Minggu, 21 April 2019

PENEGAKAN HUKUM KEJAHATAN LUAR BIASA


Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

"…theoretische uiteenzettingen… strafbare feit definieren als de normovertreding, waaraan de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechtsorde en de behartiging van het algemeen welzijn"Pompe.

Pompe dalam "Handboek"-nya menyatakan gambaran teoretis perbuatan pidana sebagai pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 

Salah satu aspek penting dari kaidah hukum adalah masalah penegakannya. Aturan hukum dikatakan efektif jika dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan jika terjadi kejahatan. 

Dalam kriminologi, suatu kejahatan dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jika memenuhi tujuh kriteria. Pertama, kejahatan itu dampak viktimisasinya sangat luas dan multidimensi. 

Kedua, kejahatan itu bersifat transnasional, terorganisasi, dan didukung teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika. Ketiga, merupakan predicate crimes pidana pencucian uang. Keempat, memerlukan pengaturan hukum acara pidana yang khusus. 

Kelima, memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan luas. Keenam, kejahatan itu dilandasi oleh konvensi internasional yang merupakan treaty based crimes. 

Ketujuh, kejahatan tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional. 

Terkait kejahatan yang dilandasi konvensi internasional, dalam doktrin hukum pidana dikenal internasionalisasi kejahatan, yaitu jika salah satu dari lima unsur yang ada terpenuhi. Pertama, tingkah laku yang dilarang berakibat signifikan terhadap kepentingan internasional, khususnya perdamaian dan keamanan internasional. 

Kedua, merupakan perbuatan yang buruk dan dianggap mengancam nilai-nilai yang dianut bersama oleh masyarakat dunia. 

Ketiga, memiliki implikasi transnasional yang melibatkan atau memengaruhi lebih dari satu negara dalam perencanaan, persiapan, atau perbuatannya, baik melalui keragaman kewarganegaraan pelaku kejahatan atau korban maupun perlengkapan yang digunakan melebihi batas-batas negara. 

Keempat, membahayakan perlindungan kepentingan internasional atau terhadap orang yang dilindungi secara internasional. Kelima, melanggar kepentingan internasional dan dapat dicegah serta ditekan melalui kriminalisasi internasional (M Cherif Bassiouni, 2003, 119). 

Dalam konteks Indonesia, beberapa kejahatan luar biasa yang mendominasi penegakan hukum tahun 2018 adalah terorisme, peredaran gelap narkotika dan obat terlarang (narkoba), kekerasan seksual, dan korupsi. 

Terorisme 
Pada pertengahan Mei 2018, kita dibuat tercengang oleh sejumlah aksi teror berupa bom bunuh diri di sejumlah daerah di Indonesia. Aksi biadab dan tak berperikemanusiaan itu melibatkan anak di bawah umur. 

Dalam konteks hukum pidana internasional, terorisme hakikatnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan meski dalam hukum nasional Indonesia, terorisme dan kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam dua undang-undang (UU) berbeda. 

Terorisme diatur di UU Pemberantasan Terorisme, sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pelanggaran berat HAM yang diatur di UU Pengadilan HAM. 

Secara umum elements of crime kejahatan terhadap kemanusiaan dapat disamakan dengan terorisme. Pertama, ada serangan langsung. Kedua, serangan langsung bersifat meluas atau sistematis. 

Ketiga, serangan ditujukan terhadap populasi penduduk sipil. Keempat, adanya pengetahuan tentang serangan. Dalam doktrin hukum pidana, elemen keempat secara implisit menghendaki adanya kesengajaan dalam tindakan teror, dikenal dengan istilah dolus specialis (kesengajaan khusus).

Kesengajaan ini mensyaratkan dua tindakan: adanya kekerasan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, atau penderitaan serius dan menimbulkan rasa takut. 

Karena itu, ketika menghadapi aksi teror, masyarakat menyerukan "Kami Tidak Takut" pada hakikatnya menunjukkan kegagalan dari tujuan teroris itu sendiri. 

Akar masalah terorisme di Indonesia tidak hanya persoalan ideologis semata, tetapi juga terkait tingkat pendidikan, ekonomi keluarga yang terimpit, dan lingkungan sekeliling yang tak kondusif. 

Oleh karena itu, penanggulangan terorisme haruslah berorientasi pada paradigma hukum pidana modern, yakni keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. 

Keadilan korektif terkait penghukuman terhadap pelaku, keadilan rehabilitatif berhubungan dengan perbaikan terhadap pelaku berupa deradikalisasi, sedangkan keadilan restoratif diwujudkan dalam kompensasi dan restitusi serta penanganan khusus secara psikologis untuk menghilangkan trauma akibat aksi teror. 

Dalam konteks ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah melakukan langkah-langkah konkret, tidak hanya penindakan, tetapi juga pencegahan dan deradikalisasi. Pencegahan dilakukan dengan pelibatan kelompok muda dan masyarakat dengan forum koordinasi pencegahan terorisme di semua provinsi. 

Pelatihan peningkatan kapasitas aparat termasuk intensitas penanganan foreign terrorist fighters. Untuk deradikalisasi, BNPT telah melakukan pembinaan wawasan kebangsaan dan keagamaan serta life skill, serta melakukan pengawasan dan pendampingan para mantan teroris, termasuk pembinaan kewirausahaan. 

Narkoba 
Pemberantasan peredaran gelap narkoba bukanlah hal mudah. Selain narkotika kejahatan terorganisasi lintas negara, paling tidak ada tujuh faktor penyebab peredaran gelap narkoba tumbuh subur di Indonesia. Pertama, secara geografis, sebagai negara kepulauan, perbatasan laut yang terbuka dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. 

Kedua, ketatnya upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di negara-negara tetangga. Ketiga, secara geostrategis, jembatan lalu lintas angkutan manusia dan barang yang ramai dilewati armada perdagangan internasional. Keempat, secara demografis, jumlah penduduk Indonesia besar, merupakan pasar potensial bagi pemasaran gelap narkotika. 

Kelima, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan sosial. Keenam, modernisasi dan penyebaran gaya hidup modern yang berorientasi keduniawian dan kebendaan, gaya hidup konsumtif dan hedonis yang dipicu kemajuan komunikasi, transportasi, informasi, dan globalisasi. 

Ketujuh, situasi penuh ketegangan, terutama di perkotaan yang diwarnai polusi, kekumuhan, tingginya pengangguran, kesemrawutan, dan kriminalitas (Dani Krisnawati, 2016). 

Karena alasan itu, tidaklah berlebihan ketika di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo menyerukan darurat narkoba dengan mencanangkan penegakan hukum yang tegas dan rehabilitasi para pencandu. 

Terlepas dari pro-kontra, setelah menjabat sebagai presiden, Jokowi mengeksekusi sejumlah terpidana mati kasus narkoba. Dalam konteks pemberantasan narkoba sepanjang 2018, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri patut diapresiasi. Tak hanya menggagalkan berton-ton yang akan diselundupkan melalui laut, mereka juga melaksanakan pencegahan dan rehabilitasi. 

BNN melakukan tiga jenis pencegahan. Pertama, pencegahan primer atau pencegahan dini ditujukan kepada individu, keluarga, atau komunitas yang belum tersentuh penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 

Kedua, pencegahan sekunder atau pencegahan kerawanan yang ditujukan kepada komunitas yang rawan terhadap penyalahgunaan narkoba. Ketiga, pencegahan tersier atau pencegahan kambuhan yang ditujukan kepada mereka yang sudah pernah jadi pencandu narkoba dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi. 

Apabila penindakan tegas dan pencegahan dilakukan simultan, pada tahun mendatang angka peredaran gelap narkoba semakin bisa ditekan. 

Kekerasan seksual 
Kejahatan lain yang jadi perhatian selama 2018 adalah kekerasan seksual, khususnya terhadap anak dan perempuan. Meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah graviora delicta, kejahatan paling serius. Mengapa? Anak dan perempuan adalah kelompok rentan yang seharusnya dilindungi, tetapi justru jadi obyek kejahatan. Sri Wiyanti Eddyono mengidentifikasi paling tidak ada tiga faktor penyebab lemahnya penegakan hukum kekerasan seksual terhadap perempuan. 

Pertama, kecenderungan menyalahkan korban (blaming the victim) berdasarkan stereotip jender. Kedua, masih ditemukan korban kekerasan seksual sulit memproses kasusnya karena pandangan kontribusi korban (victim participation) sehingga diarahkan untuk tak meneruskan perkara ke pengadilan. Ketiga, kondisi korban sangat rentan untuk dijadikan tersangka. 

Dalam konteks ketiga, kasus Baiq Nuril adalah contoh konkret korban berupaya mengungkap kasusnya, tetapi justru dijadikan tersangka kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Jika memang demikian, untuk menanggulangi kekerasan seksual pada masa mendatang, intervensi negara harus dilakukan dengan menyegerakan pengesahan RUU Kekerasan Seksual yang berorientasi pada korban. 

Termasuk pula formulasi delik serta penanganan dan pemulihan terhadap korban. Tidak hanya menghukum pelaku, tetapi lebih dari itu harus ada reparasi terhadap korban, termasuk pendampingan secara psikologis. 

Korupsi 
Terakhir, terkait kejahatan korupsi yang selalu menjadi keprihatinan kita bersama. Sejak dibentuknya Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) sampai dengan Oktober 2018, Polri telah melaksanakan 5.070 kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) dengan jumlah tersangka 8.290 orang. Sebagai terapi kejut OTT, Tim Saber Pungli perlu diapresiasi. 

Sayangnya, kegiatan ini tak membangun sistem pemberantasan korupsi secara menyeluruh yang tak hanya penindakan, tetapi juga pencegahan. Demikian pula dengan OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama 2018 masih mendominasi penegakan hukum korupsi. 

OTT KPK terhadap sejumlah kepala daerah tentunya membuat gusar parpol karena mereka yang tertangkap tangan adalah kader partai yang diusung gabungan beberapa parpol dalam pemilihan kepala daerah. 

Data KPK, hampir 80 persen OTT terhadap kepala daerah berkaitan dengan perizinan, pengisian jabatan, dan pencairan anggaran. Dalam studi kejahatan, korupsi yang demikian dikualifikasikan sebagai discretionary corruption dan political bribery. 

Discretionary corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan. Modus operandinya adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang dibingkai dengan suatu produk hukum. 

Termasuk dalam tipe ini adalah perizinan dan pengisian jabatan pada instansi pemerintah daerah. Sementara political bribery didefinisikan sebagai kekuasaan legislatif sebagai badan pembentuk UU, termasuk pencairan anggaran oleh komisi di DPR yang membidangi proyek tertentu. 

Dari segi kuantitas, OTT Saber Pungli dan OTT KPK ternyata tak memberikan efek jera dalam pemberantasan korupsi dan hal yang demikian masih tetap mewarnai penegakan hukum pada tahun-tahun mendatang selama sistem politik dan sistem penganggaran tak berubah jadi sistem yang berorientasi pada pencegahan korupsi. 

Di sisi lain, pencegahan korupsi yang dilakukan KPK patut diapresiasi. Dalam kurun 2015-2018, jumlah pelaporan gratifikasi sebanyak 6.702 laporan senilai Rp 142,25 miliar. Artinya, ada kesadaran penyelenggara negara, termasuk pejabat dari level terendah hingga tertinggi, untuk melaporkan penerimaan yang diduga gratifikasi. 

Seperti saya ulas dalam artikel pada harian ini ("Penyidik Tunggal dalam Kasus Korupsi", 28/11/2018), dalam rangka efektivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi, perlu dipikirkan adanya penyidik tunggal kasus korupsi, dalam hal ini KPK. Kalaupun untuk sementara kewenangan pemberantasan korupsi masih diberikan kepada Polri, Kejaksaan, dan KPK, harus ada perlakuan sama. 

Artinya, jika KPK diberi kewenangan penyadapan pada tahap lidik, Polri dan kejaksaan pun harus diberi kewenangan sama. Demikian pula, jika Polri dan kejaksaan diberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan, kewenangan yang sama pun harus diberikan kepada KPK. 

Sebagai catatan akhir, penanggulangan kejahatan—terlebih lagi extraordinary crime—pada masa mendatang, substansi hukum dan profesionalisme aparat tidaklah dapat menanggulangi kejahatan secara efisien dan efektif, tetapi dibutuhkan budaya hukum, dalam hal ini kesadaran hukum masyarakat. 

Keberhasilan penanggulangan kejahatan tak hanya dilihat dari aspek penindakan semata, tetapi juga pencegahan. Dalam konteks ini, apa yang dikemukakan Krabbe menjadi keniscayaan: sumber hukum tertinggi dalam suatu negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.

Sumber : Harian KOMPAS 28 Desember 2018

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name

    BalasHapus