Selasa, 19 Juni 2018

"LEX SPECIALIS" DALAM HUKUM PIDANA



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)


Dirumuskannya beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam Rancangan Undang_undang Hukum Pidana, telah menimbulkan kontroversi sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi menyurati Presiden agar tidak memasukan delik korupsi dalam RUU HP, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga meminta Presiden untuk tidak memasukan pasal-pasal terkait pelanggaran Berat HAM ke dalam RUU HP.


Alasan Yang di kemukakan KPK dan pegiat angtikorupsi ataupun Komnas HAM pada dasanya sama, Bahwa korupsi dan pelanggaran Berat HAM adalah tindak pidana khusus sehingga jika di masukan ke dalam RUU HP, kekhususannya menjadi hilang. Selain itu, masuknya delik korupsi dalam RUU HP dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan cenderung melemahkan pemberantasan korupsi terkait kewenangan KPK.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pimpinan KPK dan pegiat antikorupsi ataupun Komnas HAM, Ketidak pahaman terhadap konsep lex spesialis (aturan khusus) dalam hukum pidana secara utuh telah menimbulkan prasangka berlebihan, Namun, penulis menganggap prasangka tersebut lebih pada sebuah ikhtiar karena acapkali KPK diganggu oleh kaki tangan koruptor yang ingin melemahkan bahkan membubarkan KPK.

Tulisan singkat ini mencoba mengulas lex spesialis dalam hukum pidana yang memberikan landasan argumentasi teoretik mengapa delik korupsi, termasuk pelanggaran berat HAM, tindak pidana narkotika, dan tindak Pidana terorisme, perlu di atur dalam RUU HP.

Tataran Teoretik

Setiap mahasiswa fakultas hukum pada semester pertama pasti diajarkan tiga asas preferensi dalam dogmatik hukum. Pertama, lex superior derogat legi inferior ( aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan lebih rendah). Kedua, lex posterior derogat legi priori ( aturan yang mengesampigkan aturan terdahulu). Ketiga, lex spesialis derogat legi generali, (aturan khusus mengesampingkan aturan umum).

Bagi negara-negara yang mengikuti tradisi Eropa Kontinental, termasuk Indonesia, pengaturan tindak pidana dilakukan dengan sistem kodifikasi, yaitu memasukan semua tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kecuali terhadap tindak pidana militer dan tindak pidana pajak yang pengaturanya di luar KUHP.

Dalam Doktin hukum pidana militer disebut sebagai ius speciale karena pengenaan hukum didasarkan pada offender dan bukan offences, Artinya, jika ia anggota militer, kendatipun melakukan pelanggaran umum tetap diadili dengan menggunakan hukum militer.

Demikian juga dengan hukum pidana pajak yang dalam konteks doktrin dikenal dengan istilah ius singular karena memiliki sifat dan karakteristik yang lebih bernuansa ekonomis dalam rangka memperoleh pendapatan negara yang sebesar-besarnya.

Dalam perkembangan hukum pidana, banyak kejahatan yang timbul kemudian pengaturannya dilakukan diluar KUHP sebagai lex spesialis, Dikatakan khusus sebab ketentuan materiilnya menyimpang dari KUHP atau ketentuan formalnya menyimpang dari Kitab Undang undan ukum Acara Pidana (KUHAP).

Sementara asas lex spesialis derogat legi generali dalam hukum pidana juga mengalami perkembangan, Ada yang dikenal dengan lex spesialis systematis dan lex consumen derogat legi consumte, Syarat suatu hukum pidana disebut sebagai hukum lex spesialis systematis, selain hukum pidana materiil dan formalnya menyimpang, adresat (subyek hukum yang dapat dikenai aturan) terebut juga bersifat khusus atau delicta propria.

Salah satu hukum pidana khusus yang memenuhi syarat lex specialis systematis, selain hukum materil dan formalnya menyimpang, adresat dalam hukum pidana pajak hanyalah wajib dan fiscus ( petugas pajak). Sementara lex consumen derogat legi consumte secra harfiah berarti hukum yang satu mengabsorsi hukum yang lain. Disini suatu perbuatan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam beberapa ketentuan hukum pidana khusus, yang faktanya lebih dominan dalam kasus tersebut.

Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, hampir 200 UU yang dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus secara garis besar dibagi jadi hukum pidana khusus internal (hukum pidana khusus berupa UU pidana ) dan hukum pidana khusus eksternal ( hukum pidana khusus bukan hukum UU pidana).

Dari segi kuantitas, hukum pidana khusus internal sangatlah terbatas, termasuk di dalamnya antara lain tindak pidana korupsi, pelanggaran berat HAM, dan terorisme, Adapun hukum pidana eksternal pada dasarnya adalah hukum administrasi yang diberi sanksi pidana.

Argumen Teoritik

Berkaitan dengan pembaruan kodifikasi hukum pidana dalam bentuk RUU HP, politik, hukum pidana yang dipilih adalah rekodifikasi, konsolidasi dan harmonisasi. Oleh karena itu, dalam rangka rekodifikasi beberapa pasal yang bersifat core crime dari hukum pidana khusus internal dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Sebab, jika hukum pidana khusus internal tidak dimasukkan sama sekali dalam RUU KUHP, yang terjadi adalah dekodifikasi dan hal itu bertentangan dengan politik hukum pidana yang menganut rekodifikasi dan konsolidasi.

Dimasukannya beberapa hukum pidana khusus internal dalam RUU HP sama sekali tidak menghilangkan sifat kekhususan dari tindak pidana tersebut, apalagi menghilangkan kewenangan lembaga-lembaga khusus, seperti KPK, Komnas HAM, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme. Hal ini didasarkan pada argumentasi teoritik sebagai berikut.

Pertama, delik korupsi, pelanggaran berat HAM, terorisme, dan narkotika berada dalam bab tindak pidana khusus.

Kedua, substansi delik- delik a quo hanyalah bersifat core crime dan tidak menghapuskan UU yang masih berlaku sekarang.

Ketiga, khusus mengenai delik korupsi, yang di reformulasi hanyalah pasal 2 ayat (1), pasal 3, pasal 5, Pasal 11, dan pasal 13. Padahal, berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi UU (Tipikor ), ada 30 perbutan yang dikualifikasikan sebagai korupsi, sementara yang direformulasi dalam RUU HP hanyalah lima ketentuan. Artinya, 25 ketentuan tindak pidana korupsi lain yang ada dalam UU a quo masih tetap berlaku.

Keempat, dengan berlakunya lima ketentuan baru yang ada dalam RUU HP, secara mutatis mutandis, lima ketentuan yang sama dalam UU tipikor tidak lagi berlaku sesuai dengan asas preferensi lex posterior derogat legi priori sebagaimana yang telah di singgung pada awal tulisan, Artinya, ada kepastian hukum dalam lapangan penuntutan pidana, Meski demikian, hal itu tidaklah menghilangkan kekhususan delik korupsi meskipun ada dalam RUU HP karena sesuai dengan prinsip rubrica est lex, ketentuan delik korupsi berada dalam bab tindak pidana khusus.

Kelima, berdasarkan ketentuan Pasal 729 RUU HP, berikut penjelasannya yang diformulasi pada tanggal 5 Juni 2018, secara expressive verbis, kewenangan KPK, Komnas HAM, BNN, dan lembaga-lembaga lain, masih tetap berlaku, termasuk melakukan proses hukum terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam RUU HP.

Keenam, terkait sanksi pidana. Di beberapa delik korupsi dalam RUU HP, ancaman maksimum penjara 20 tahun. Hanya saja, terkait ancaman minimum penjara, ada yang lebih ringan, tetapi ada juga yang lebih berat, apabila dibandingkan dengan UU Tipikor yang ada sekarang, Intinya, pencantuman ancaman pidana didasarkan pada rasionalitas dengan sentencing standard yang jelas.

Ketujuh, mengenai permufakatan jahat, percobaan, dan pembantuan masih tetap sama dengan UU yang sekarang ada, Artinya, pelaku permufakatan jahat, percobaan dan perbantuan tetap diancam dengan pidana yang sama dengan perbuatan selesai.

Sumber : Harian KOMPAS, 12 Juni 2018

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name

    BalasHapus