Minggu, 21 April 2019

MEMAHAMI KONSEP RUU HUKUM PIDANA


Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Rasmala Aritonang dalam artikel nya di KOMPAS pada 14 Juli 2018 sebanyak dua kali menyebut nama saya.

Pertama, berkaitan dengan tulisan saya di harian yang sama, 12 Juli 2018, dengan judul “Menjawab Keberatan KPK “. Kedua, terkait per nya - ta an saya pada 2013. Se benarnya terkait pernyataan ter sebut, pernah diungkap oleh Rasmala di Koran TEMPO , 26 Juni 2018, dan sudah saya jawab di media yang sama, 4 Juli 2018. Na mun, entah apa yang menjadi intensi Rasmala untuk mengulangi lagi penyataan saya tersebut. Oleh karena itu, saya merasa perlu menulis artikel ini agar tidak terjadi dis torsi informasi kepada publik. Kurang dari 5 tahun silam, saya pernah dimintai pendapat oleh Komisi III DPR terkait RUUHP yang saat itu sedang dibahas.

Harus diakui ketika itu politik hukum pidana dalam pembaruan KUHP berada di persimpangan jalan. Apakah akan memilih dekodifikasi atau kah rekodifikasi? Apakah akan memilih konsolidasi dalam pengertian renewal ataukah sekadar revisi terhadap KUHP buatan Hindia Belanda. Bahkan khusus terhadap ma suknya delik korupsi dari 10 pa sal dalam konsep tahun 2008 menjadi 15 pasal dalam konsep tahun 2012 mem perlihatkan ketidakjelasan konsep pada saat itu. Di tengah kegalauan konsep RUUHP ketika itu, saya berpendapat bahwa sebaiknya untuk menjamin kepastian, hu kum pidana khusus internal (korupsi, pencucian uang, terorisme, pelanggaran berat HAM, dan narkotika) tetap ber ada di luar KUHP.

Dengan begitu, eksistensi lembagalem baga khusus yang menegakkan hukum pidana internal, seperti KPK, PPATK, BNPT, Komnas HAM, dan BNN tidak diganggu gugat. Terlebih saat itu, selain RUUHP, pe me rintah juga sedang mengajukan RUU KUHAP. Kala itu, saya pun berpendapat bahwa kalau dimasukkan hukum pidana khusus internal dalam KUHP ha rus disertai dengan argu mentasi teoretik yang jelas, ja ngan sampai kejahatan korupsi setara dengan orang mencuri ayam. Demikianlah konteks pernyataan saya. Pada per tengahan 2017, saya diminta sebagai Tim Ahli yang menyusun RUUHP. Ketika itu, pilihan konsep pemerintah tegas dan jelas bahwa KUHP baru merupakan dekolonisasi, rekodifikasi, harmonisasi, dan konsolidasi.

Sebelum menanggapi lebih lanjut tulisan Rasmala, saya ingin mengutip suatu adagium yang berbunyi, “ad recte do cen dum oportet pri - mum inquirere nomina, quia re - rum cognito a nominibus rerum dependet .” Ada gium tersebut mengan dung kedalaman makna bahwa agar dapat me - mahami sesuatu, perlu di ke - tahui terlebih dulu mengenai istilah, asas, dan teori dasar sehingga men da pat kan pe - nge tahuan yang be nar. Terlebih dalam konteks per - debatan teoretik ilmiah, pe - mahaman secara utuh meng - enasi suatu konsep ilmu sa - ngat dibutuhkan. Tidak ha - nya de ngan membaca satudua re fe rensi, tapi dibutuh - kan ko n tem plasi mengenai apa yang dibaca dari berbagai referensi.

Dalam perdebatan ilmiah pula, selama memiliki konstruksi teoretik yang kokoh, terkadang pernyataan bersifat arogan di butuhkan sebagai shock therapy untuk membantah argumen tasi yang cenderung asal bunyi dengan dasar teori yang dang - kal. Dalam konteks pem ba - ruan hukum pidana, khu sus - nya da lam membangun sis - tem hu kum pidana yang baik dan be nar dalam suatu kitab undang-undang dikenal be - berapa isti lah. Pertama , ko di - fikasi yang berarti mem bu ku - kan berbagai aturan hukum pidana yang hi dup dalam masyarakat sebagai ciri khas sistem Eropa Kon ti nental pada aliran klasik. Ke dua, de - kodifikasi, yaitu peng aturan berbagai kejahatan di luar KUHP yang timbul setelah kodifikasi untuk menghadapi perkembangan hukum pidana yang masif.

Ketiga, reko - di fikasi, yakni menghimpun kem bali berbagai aturan hu - kum pidana yang timbul se te - lah kodifikasi ke dalam KUHP. Dalam perkembangan hu - kum pidana di Indonesia, ter - dapat kurang lebih 200 undang-undang sektoral yang pengaturan sanksi pi - dananya di luar KUHP. Ada yang me rupakan undangundang pi da na (hukum pi - dana khusus in ternal) dan ada yang bukan me rupakan undang-undang pi dana (hu - kum pidana eks ter nal). Da - lam konteks RUUHP, politik hukum pidana yang dipilih adalah reko difikasi. Artin ya, menghimpun kembali hukum pidana khusus internal antara lain korupsi, terorisme, pe lang garan berat HAM ke dalam KUHP.

Agar tidak men g - hilang kan sifat ke khususan dari hu-kum pidana khusus in ter nal, maka dalam reko di fi kasi yang diatur ha nyalah core crime -nya saja tan pa meng ha pus undangun dang yang ada, kecuali ter - hadap pasal-pasal yang di re visi. Dari segi pe ris tilahannya saja, Rasmala telah gagal pa ham dengan memberi judul pada ar - tikelnya “Kodifi kasi Jangan Ge - ga bah “, padahal yang dilakukan Tim Penyusun RUUHP bukan - lah kodifikasi melainkan reko - difikasi. Pada bagian lain tulisannya, Rasmala mengutip pendapat van der Vlies dalam Handboek Wetgeving terkait peralihan dari kodifikasi menuju modi fi kasi yang menyatakan bahwa membukukan aturan dalam kitab hukum banyak dilakukan pada abad ke-18 sampai ke-19, tetapi motif tersebut telah di tinggal - kan.

Tugas pembuat UU tidak lagi sekadar mengum pul kan dan membukukan, tetapi lebih ditujukan untuk me la ku kan perubahan sosial. Kalau saja Ras mala memahami kon sep mo difikasi secara benar da lam konteks criminal law policy theory seperti yang dikemu ka - kan Vlies, sesungguhnya mo di - fikasi pada hakikatnya adalah kodifikasi atau rekodifikasi de - ngan sistem terbuka. Artinya, core crime dari hukum pidana khu sus internal tetap di ma suk - kan dalam KUHP, tapi juga tetap memberlakukan UU khu sus - nya. Hal ini memang terjadi di banyak negara, seperti Pran cis, Jerman, Belgia, Kanada, dan Slovenia.

Dalam KUHP masingmasing negara ter se but meng - atur core crime de lik ko rup si di sam ping UU Ko rupsi yang tetap berlaku. Demikian pula da - lam RU U - HP kita yang sedang di susun. Rekodifikasi dilakukan dengan sistem ter - buka se ba gaimana termaktub dalam Pasal 205 dan aturan per - alihan be rikut pen je lasan nya. Selanjutnya 5 alasan KPK menolak masuknya delik ko - rupsi dalam RUUHP. Pertama, masyarakat masih melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kedua, korupsi menjadi perhatian dunia inter na - sional. Ketiga, perlunya per la - kuan khu sus terhadap ke ja - hatan ko rupsi.

Keempat, ti ada in-sentif terhadap upaya pem be rantasan korupsi. Ke - lima, ri siko me le mah nya upaya pem berantasan korupsi dan ter ganggunya ke we nang - an KPK. Terhadap kelima ar gu men - tasi tersebut tanggapannya se - bagai berikut: pertama, ko rupsi sebagai kejahatan luar biasa dan korupsi mendapat per ha - tian dunia internasional sama sekali tidak ada hu bungannya dengan penga turan delik ko - rupsi apakah di dalam atau di luar KUHP melainkan pada 7 para me ter yang su dah ber ulang k a l i dije laskan sehingga tidak perlu diulangi la - gi. Kedua, perlakuan khusus terhadap ke - jahatan korupsi bukanlah materi muatan KUHP yang me ru pakan hukum pidana subs tantif melainkan ma - teri muat an KUHAP ter ma - suk UU KPK sebagai hukum pidana formil.

Ketiga, tidak ada kerugian sedikit pun jika core crime delik ko rupsi diatur dalam KUHP, tapi justru memper li - hatkan kon sep pembaruan hu - kum pi dana nasional yang baik dan be nar. Keempat, ber da - sarkan atur an peralihan berikut pe n je lasannya dalam RUUHP, secara expressive verbis mem - perluas kewenangan KPK untuk me nyidik dan menuntut tindak pidana korupsi baik dalam UU Tipikor maupun dalam RU UHP. Tegasnya, coba tunjuk kan bab, pasal dan ayat berapa dalam RUUHP yang me le mah kan pem - berantasan korupsi ap a lagi menghilangkan kewe nangan KPK.

Terlepas dari perdebatan ini, suatu hal sangat dis a - yangkan, berbagai keberatan KPK ter masuk argumentasi Ras mala terhadap masuknya delik ko rupsi dalam RUUHP tidak per nah terdengar dalam Rapat Tim Penyusun RUUHP mana kala KPK hadir. Per tanyaan lebih lanjut, apakah ti - dak ada ko mu nikasi intensif antara pejabat yang ditunjuk untuk mewakili dengan Pim - pinan KPK atau memang se - ngaja perdebatan ini dilakukan secara terbuka di ranah publik? Usul konkret, se baiknya Pim pinan KPK atau menunjuk Ras mala untuk hadir dalam Rapat Tim Penyusun RUUHP.

Hal ini lebih produktif daripada me nim bulkan kontro versi di mas yarakat dan pada akhirnya jika terpojok, lalu mengadu kepada Presiden.

Sumber : Koran SINDO, 17 Juli 2018

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name

    BalasHapus