Selasa, 27 Mei 2014

PELIBATAN ANAK DALAM AKSI TEROR


Oleh : Eddy OS Hiariej
(Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta)

Pascaledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, perburuan terhadap Noordin M Top dan jaringannya digencarkan Polri.

Untuk memburu pelaku dalam waktu singkat, dengan bantuan ahli forensik, Polri berhasil mengidentifikasi pelaku. Amat mencengangkan, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott teridentifikasi anak usia 16-17 tahun. Bagaimana hukum pidana menyikapi hal ini?
Dalam konteks hukum pidana internasional, pada hakikatnya terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan meski dalam hukum nasional Indonesia, terorisme dan kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam dua undang-undang berbeda. Terorisme diatur dalam UU Pemberantasan Terorisme, sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Pelanggaran Berat HAM yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.

Tiga Karakter Terorisme
Ada tiga karakteristik terorisme sehingga disamakan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, kedua kejahatan itu biasanya dilakukan secara sistematis dan terorganisasi. Kedua, berbagai kejahatan itu menimbulkan banyak korban yang bersifat acak. Ketiga, baik terorisme maupun kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran terhadap ius cogens dan inhuman act.

Terkait pelibatan anak dalam aksi teror itu, bukanlah hal baru. Steven R Ratner dan Jason S Abrams dalam Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond the Nuremberg Legacy, Second Edition (2001) menulis, salah satu modus operandi Pol Pot semasa killing field di Kamboja telah melibatkan anak dalam aksi teror yang sulit diterima akal sehat. Ratusan anak usia 12-14 tahun merusak, menganiaya, bahkan pembunuhan massal mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa melayang selama 17 April 1975 hingga 7 Januari 1979.

Hal yang sama dilakukan Samuel Hinga Norman dan Thomas Lubanga Dyilo yang merekrut anak sebagai tentara. Norman diadili di pengadilan khusus Sierra Leone. Namun, sebelum diputus pengadilan, ia meninggal dunia. Sementara Lubanga adalah orang pertama yang kini diadili di Mahkamah Pidana Internasional atas kasus pelibatan anak sebagai tentara milisi yang aktif melakukan pembunuhan dalam pertikaian antara suku Hema dan Lendu di Provinsi Inturi, Kongo. Aksi teror yang melibatkan anak juga terjadi di Timur Tengah dan Indonesia.

Mengapa anak dilibatkan dalam aksi teror? Pertama, kondisi kejiwaan anak yang masih labil lebih mudah diindoktrinasi dengan hal-hal yang bersifat radikal. Kedua, musuh para teroris tidak pernah menyangka, anak akan melakukan kejahatan sesadis dan sebrutal itu sehingga lengah dalam mengantisipasi. Ketiga, para penggerak aksi-aksi teror itu memahami konstruksi hukum pertanggungjawaban pidana anak baik pada level internasional maupun nasional.

Hukuman 10 Tahun
Berdasarkan Statuta Roma yang mengatur kejahatan terhadap kemanusiaan, ada ketentuan yang tidak memasukkan yurisdiksi anak di bawah umur 18 tahun sebagai subyek hukum dari pengadilan pidana internasional. Dalam konteks hukum nasional Indonesia, UU Pengadilan HAM yang juga merujuk Statuta Roma tidak dapat mengadili anak di bawah umur 18 tahun. Sementara dalam UU Pemberantasan Terorisme yang kita miliki tidak ada ketentuan seperti dalam UU Pengadilan HAM.

Perlu diingat, berdasarkan UU Peradilan Anak, jika seorang anak usia 12-18 tahun terlibat kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, maksimal hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 10 tahun. Artinya, jika anak di bawah 18 tahun yang terlibat teror ditangkap dan diadili, pidana penjara yang dapat dijatuhkan maksimal 10 tahun.

Ketentuan hukum demikian dapat dipahami mengingat anak yang dilibatkan suatu kejahatan sebenarnya korban kejahatan, bukan pelaku kejahatan. Anak seperti ini hanya manus ministra (alat untuk melakukan kejahatan) yang sebenarnya tidak memahami apa yang diperbuat.

Ke depan, untuk mengantisipasi pelibatan anak dalam aksi teror atau kejahatan lain, kiranya faktor pendidikan, keluarga, dan lingkungan menjadi faktor penentu. Berdasar pengalaman di Kamboja, Sierra Leone, dan Kongo, anak yang dilibatkan aksi teror, mereka tidak mengenyam pendidikan, kehidupan ekonomi keluarganya terimpit, dan lingkungan yang tidak kondusif.

John Griffiths yang memperkenalkan family model dalam peradilan pidana menyatakan, untuk membasmi kejahatan, fungsi edukatif lebih efektif guna mencegah terjadinya kejahatan dan itu dimulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain itu, juga perlu mengubah konsep pidana dan penjahat. Hal ini dimaksudkan agar mereka yang telah melakukan kejahatan dapat dibina sehingga ketika kembali ke masyarakat tidak lagi mengulangi perbuatannya. Relevan yang dikemukakan Griffiths, kiranya mereka yang terlibat terorisme yang telah ditangkap perlu dibina secara khusus sebagai suatu proses deradikalisasi.

(Tulisan dimuat pada harian KOMPAS, 25 Agustus 2009)


0 komentar:

Posting Komentar