Rabu, 29 Mei 2019

MAKAR, HASUT, ATAU HOAKS





Oleh :
Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana UGM Yogyakarta)

Pasca-pemilihan umum serentak pada 17 April 2019, eskalasi politik terus meningkat, terutama menjelang penetapan hasil pemilu 22 Mei 2019. Kendati terdapat banyak kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, harus diakui bahwa secara umum pemilu berjalan dengan aman, tertib, dan damai.

Tidaklah mengherankan jika banyak apresiasi dari sejumlah negara terhadap pelaksanaan pemilu di Indonesia, bahkan bisa jadi pemilu 17 April 2019 adalah pemilu terbesar di dunia dengan lebih dari 800.000 tempat pemungutan suara (TPS).

Sayangnya, pasca-pemilu, yang marak terjadi di media sosial adalah berbagai narasi untuk mendiskreditkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan berujung pada delegitimasi pemilu.

Celakanya, hal itu dilakukan oleh para elite menengah ke atas yang haus akan kekuasaan. Narasi seperti "pemilu curang"; "kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif"; "KPPS diracun"; sampai pada ajakan people power untuk menolak hasil pemilu, viral di media sosial, termasuk seruan untuk revolusi.

Bisa dijerat pidana

Apakah berbagai fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai kejahatan dalam hukum pidana?

Ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, masing- masing adalah individuale belangen (kepentingan-kepentingan individu), sociale of maatschappelijkebelangen (kepentingan-kepentingan sosial atau masyarakat), dan staatsbelangen (kepentingan- kepentingan negara). "… Het starfrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen."

Demikian Vos, yang berarti 'hukum pidana' berfungsi untuk melawan tindakan-tindakan yang tidak normal. Tindakan-tindakan tidak normal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang menyerang kepentingan individu, kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan negara. Dalam kaitannya dengan melindungi kepentingan negara dan masyarakat, berbagai fenomena pasca-pemilu, sebagaimana diungkapkan di atas, dapat dijerat dengan sejumlah ketentuan hukum pidana.

Pertama, makar. Paling tidak ada dua postulat dalam doktrin hukum pidana yang menggambarkan makar, yakni (1) felonia implicatur in quolibet proditione : kejahatan makar adalah tindak pidana yang berat. Oleh karena itu, permufakatan jahat (sammenspaning) untuk melakukan makar dianggap sebagai sesuatu yang vooltoid atau delik selesai.

Kemudian, (2) crimen laesae magestatis omnia alia criminal excedit quoad : kejahatan makar harus dihukum dengan hukuman yang berat dibandingkan dengan kejahatan lain sehingga para pelaku peserta, termasuk pembantuan, juga diancam dengan pidana.

Pengertian makar secara eksplisit diatur dalam Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Makar sesuatu perbuatan dianggap ada, apabila niat si pembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu menurut Pasal 53."

Dalam naskah aslinya, di bawah titel IX (Bab IX) tentang Beteekenis Van Sommige in het Wetboek Voorkomende Uitdrukkingen (arti beberapa sebutan dalam kitab undang-undang ini), artikel 87 (Pasal 87) berbunyi, "Aanslag tot een feit bestaat zoodra het voornemen des daders zich door een begin van uitvoering, in dez zin van artikel 53, heeft geopenbaard." Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa kata yang diterjemahkan oleh penerjemah KUHP sebagai "makar" adalah kata aanslag.

Dalam Kamus Belanda-Inggris (Tweede Deel Nederlands-Engels) yang ditulis awal oleh A Boers, Den Haag, 1933, kata aanslag diterjemahkan sebagai attempt. Sedangkan dalam Kamus Inggris-Indonesia, kata attempt diartikan sebagai 'percobaan' atau 'usaha'.

Jika demikian, kiranya ada kekeliruan penerjemahan kata aanslag dalam Wetboek Van Strafrecht. Karena sulit mencari padanan kata untuk menggantikan kata aanslag, lalu digunakan kata makar, padahal pengertian aanslag yang sebenarnya adalah tindakan awal suatu perbuatan.

Makar dalam Pasal 87 dihubungkan dengan Pasal 53 KUHP tentang percobaan yang menyatakan bahwa "Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman jika maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak tergantung dari kemauannya sendiri." Perbedaan antara makar dan percobaan ialah bahwa dalam percobaan ada klausul tidak selesainya perbuatan yang diniati karena semata-mata di luar kehendak pelaku, sedangkan dalam makar tidak terdapat klausul tersebut.

Memenuhi delik

Berdasarkan Pasal 53 juncto Pasal 87 KUHP, ada dua unsur yang penting dalam kejahatan makar, yaitu niat (voornemen) dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Ada dua ukuran terkait niat dan permulaan pelaksanaan, yaitu ukuran subyektif dan ukuran obyektif.

Niat secara subyektif dapat diketahui jika secara nyata diutarakan oleh yang bersangkutan. Sedangkan secara obyektif, niat tersebut diketahui atau dapat dilihat oleh orang lain dengan adanya perbuatan yang merupakan pelaksanaan terhadap niat dan nyata-nyata ditujukan untuk melakukan perbuatan yang diniati. Demikian pula unsur permulaan pelaksanaan. Secara subyektif, dikatakan ada permulaan pelaksanaan jika niat tidak boleh diragukan lagi menuju delik yang dimaksud.

Sementara secara obyektif, dikatakan ada permulaan pelaksanaan jika perbuatan harus mengandung potensi mendekati delik yang dituju. Akan tetapi, untuk membuktikan adanya makar, maka baik niat maupun permulaan pelaksanaan harus diukur secara obyektif. Di sini berlaku dua adagium: acta exteriora indicant interiora secreta (niat diketahui dari adanya permulaan pelaksanaan) dan voluntas reputabitur pro facto (permulaan pelaksanaan sudah mendekati delik yang dituju).

Apabila dikaitkan dengan fenomena tersebut di atas, seruan-seruan yang mengajak untuk melakukan people power, mendelegitimasi hasil pemilu, terlebih ajakan revolusi atau cara-cara inkonstitusional yang akan berujung pada perlawanan terhadap pemerintahan yang sah pada hakikatnya telah memenuhi unsur delik makar dalam Pasal 107 KUHP.

Sebagaimana kata aanslag yang mengandung makna tindakan awal dari suatu perbuatan, seruan people power dan atau revolusi secara inkonstitusional sudah memenuhi unsur pasal. Pada intinya, Pasal 107 adalah makar terhadap pemerintahan yang sah untuk menggulingkan pemerintahan (omwenteling) dengan kekerasan, paksaan, atau kekuatan senjata atau cara-cara lain yang inkonstitusional.

Kedua, delik penghasutan. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP di bawah bab yang berjudul "Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum". Pada hakikatnya, penghasutan adalah tindakan baik lisan maupun tulisan, termasuk menyiarkan untuk umum yang mengajak orang untuk melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti perintah undang-undang maupun perintah jabatan.

Dalam doktrin hukum pidana, penghasutan digolongkan sebagai delik yang menimbulkan keadaan bahaya oleh karena itu dirumuskan secara formal sehingga memudahkan pembuktiannya karena hanya dititikberatkan pada perbuatan dan bukan akibat.

Ajakan people power, termasuk revolusi, yang disebarluaskan melalui media sosial sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya hasutan jika dilakukan secara inkonstitusional. Di sini, niat secara obyektif sudah tidak diragukan lagi merujuk pada delik yang dituju sebagaimana postulat yang telah disinggung di atas voluntas reputabitur pro facto.

Ketiga, berbagai fenomena yang viral di media sosial pasca-pemilu dapat dikualifikasikan sebagai penyebaran hoaks. Hoaks tersebut menggunakan media sosial sehingga dipastikan memenuhi unsur dalam UU informasi dan transaksi elektronik yang akan di—juncto—kan dengan sejumlah pasal dalam KUHP.

Pasal mana yang akan diterapkan, tentunya disesuaikan dengan substansi hoaks tersebut. Jika substansi hoaks adalah agitasi propaganda yang membakar massa untuk bertindak anarkistis, maka yang diterapkan adalah Pasal 107 tentang makar atau setidak-tidaknya Pasal 160 atau Pasal 161 KUHP tentang penghasutan.

Jika hoaks tersebut berupa berita bohong yang menimbulkan kegaduhan, dapat dijerat dengan Pasal XIV UU Nomor 1 Tahun 1946. Narasi seperti "pemilu curang"; "kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif"; serta "KPPS diracun", selama tidak dapat dibuktikan secara hukum, pada dasarnya adalah berita bohong yang dapat dijerat dengan pasal a quo.

Membuktikan kecurangan

Membuktikan suatu kejahatan secara terstruktur, sistematis, dan masif bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terminologi "terstruktur, sistematis, dan masif" dalam studi kejahatan adalah untuk menyebutkan sifat dan karakteristik gross violence of human right yang merujuk pada empat prototipe kejahatan internasional, masing-masing adalah agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.

Terstruktur mengandung makna bahwa kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisasi berdasarkan chains of commander. Sistematis merujuk pada modus operandi yang tersusun secara baik dan rapi dengan pengetahuan akan tindakan tersebut. Sedangkan masif merujuk pada skala penyebaran terjadinya kejahatan tersebut (lihat berbagai putusan dalam International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia dan International Criminal Tribunal For Rwanda).

Apabila menyatakan pemilu curang secara "terstruktur, sistematis, dan masif", harus dibuktikan ketiga sifat dan karakter tersebut secara sah dan meyakinkan. Apakah ada chain of commander antara KPU dan KPPS di mana terjadi kecurangan yang dimaksud? Apakah modus operandinya dilakukan dengan sistematis yang mensyaratkan pengetahuan dan kehendak? Apakah penyebaran kecurangan itu terjadi lebih dari 50 persen TPS? Jika tidak dapat dibuktikan, narasi-narasi tersebut hanya didasarkan pada unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar dan memiliki konsekuensi hukum.

Terakhir dari tulisan ini, ketidakpuasan terhadap hasil pemilu adalah suatu kewajaran, terlebih terhadap pihak yang kalah dalam pertarungan politik. Namun, hendaknya ketidakpuasan tersebut melalui cara-cara konstitusional sebagaimana yang telah ditempuh dalam berbagai pemilu sebelumnya. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi adalah upaya hukum yang telah disediakan sebagai sarana legal, elegan, dan konstitusional.

Selain itu, tindakan Polri terhadap sejumlah orang dalam rangka penyelidikan dan penyidikan dugaan kasus makar, penghasutan, dan hoaks patut diapresiasi dan sudah on the right track untuk mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi pada saat atau pasca- penetapan hasil pemilu.


Sumber : Harian KOMPAS/ Rabu, 15 Mei 2019

0 komentar:

Posting Komentar