­lam norma KUHP dan di­ikut­kan doktrin hu­­kum pidana bah­wa selalu ter­­da­pat alasan-alas­an pemaaf dan­ a­lasan pem­be­­n­ar dalam me­nen­tukan siapa ber­­tang­gung ja­wab atas tindak pidana yang telah terjadi, te­ta­pi pa­ra­me­ter (thre­s­hold) ada tidaknya p­e­ne­gakan hukum pidana ada­­lah harus ada seseorang yang ber­salah melakukan tin­dak pi­da­na. Seseorang tersebut (ha­­rus) dihukum karenanya di­tem­­pat­kan di lembaga pe­ma­sya­­ra­kat­an. Bahkan, pe­nem­pat­an ter­sangka di dalam ta­han­a­n (ru­tan) pada praktiknya di­­pan­dang sebagai ”panjar hu­kum­an”(yang bakal diderita).

Praktik proses peradilan pi­dana telah menghasilkan per ta­­hun kurang lebih 190.000 na­­ra­pi­­­da­na/tahanan, se­dang­kan per­­ka­ra ringan (tipiring) se­­ba­nyak 60.000 khusus di wilayah Pol­­da Me­tro Jaya. Bi­a­ya perkara ti­­piring ada­lah Rp125.000 per­kara dan per­ka­ra tipikor Rp250.000.000-Rp500.000.000. Sedangkan bia­­y­­a makan narapidana (ba­ma) per ha­ri/per orang sebesar Rp15.000 un­tuk di Pulau Jawa dan di luar Pu­lau Jawa men­ca­pai Rp20.000-30.000. Dengan jum­­lah nara pi­da­na rata-rata 100.000 na­ra­pi­da­na, maka da­na APBN yang telah di­­ke­luar­kan sebesar Rp1.500.000.000.000 per ha­ri. Ji­­ka hukuman harus di­ja­lani se­tiap narapidana rata-ra­ta satu ta­hun, maka dana APBN men­ca­pai Rp547.500.000.000, di­­pa­s­ti­kan hu­kuman lebih dari sa­­tu tahun da­na APBN men­ca­pai tri­liunan ru­piah, be­lum ter­­ma­suk sarana dan pra­sa­ra­na fisik ser­ta biaya pe­meli­h­araan ge­dung lem­ba­ga pemasyarakatan.

***
Beranjak da­­ri fakta ter­se­but, da­pat di­sim­pul­­kan bahwa hu­kum pi­dana yang d­i­te­rap­kan da­­lam praktik ke­hi­dupan ma­sya­rakat In­do­nesia dengan fil­o­so­­fi penjeraan se­mata-mata (per­to­bat­an) sangat tidak efi­­sien alias boros dan tidak mem­be­ri­kan kemaslahatan ter­baik un­tuk ma­sya­r­a­kat. Sedangkan se­mua dana APBN yang di­be­­lan­jakan berasal dari 90% ha­s­il pu­ngutan pajak rakyat. M­­e­­nga­pa dana sebanyak itu ti­dak di­gu­na­kan untuk fasilitas dan pe­la­yan­an, pendidikan dan ke­se­hat­an, serta kegiatan m­a­syarakat dan pemerintah yang kon­tri­butif membangun ke­­se­jah­te­ra­an rakyat?

Contoh lain, pem­be­ran­tas­an korupsi yang direvitalisasi se­jak tahun 1999 diperkuat pem­b­entukan KPK dan UU Anti Pen­cucian Uang, dalam kurun wak­tu kurang lebih lima tahun 2009-2014 telah berhasil me­ngem­balikan kerugian negara ku­rang lebih Rp10 triliun dari ins­t­ansi kepolisian, kejaksaan, dan KPK. KPK hanya berhasil me­ngembalikan kerugian ne­ga­ra senilai Rp728 miliar dalam ku­run waktu tersebut di atas, se­dangkan dana APBN untuk KPK per tahun Rp3 triliun.

Secara keseluruhan dana APBN untuk ketiga institusi pe­ne­gak hukum tersebut kurang le­bih menghabiskan dana Rp50 tri­liun per tahun. Dari sisi pen­de­katan cost and benefit ratio (CBR) semakin nyata bahwa be­ker­janya hukum pidana dengan tu­juan penjeraan ”besar pasak da­ri tiang” bahkan nyaris bang­k­rut. Analisis ini pasti me­nim­bul­kan reaksi dari penganut pa­ham Kantianisme (Imannuel Kant) yang mengutamakan mo­ra­litas individual dengan teo­ri ”psy­cho­lo­gische dwang ” yang meng­an­dal­kan penjeraan de­ngan dasar fi­losofi klasik, ”utang mata ba­yar mata dan utang gigi bayar gi­gi” (an eye for an eye, a tooth for a tooth) atau lex talionis.

Paham kekinian yang di­do­mi­nasi aliran pragmatik legal rea­lism and critical legal studies (CLS) justru mempertanyakan va­liditas dan akuntabilitas pa­ham aliran klasik tersebut. Ka­re­na telah terbukti tingkat re­si­vi­disme semakin tinggi dan bia­ya yang diperlukan semakin ting­­gi pula, sedangkan dana APBN yang digunakan berasal da­ri pajak yang dibebankan ke­pa­da masyarakat. Sejatinya, ha­sil pungutan pajak tersebut un­tuk kepentingan pelayanan ma­sya­rakat di bidang kesehatan, pen­didikan, dan kesejahteraan ma­syarakat pada umumnya.

Beranjak dari fakta hasil ker­ja hu­kum pidana yang bertu­ju­an pen­jeraan, diharapkan part­i­si­pa­­si masyarakat terhadap ki­ner­ja penegakan hukum se­h­a­ru­­s­nya lebih rasional dan me­m­pe­r­tim­bangkan factor cost and be­ne­fit daripada reaksioner dan spon­­tan serta emosional tanpa p­­e­duli kemanfaatan lebih besar b­a­­gi kehidupan masyarakat luas. Alas kemanfaatan lebih be­sar ba­gi masyarakat memiliki jus­t­i­fi­ka­si dari sudut tujuan hu­kum itu sen­diri yang sering di­abai­kan, bah­kan dilupakan jus­tru oleh k­a­lang­an hukum sen­diri, yaitu tu­ju­an kemanfaatan (utility) selain ke­pastian dan keadilan.

Kepastian dan keadilan se­ring dipertentangkan, ter­uta­ma kalangan ahli hukum, tetapi me­reka melupakan tujuan ke­man­faatannya. Karena mereka ti­dak mengetahui sesung­guh­nya apa dan bagaimana tujuan ter­sebut bisa dicapai. Mengapa? Hal ini disebabkan ahli hukum ti­dak memiliki pengetahuan eko­­nomi yang kuat memuat prin­sip maksimisasi (maxi­mi­za­tion), efisiensi (efficiency), dan ke­seimbangan (equilibrium), ti­ga prinsip ekonomi dalam k­e­hi­dup­an masyarakat.

Bagi para ahli hukum, tem­pat mencari dan menemukan ke­adilan adalah di sidang peng­adil­an karena hakim sebagai pe­mu­tus. Sedangkan dalam kon­teks Pancasila dengan asas mu­sya­warah dan mufakat, tempat men­cari dan menemukan ke­adil­an pada kesepakatan masing-masing pihak yang ber­seng­keta untuk mencari cara un­tuk berdamai. Tempat ke­adil­an dalam konteks Pancasila ada­lah pada kehendak masing-masing individu untuk sepakat men­cari solusi perdamaian.

Filosofi hukum dengan pa­ham individualisme-lib­er­al­is­me ber­sendikan konflik se­ka­li­gus so­lusi dari konflik, se­dang­kan Pan­casila bersendikan ke­go­tong­royongan sekaligus per­da­mai­an. Kekeliruan pe­m­a­ham­­an m­e­­ngenai fungsi dan pe­ran­an hu­kum pidana dalam fi­lo­so­fi Pan­casila inilah telah men­je­ru­mus­kan kehidupan ma­sya­ra­kat In­donesia ke lembah ke­hi­na­an. Tam­pak kasatmata kon­di­si ini te­lah melahirkan banyak ge­nerasi ­pe­cundang dari pah­la­wan, ter­ma­suk kaum inte­lek­tual yang di­ma­sukkan ke pen­ja­ra. Semua ke­adaan tersebut me­ru­p­akan ba­gi­an dari tanggung ja­wab kita telah me­lahirkan ge­ne­rasi muda yang te­gar, kokoh, dan percaya diri se­ba­gai bangsa Indonesia.

Solusi yang penulis ta­war­kan u­n­tuk politik hukum pi­da­na In­do­nesia di masa men­da­tang ada­l­ah asas tiada pidana tan­pa ke­sa­lah­an (geen straf zon­der schuld) per­lu dilengkapi de­ngan asas tia­da kesalahan tanpa ke­man­faat­an (geen schuld zon­der nut). Inti da­ri asas hukum pi­d­ana baru yang diusulkan, jika se­seorang ter­b­ukti bersalah tin­dakan apa­kah yang paling tepat, efi­sien, dan bermanfaat bagi baik d­iri­nya, masyarakat dan negara?

Sumber : Koran SINDO, Rabu/ 08 Nov 2017

0 komentar:

Posting Komentar