Selasa, 20 Mei 2014

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS BBI NISEL

(sumber foto : harianmandiri.com)

Oleh : Beniharmoni Harefa

Perkara korupsi Balai Benih Induk (BBI) Nias Selatan (Nisel) kini memasuki tahap persidangan. Para terdakwa diantaranya Asa’aro Laia (Mantan Sekda Nisel), Feriaman Sarumaha (Mantan Asisten I Pemkab Nisel), Firman Adil Dachi (Rekanan/ Pemilik Tanah), mulai disidangkan. Berdasarkan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Asa’aro bersama-sama dengan Feriaman dan Firman, telah melakukan perbuatan melawan hukum, yang menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 9,9 miliar.

Menurut jaksa, dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kab Nisel 2012 anggaran seharusnya untuk pembelian lahan pembangunan perkantoran dan berbagai sarana dan fasilitas umum, namun anggaran tersebut dialihkan menjadi pembangunan BBI. Anggaran proyek senilai Rp 15 Miliar. Sehingga perbuatan para terdakwa secara bersama-sama menyebabkan kerugian keuangan negara, sesuai dengan UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, pasal 2 ayat (1) dan pasal 3.

Untuk mengungkap kasus ini, beberapa orang saksi dihadirkan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan. Saksi-saksi diantaranya Wakil Bupati Nias Selatan, bahkan Bupati Nias Selatan turut dihadirkan, sebagai orang yang dianggap mengetahui aliran dana tersebut.

Hingga saat ini, baik Bupati Nisel maupun Wakil Bupati Nisel, dalam kedudukannya sebagai saksi dihadirkan pada persidangan. Sehingga menimbulkan pertanyaan, sampai sejauh mana tanggung jawab Bupati dan Wakil Bupati dalam perkara a quo.

(sumber foto : waspada.co.id)

Adanya Pemisahan
Dalam konteks hukum pidana, penting untuk dipahami bahwa adanya pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung apakah orang itu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana ataukah tidak. Akan tetapi, seseorang yang dijatuhi pidana sudah pasti telah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban dapat disamakan dengan kesalahan dalam pengertian yang luas. Ada tiga elemen dalam kesalahan yang bersifat kumulatif. Artinya, seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika memenuhi ketiga elemen dimaksud. Pertama, kemampuan bertanggungjawab. Kedua, adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan. Sikap batin ini melahirkan dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Syarat kesengajaan adalah weten en wilen (mengetahui dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian atau kurang adanya penduga-dugaan.

Ketiga, tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf, menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku yang meliputi kemampuan bertanggungjawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perintah jabatan yang tidak sah, dan daya paksa.

Pembuktian Tiga Elemen
Untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah Bupati dan Wakil Bupati Nisel dapat dimintai pertanggungjawaban dalam perkara BBI ini, maka perlu pembuktian tiga elemen sebagaimana elemen kesalahan di atas.

Pertama, perihal elemen kemampuan bertanggungjawab. Kiranya tidak perlu diragukan bahwa Bupati dan Wakil Bupati Nisel memiliki kecakapan bertindak, terlebih dalam kapasitas keduanya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Nias Selatan. Kedua, terkait dengan adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan. Yang dapat berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan. Mengenai adanya unsur kealpaan haruslah dikesampingkan karena Pasal 2 ayat (1) ataupun Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan adanya bentuk kesalahan berupa kealpaan, melainkan secara implisit mensyaratkan bentuk kesalahan berupa kesengajaan.

Maka yang harus dibuktikan sebagaimana dalam dakwaan yakni bahwa pengalihan anggaran yang seharusnya untuk pembelian lahan pembangunan perkantoran dan berbagai sarana dan fasilitas umum (APBD 2012 Kab Nisel), telah dialihkan (sebagaimana dakwaan) menjadi pembangunan BBI. Apakah pengalihan ini diketahui ataukah tidak oleh Bupati dan Wakil Bupati Nisel?

Apabila pengalihan ini diketahui dan dikehendaki, maka unsur kesengajaan telah terbukti. Dalam hal membuktikan ini, maka kiranya menjadi tugas Jaksa untuk dapat menemukan alat bukti yang kuat bahwa baik Bupati maupun Wakil Bupati, baik perseorangan maupun keduanya, mempunyai sikap batin yang sengaja untuk mengalihkan anggaran tesebut. Berbicara alat bukti kiranya dalam KUHAP pasal 184 telah ditentukan bahwa yang menjadi alat bukti meliputi Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa.

Suatu hal yang memang sulit dalam membuktikan sikap batin ini. Terlebih apabila hal ini dilakukan oleh beberapa oknum pelaku yang sudah berulang kali menyebabkan kerugian keuangan negara, maka mengukur sikap batin ini sangat sulit. Kecuali, apabila jaksa menemukan bukti kuat bahwa ada pemufakatan jahat. Jika terbukti, maka dalam konteks ini Bupati dan Wakil Bupati Nisel dapat dikenai delik penyertaan.

Bupati dan Wakil Bupati dapat dimintai pertanggungjawaban dengan terlebih dahulu membuktikan dua hal sebagai syarat delik penyertaan. Pertama, adanya meeting of mind (kesepakatan) atau paling tidak adanya saling pengertian antara Bupati atau Wakil Bupati dengan para terdakwa (sebagai panitia pelaksana pembangunan), sebagai perwujudan niat untuk melakukan kejahatan (subjektif penyertaan). Kedua, adanya kerjasama yang nyata antara Bupati atau Wakil Bupati dengan para terdakwa (sebagai panitia pelaksana pembangunan) dalam melakukan kejahatan (objektif penyertaan). Baik syarat subjektif maupun syarat objektif adalah dua hal yang mutlak yang harus dibuktikan dalam delik penyertaan.

Sebaliknya, apabila pengalihan ini tidak diketahui bahkan tidak dikehendaki, maka sesungguhnya Bupati dan Wakil Bupati Nisel berhenti pada kedudukan sebagai saksi. Pertanggungjawaban hanya dapat dimintakan kepada ketiga terdakwa. Kendati sulit diterima oleh nalar sehat, bahwa pimpinan daerah tidak mengetahui hal ini, namun memang demikianlah hukum perlu pembuktian, tidak berhenti pada logika semata.

Ketiga, elemen tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Kasus BBI ini kiranya dapat dipahami bahwa tidak adanya alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan. Misalnya perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa dan keadaan darurat. Juga alasan pemaaf, yang dapat menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku misalnya kemampuan bertanggungjawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perintah jabatan yang tidak sah, dan daya paksa. Kiranya dapat dipahami bahwa saat pengalihan anggaran diambil, tidak ditemukan adanya keadaan darurat di Kab Nisel saat itu, sebagai alasan pembenar tindakan mengalihkan anggaran.

Karena jika dalam keadaan darurat maka berlaku prinsip necessitas non habet legem yang berarti keadaan darurat tidak mengenal hukum. Dengan itu, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan pidana dapat dikesampingkan.

Tulisan ini bertujuan semata untuk kepentingan akademis, bukan untuk membela pihak tertentu, apalagi untuk kepentingan politis.

0 komentar:

Posting Komentar