Rabu, 04 Juli 2018

MEMAHAMI DELIK KORUPSI DI RANCANGAN KUHP



Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Koran Tempo edisi 26 Juni 2018 menerbitkan artikel Rasmala Aritonang. Artikel tersebut menanggapi tulisan saya di harian Kompas dan pernyataan saya pada 2013. Kurang dari lima tahun silam, saya pernah dimintai pendapat oleh Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat soal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat itu sedang dibahas.

Harus diakui, ketika itu politik hukum pidana dalam pembaruan RKUHP berada di persimpangan jalan: apakah akan memilih dekodifikasi atau rekodifikasi serta apakah akan memilih konsolidasi dalam pengertian pembaruan atau sekadar revisi terhadap KUHP buatan Hindia Belanda.

Di tengah kegalauan konsep itu, saya berpendapat, sebaiknya, untuk menjamin kepastian, hukum pidana khusus internal (korupsi, pencucian uang, terorisme, pelanggaran berat hak asasi manusia, dan narkotik) tetap berada di luar KUHP. Dengan cara itu, eksistensi lembaga-lembaga khususnya, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak diganggu-gugat.

Pada pertengahan 2017, saya diminta menjadi Tim Ahli RKUHP. Ketika itu, pilihan konsep pemerintah tegas dan jelas bahwa KUHP baru merupakan dekolonisasi, rekodifikasi, harmonisasi, dan konsolidasi. Dalam teori kebijakan pidana, rekodifikasi mengandung makna membukukan kembali dalam satu kitab undang-undang berbagai hukum pidana khusus internal yang tumbuh dan berkembang setelah KUHP buatan kolonial Belanda terbit. Agar tidak menghilangkan sifat kekhususan dari hukum pidana khusus internal, maka yang diatur dalam RKUHP saat ini hanyalah pidana pokok (core crime). Itu sebabnya, hanya lima ketentuan yang diatur dalam RKUHP yang secara mutatis mutandis (dengan perubahan seperlunya) akan mencabut ketentuan yang sama dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UUTPK).

Rasmala menyatakan tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat. Tapi, pada bagian lain, ia mengelu-elukan pendekatan retributif. Tujuan hukum semacam itu adalah inti dari teori utilitas. Bila demikian, seharusnya ia tidak mengedepankan pendekatan retributif dalam penjatuhan sanksi terhadap pelaku korupsi. Sejak kelahirannya, Jeremy Bentham-sebagai pencetus awal teori utilitarian-dalam konteks hukum pidana, telah menentang pendekatan retributif dan menyetujui pendekatan rehabilitatif, sebagaimana diajarkan Thomas Aquinas.

Selain itu, merujuk pada Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, pendekatan retributif tidak lagi dipilih. Paradigma hukum pidana telah berubah dari keadilan retributif menjadi keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Dalam konteks penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, keadilan korektif tetap menghukum pelaku, tapi sekaligus memperbaikinya sebagai tuntutan keadilan rehabilitatif dan mengembalikan kerugian kepada masyarakat sebagai korban korupsi yang merupakan pengejawantahan keadilan restoratif.

Ada beberapa hal lain mengenai RKUHP. Pertama, pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam keadaan tertentu tetap dipertahankan. Hanya, pidana mati dalam RKUHP tidak lagi sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus. Perubahan konsep pidana mati adalah untuk mengakomodasi kepentingan yang bertolak belakang. Di satu sisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan para pegiat hak asasi berteriak untuk menghapus pidana mati. Tapi di sisi lain, KPK dan aktivis antikorupsi tetap menghendaki ada ancaman pidana mati bagi koruptor. Tim perumus mencari jalan tengah dengan tetap mencantumkan pidana mati, tapi dijatuhkan dengan percobaan.

Kedua, terkait dengan sanksi pidana Tim Perumus menggunakan Modified Delphi System dengan tujuh kriteria. Konsekuensinya, bila disandingkan antara UUTPK dan delik korupsi dalam RKUHP, ada yang ancaman pidananya lebih ringan, tapi ada juga yang ancamannya lebih berat. Ketiga, mengenai aturan peralihan, rumusan Pasal 729 RKUHP tertanggal 5 Juni 2018 berikut penjelasannya telah menjamin keberadaan lembaga-lembaga khusus yang menegakkan hukum pidana internal, termasuk KPK, sehingga kita tidak perlu khawatir KPK akan kehilangan kewenangan.

Sumber : Koran TEMPO, Rabu 4 Juli 2018

0 komentar:

Posting Komentar