Rabu, 31 Oktober 2012

MEMAKSIMALKAN PENGEMBALIAN ASET KORUPTOR DI JALUR INTERNASIONAL


Jalur informal diyakini dapat optimal menjawab masalah pengembalian aset hasil korupsi lintas wilayah jurisdiksi. Pemerintah harus memanfaatkan segala saluran internasional untuk memaksimalkan pengembalian aset-aset terpidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri. Langkah Pemerintah mendekati pemerintah Swiss, Australia, Singapura, dan Hong Kong selama ini ini merupakan bagian dari upaya melacak dan mengembalikan aset koruptor ke Indonesia.


Dalam dua pekan terakhir, minimal ada dua sinyal yang menunjukkan keinginan Pemerintah untuk menggunakan jalur internasional, terutama jalur informal. Pertama, upaya Presiden Susilo Bambang Yudhyono menemui Presiden Swiss Micheline Calmy-Rey di sela-sela pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos. Dalam pembicaraan kedua kepala negara, Presiden SBY menyinggung perlunya kerjasama Indonesia Swiss untuk mengembalikan aset-aset buronan korupsi asal Indonesia yang disimpan di Swiss. Pengembalian aset Bank Century secara khusus disinggung.

Ini bukan pendekatan pertama yang diakukan Pemerintah ke otoritas Swiss. Seperti sebelum-sebelumnya, Pemerintah Swiss meminta bukti legal agar permintaan pengembalian aset bisa diproses. Setidaknya ada gugatan perdata kepada Hesyam Al Waraq dan Rfat Ali Risfi, dua eks petinggi Bank Century.

Sinyal kedua datang dari Jaksa Agung Basrief Arief. Pria yang pernah menjabat Ketua Tim Pemburu Koruptor ini berniat menjajaki kemungkinan pengembalian aset buronan korupsi asal Indonesia pada pertemuan ke-7 International Association of Prosecutor (IAP). Kebetulan, Indonesia akan menjadi tuan rumah perhelatan pada 16-18 Maret mendatang itu. Lagi-lagi, Basrief menyinggung pengembalian aset Bank Century. Dijelaskan Basrief, Pemerintah sudah membentuk tim terpadu –beranggotakan antara lain kejaksaan—untuk melacak aset eks petinggi Bank Century yang dilarikan ke Swiss.

Melarikan aset hasil tindak pidana ke luar negeri merupakan langkah penyelamatan yang sering dilakukan pelaku guna menghindari penciuman aparat penegak hukum. Ada banyak kasus yang bisa masuk daftar buronan yang diduga melarikan aset ke luar negeri. Bahkan keberangkatan Gayus Halomoan Tambunan ke beberapa negara dicurigai sebagai langkah penyelamatan aset meskipun Gayus dan pengacara sudah membantah.

Melihat berbagai kasus yang terjadi, bukan mustahil pelaku korupsi semakin mudah melarikan aset hasil korupsi ke luar negeri. Bagaimanapun, Pemerintah harus bisa mengantisipasi dan belajar dari kasus-kasus yang terjadi. Tengok saja kisah kepergian Gayus Halomoan Tambunan ke luar negeri, atau kasus sejumlah buron kasus korupsi yang hingga kini tak jelas penanangannya. Perbuatan korupsi sudah melintasi batas-batas wilayah negara.

Dalam suatu diskusi di Depok, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Universitas Indonesia Melda Kamil, mengatakan korupsi telah menjadi permasalahan internasional. “Korupsi ini kejahatan jaringan, tidak hanya melibatkan satu negara karena uang hasil korupsinya bisa ke mana-mana,” ucapnya.

Mutual Legal Assistance
Hubungan baik dan mutual legal assistance sebenarnya bisa dimanfaatkan. Menurut Melda, ada dua mekanisme yang bisa ditempuh. Pertama, mekanisme formal melalui permohonan bantuan timbal balik dari negara asal aset yang dikorupsi. Tujuannya, agar negara bersangkutan membantu upaya pengembalian aset ke Indonesia. Kedua, mekanisme informal berupa bantuan internasional yang tidak memerlukan penggunaan kuasa memaksa.

Toh, Pemerintah tak bisa berdalih soal payung hukum. Indonesia sudah punya Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Sejak 1994, Indonesia juga sudah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia (UU No. 8 Tahun 1994). Jadi, pendekatan formal yuridis yang dikenal dalam payung hukum bisa dimanfaatkan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 mengenal upaya perampasan dan pemblokiran. Perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dia lakukan, berdasarkan putusan pengadilan baik di Indonesia maupun di negara asing. Pemblokiran merupakan pembekuan sementara harta kekayaan untuk kepentingan proses hukum.

Penulis buku Deregenerasi Korupsi, Paku Utama, berpendapat diantara dua mekanisme penyelesaian korupsi melalui hubungan internasional, jalur informal dapat lebih efektif jika dioptimalkan. Salah satu contoh kesuksesan pemanfaatan jalur informal dalam pengembalian aset hasil korupsi adalah aset Presiden Nigeria Sani Abacha. Aset-asetya berhasil dikembalikan ke Nigeria berkat pendekatan melalui jalur informal. Contoh terbaru adalah pembekuan aset mantan orang nomor satu Tunisia Zine Al-Abidin bin Ali dan isterinya. Uni Eropa juga membekukan aset puluhan orang yang diduga terafiliasi dengan Zine Al-Abidin.

Korps penuntut di Indonesia selama bertahun-tahun berkutat menangani masalah pengembalian aset. Seiring perkembangan waktu, memaksimalkan upaya pengembalian aset harus terus dilakukan. Jaksa Agung Basrief Arief pun berjanji akan membicarakan upaya pengembalian degan para pimpinan kejaksaan negara lain yang hadir dalam IAP.

“Saat ini jaksa-jaksa di Indonesia sudah menginisiasi suatu perkumpulan informal jaksa sedunia dalam pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan media facebook. Jika hubungan seperti ini terus didorong, pemberantasan korupsi di seluruh dunia, terutama di Indonesia, dapat optimal,” kata Paku optimistis.

Budaya Anti-korupsi
Sementara itu, Direktur International Development and Crisis Consultants Monica Tanuhandaru menegaskan bahwa pemberantasan korupsi juga harus didukung oleh pembangunan budaya anti korupsi. Menurut Monica, persoalan korupsi tidak hanya persoalan hukum tetapi juga soal pola pikir.

Hal tersebut juga diamini oleh Kurnia Toha. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengingatkan orang melakukan korupsi antara lain demi mengejar kehormatan yang didapat dari kekayaan. “Kita ini budayanya lebih menghargai orang kaya daripada orang jujur. Mulai saat ini sudah harus kita ubah pola pikir untuk lebih menghargai orang-orang yang bergaya hidup sederhana. Kalau bisa, berani pula mempertanyaan kekayaan orang-orang kaya,” ucap Kurnia.

Kurnia menambahkan bahwa korupsi harus tuntas dipangkas karena diantara sekian banyak kejahatan korupsi menurutnya paling berbahaya. Bahaya korupsi tidak hanya sebatas merugikan keuangan negara melainkan akibat lainnya sangat mencemaskan. “Akibat korupsi kesejahteraan tidak bisa tercapai,” tandas Kurnia lagi.

Paku Utama menilai, pemotongan regenerasi budaya korupsi merupakan pondasi yang kuat untuk membangun budaya anti korupsi. Deregenerasi korupsi merupakan jalan tengah yang diambil setelah mempelajari politik pemotongan generasi negara-negara yang pernah dilanda krisis berat.

“Jepang pernah memotong generasinya tetapi ada yang bermasalah dalam pembangunan masyarakatnya. Oleh karena itulah kita tidak bisa memotong generasi, yang bisa kita potong adalah pewarisan budaya kepada generasi yang akan datang,” jelas Paku.

Sumber : www.hukumonline.com

0 komentar:

Posting Komentar