Sabtu, 14 Mei 2011

MEMBEBASKAN PELAKU (PEMAKAI) NARKOBA DIBAWA 1 GRAM, EFEKTIFKAH ?



Oleh : Beniharmoni Harefa

Kabar mengejutkan datang dari Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) juga Badan Narkotika Nasional (BNN), pasalnya baru-baru ini, kedua institusi yang dipercaya memberantas Peredaran Narkotika di tanah air mengeluarkan suatu aturan kontroversial. Aturan itu berkaitan dengan tindakan yang dilakukan terhadap setiap pengguna narkotika yang baru pertama kali menggunakan dan jumlah narkotika yang digunakan di bawah 1 gr tidak dipidana. Aturan ini dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari UU No.35 Tahun 2009 ttg Narkotika yg sudah ada sebelumnya.


Apa yang menjadi kontroversial dari aturan ini hingga menimbulkan banyak polemik dari berbagai pihak, termasuk para ahli hukum pidana. Dari perspektif salah seorang pakar hukum pidana Prof Dr. J.E Sahetaphy berpendapat bahwa dengan adanya aturan ini maka membuka pintu bagi para bandar narkotika untuk terus mengedarkan narkotika di negeri tercinta. Pandangan prof Sahetaphy bukan tidak beralasan, menurut penulis bahwa hal ini sama dengan membuka peluang bagi para bandar untuk terus beraksi dalam mengedarkan narkotika. Meskipun telah diprasyaratkan bahwa yang tidak dipidana adalah pemakai (pengguna) dan baru pertama memakai serta di bawah 1 gram. Ketiga prasyarat ini sebagai tolok ukur untuk tidak diterapkannya pemidanaan terhadap pemakai.

Sebelum menelaah lebih jauh, perlu diingatkan kembali beberapa tujuan pemidanaan. Dalam bukunya Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Muladi dan Barda Nawawi Arief membagi teori pemidanaan ke dalam dua kelompok teori, yaitu : teori absolut atau teori pembalasan dan teori relatif atau teori tujuan. Berdasarkan teori absolut yang juga disebut teori retributif (retributive/vergeldings theorieen), pidana
semata-mata dijatuhkan karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Berdasarkan teori absolut maka tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan.

Pembalasan merupakan tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain,misalnya untuk kesejahteraan masyarakat. Yang menjadi syarat utama untuk dipidananya seorang pelaku tindak pidana adalah adanya kesalahan. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan sipelanggar atau si pelaku tindak pidana. Teori absolut atau teori retributif ini, berkesan bahwa pidana melihat ke belakang, dan berupa pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelaku tindak pidana. Menurut Johanes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claim of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.

Sedangkan, berdasarkan teori relatif atau yang sering disebut juga teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) memidana adalah bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Teori relatif melihat tujuan pidana adalah untuk pencegahan (prevention). Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat. Teori relatif atau teori utilitarian ini juga melihat bahwa pidana bersifat prospektif (berpandangan ke depan). Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan tindak pidana untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Sahetapy, pemidanaan bertujuan pembebasan. Pidana harus dapat membebaskan pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna pembebasan menurut Sahetapy, tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu. Sahetapy menambahkan, tidak dapat disangkal bahwa dalam pengetian pidana tersimpul unsur penderitaan. Akan tetapi, penderitaan yang dimaksud adalah penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.

Dari kedua teori ini, maka terlihat bahwa tujuan pemidanaan yang semula adalah semata untuk pembalasan namun kemudian bergeser untuk memenuhi rasa keadilan. Terkait dengan pembebasan dari pemidanaan pemakai narkotika, ini berarti bahwa pemidanaan menurut para pembuat aturan ini sudah tdk terlalu efektif lagi. Sehingga yang diperlukan adalah rehabilitasi dan memanusiakan pemakai. Dengan metode yang lebih humanis ini, penulis berpendapat bahwa :

Pertama, membebaskan pemakai dari pemidanaan berarti bahwa pemakai dianggap sebagai korban. Yang menentukan bahwa pemakai termasuk sbg korban atau pelaku adalah pengadilan. Sedangkan dari awal sudah dijelaskan bahwa tidak ada pemidanaan untuk pemakai, yg kemudian juga dpt diartikan bahwa tidak akan ada proses pemeriksaan di pengadilan. Tahapannya terhenti sampai di penyidik (dlm hal ini Polri), yang menentukan si pemakai sbg korban atau pelaku.

Kedua, akan sangat terbuka kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dengan penghapusan pemidanaan thd pemakai ini. Hal ini sama dengan legalisasi thd pemakai narkotika sekalipun dg prasyarat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun demikian, legalisasi ini akan membuka lebar pintu tawar menawar bagi pihak penyidik dan para bandar narkotika. Artinya bahwa aturan ini bisa digunakan salah satu pintu melepaskan para bandar narkotika dari jeratan hukum.

Oleh karena itu, pada intinya penulis berpandangan bahwa pembebasan dari pemidanaan pemakai narkotika adalah suatu tindakan yang humanis namun kurang efektif. Perlu dikaji ulang tentang penerapan aturan ini, terkait dengan beberapa hal yang sudah dipaparkan di atas.

0 komentar:

Posting Komentar