Minggu, 11 Mei 2014

VIDEO ASUSILA PELAJAR, APA PENYEBABNYA ?



Oleh : Beniharmoni Harefa

Belum lama ini, video asusila pelajar beredar lagi. Dikatakan “lagi” karena sebelumnya juga pernah beredar video asusila yang melibatkan pelajar. Video asusila kali ini, diduga terjadi di dalam ruang kelas, anehnya lagi disaksikan oleh beberapa orang siswa lainnya. Ruang kelas diduga dimanfaatkan oleh siswa pada saat jam pelajaran usai. Tidak ada paksaan dalam kejadian itu, namun belum dipastikan juga apakah didasarkan suka sama suka (Kompas, 25/10/13)


Kasus video asusila pelajar ini sebenarnya bukan yang pertama, sudah “berulang kali” terjadi. Perlu dicatat, itu baru yang  terungkap (beredar), belum lagi yang tersimpan dan tidak pernah diungkap. Memprihatinkan memang, sejatinya anak seumuran mereka menggunakan waktu sungguh-sungguh untuk belajar, akan tetapi malah melakukan perbuatan terlarang. Bahkan perbuatan terlarang mereka dilakukan di ruang kelas, yang seharusnya menjadi tempat mereka menimba ilmu. Dalam kaitan ini, sekolah harus dapat menjelaskan/ mengklarifikasi kejadian ini, jangan selalu berdalih dengan alibi kejadian terjadi di luar jam pelajaran sekolah.

Secara hukum, penyebaran video asusila pelajar ini dapat dijerat dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau juga bisa dengan menerapkan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Bahkan untuk anak di bawah umur bisa digunakan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga jika pelakunya anak, dapat dijerat dengan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun demikian apakah dengan penerapan hukum ini maka, permasalahan selesai. Terbukti dengan beberapa kasus video asusila sebelumnya, kepastian hukum sudah ditegakkan. Namun kenapa terulang lagi. Apakah pemidanaan bagi para pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penyebaran video asusila ini, tidak menimbulkan efek jera.

Merespon kegelisahan itu, sepatutnya dicarikan apa yang menyebabkan ini terjadi, mengapa pelajar-pelajar ini sampai mau melakukan perbuatan tercela (memvideokan dirinya) seperti itu. Apa yang merasuki pikiran mereka hinga bertindak tidak senonoh. Tulisan ini kemudian mencoba melihat lebih ke faktor penyebab video asusila itu. Video asusila pelajar, apa penyebabnya ?

Anak dipertontonkan contoh yang buruk
Belum hilang dari ingatan kita, kasus video asusila yang melibatkan para artis kenamaan tanah air ini. Sebut saja Ariel Peterpan (sekarang Noah), Luna Maya dan Cut Tari. Ketiganya tersandung kasus video asusila yang terekam dan tidak sengaja tersebar ke publik. Kendati pada saat itu, Luna Maya dan Cut Tari tidak menjalani proses hukum sedangkan Ariel Noah divonis 3 Tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dengan dipotong masa tahanan sejak 2010. Lalu pada saat menjalani hukuman, Ariel mendapat remisi (pengurangan masa pemidanan). Kemudian pada bulan juli tepatnya 23 Juli 2012, sang vokalis Noah mendapatkan pembebasan bersyarat. (Kompas, 25/06/12)

Apabila kita jeli melihat dan mengikuti kasus ini, si pelaku yang jelas-jelas telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan mesum dalam video yang tesebar itu, menjadi terkenal kembali. Bahkan tidak berlebihan bila mengatakan kasus yang menjeratnya justru malah melambungkan kembali namanya di jagat hiburan tanah air.

Lalu apa kaitannya dengan kasus video asusila pelajar yang terjadi baru-baru ini, jelas sangat berdampak. Dapat dipahami bahwa sudah menjadi sifat dasar anak (termasuk pelajar) untuk “suka meniru”, hal ini dikarenakan ketidak matangan berpikir mereka. Mereka (anak) sedang berada dalam kondisi mencari jati diri, sehingga apa yang sering mereka lihat dan rasakan itulah yang mereka tiru. Maka melihat perjalanan kasus video asusila para artis sebelumnya itu, bukan tidak mungkin di dalam benak anak-anak muncul pernyataan ini : “tidak ada yang salah kok dengan video itu”, “hanya media saja yang berlebihan mengekspose kasus itu” atau “bahkan mereka (artisnya) semakin terkenal kok setelah kasusnya terjadi”. Pernyataan-pernyataan ini dapat dipastikan akan terbangun dengan melihat fakta dan realita yang dipertontonkan pada kita saat ini.

Jelas ini bukan sesuatu hal yang menguntungkan, atau sesuatu yang membanggakan. Pernyataan itu membentuk suatu pola berpikir yang salah, dalam benak anak-anak. Pola pikir yang “melenceng” itu terbangun dari ketidakberesan penyelesaian masalah sebelumnya. Sehingga tidak heran bila anak-anak (pelajar) tidak begitu menyesali perbuatan salah yang mereka lakukan, karena “meniru” dari apa yang dihidangkan oleh publik figure tanah air ini. Anak dipertontonkan contoh yang “buruk”, menyebabkan mereka berperilaku tercela.

Kurangnya pengawasan orangtua
Lalu kalau sudah demikian apa yang harus dilakukan. Memang di era teknologi informasi yang berkembang pesat ini, tidaklah sulit untuk mengakses informasi-informasi yang terjadi di sekitar kita. Demikian halnya dengan anak, tidak jarang terlihat anak-anak lebih “cerdas” memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi yang ada dibandingkan orangtuanya yang membelikannya “mainan” teknologi itu.

Maka tidak jarang ditemukan orang tua yang tidak mampu lagi mengikuti alur perkembangan informasi yang didapatkan si anak. Orang tua dengan berbagai alasan, terkesan sudah terlanjur membelikan si anak alat teknologi itu, dengan melupakan fungsi pengawasannya (fungsi kontrol) terhadap anak-anaknya.

Dapat dipastikan karena kurangnya pengawasan orangtua, maka bukan suatu hal yang mengejutkan bila pelajar yang masih tergolong anak-anak itu, memanfaatkan teknologi informasi sebagai media “tanpa batas”, bagi kenikmatan hidup mereka. Tanpa berpikir panjang mengenai dampak baik buruknya bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Teknologi itu dijadikan “mainan” dengan bebas, tanpa harus memperdulikan resiko ke depan.

Seto Mulyadi (psikolog dan pemerhati anak), menegaskan bahwa video asusila pelajar ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak. Tertutupnya jalur komunikasi antara orangtua dan anak. Akibatnya untuk hal yang bersifat pribadi dan penting, misalnya seks, anak cenderung mencari dari sumber lain yang tidak dijamin kebenarannya (Kompas 29/10/13). Oleh sebab itu, tambah Seto, orangtua bersama pendidik (guru), selain mengawasi juga harus menjadi tempat curahan hati (curhat) yang nyaman bagi anak.

Lemahnya pengawasan orang tua, terhadap perilaku dan perkembangan si anak menjadi faktor utama penyebab anak menyimpang. Sejatinya anak harus mendapatkan perhatian lebih, dari orang tuanya, namun karena kesibukan dan alasan lainnya, maka anak dipercayakan saja pada pihak lain seperti pembantu rumah tangga, pihak sekolah, atau siapa saja yang dapat terlibat untuk mengasuh dan membesarkan anaknya.

Faktor intern
Selain kedua faktor tersebut di atas, maka juga kiranya menjadi pertimbangan faktor intern (dari dalam). Kedua faktor sebelumnya, karena dipertontonkan contoh yang buruk dan kurangnya pengawasan orang tua dapat digolongkan faktor ekstern (dari luar diri si anak). Maka berbicara faktor dari dalam diri si anak, kiranya menjadi titik tekan adalah faktor moral spiritual.

Nilai-nilai moral dan agama hendaknya jangan dilupakan apalagi dianggap sepele oleh semua pihak terkait maraknya kasus video asusila pelajar ini. Nilai moral dan agama juga memegang peran penting. Dapat dipastikan karena lemahnya nilai moral dan agama para pelajar, menjadi salah satu faktor penyebab mengapa mereka tidak merasa malu lagi untuk berbuat asusila. Bahkan pada kasus yang terakhir, dua orang pelajar “mengizinkan” temannya untuk menonton perbuatan mesum yang mereka lakukan. Menunjukkan nilai moral dan agama yang dimiliki pelajar-pelajar ini sangat jauh dari yang diharapkan. Bagaimana mungkin perbuatan yang seyogianya dilakukan oleh pasangan suami istri, dilakukan oleh dua orang pelajar yang belum menikah, dengan disaksikan oleh teman-temannya. Suatu degradasi moral dan agama yang hampir mencapai titik nadir.

Hukum hanya sebagai upaya terakhir
Kiranya dari uraian di atas dapat menjelaskan pada kita bahwa permasalahan video asusila pelajar ini jangan dipandang sebelah mata. Permasalahan ini tidaklah selesai pada tataran hukuman (pemidanaan) semata, mengingat juga bahwa hukum hanyalah sebagai ultimum remedium (sebagai obat terakhir). Jangan kita berhenti pada  pemikiran bahwa hukum saja para pelaku/ penyebar video itu, maka semua akan selesai, tanpa harus melihat akar permasalahannya.

Sebagaimana yang sudah terjadi selama ini bahwa setelah pelaku/ penyebar diproses secara hukum, tidak membuat pembuatan video asusila menjadi berhenti. Terulang lagi dan terulang lagi, mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan permasalahan video pelajar ini. Selama tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya maka pasti kita akan mendengar lagi “terulang lagi, video asusila pelajar”.

Sehingga menjadi jelas, anak membuat video asusila, apa penyebabnya ? Maka setidaknya memahami ketiga faktor penyebab yang disampaikan tadi, akan menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Setelah paham pada akar masalah, setidaknya dapat dicarikan solusi seperti dengan kerjasama dari semua pihak memberikan tontotan yang mendidik bagi anak, orang tua menjalankan fungsi pengawasannya dan menaburkan nilai-nilai moral dan keagamaan dalam hidup anak-anak. Sehingga di masa mendatang kita tidak lagi mendengar video asusila oleh pelajar, namun lebih banyak mendengar prestasi-prestasi yang diraih oleh pelajar.

0 komentar:

Posting Komentar