Minggu, 11 Mei 2014

ADILKAH, ANAK NAKAL DIPENJARA ?

Oleh : Beniharmoni Harefa

Sebut saja AH inisial nama dari seorang anak nakal, umurnya 13 tahun, tertangkap tangan pada saat hendak mencuri telpon genggam (HP) di sebuah counter tidak jauh dari Polres Nias. Dari hasil sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Gunungsitoli, terungkap bahwa AH bukan pertama kali tertangkap dan diproses secara hukum. Sekitar 2 bulan yang lalu AH bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) karena sebelumnya dijatuhi putusan 3 bulan penjara juga karena kasus pencurian. AH yang sejak kecil tidak mengenali siapa orang tuanya ini, terpaksa harus berhadapan dengan aparat hukum karena perbuatan nakal yang dilakukannya.

Sungguh suatu ironi, seorang anak nakal berumur 13 tahun seperti AH, harus berhadapan dengan hukum, bahkan harus berulang kali keluar masuk penjara. Ditambah lagi ada hal menarik pada saat proses pemeriksaan, AH mengaku lebih memilih ditangkap dan ditempatkan di Lapas, dibandingkan hidup di luar Lapas. Dengan berdalih berada di Lapas terasa tenang dan nyaman. Karena meskipun kemerdekaan dibatasi, namun kebutuhan hidup seperti makanan sudah pasti didapatkan. Bagi anak seumuran AH yang tanpa orangtua dan tanpa ada yang membiayai, sudah tentu Lapas merupakan tempat yang tepat dan nyaman, untuk memenuhi kebutuhan perut sehari-hari.

Belajar dari kasus AH, kita hendak diajak untuk melihat bahwa itulah potret dari beberapa kasus anak nakal yang ada di negara ini, selain kasus anak nakal lainnya. Betapa seorang AH lebih memilih tinggal di Lapas dibandingkan hidup bebas di luar tembok penjara hanya karena alasan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak seperti AH, yang tanpa orangtua dan kerabat yang mau bertanggung jawab?

Kalau kita merujuk UUD 1945 pada pasal 34 ayat (1). Di dalam pasal 34 ayat (1) UUD 1945, secara tegas mengatur tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. AH sebagai anak yang tanpa identitas orangtua yang jelas, dapat digolongkan kategori anak terlantar. Sudah cukup jelas bahwa yang harus bertanggung jawab terhadap anak terlantar dan fakir miskin berdasarkan UUD adalah Negara. Maka jika Negara “absen” dalam hal memenuhi kewajibannya terhadap mereka (termasuk anak terlantar), bukankah itu merupakan suatu ketidakadilan ? Lalu ketika mereka (anak terlantar), harus memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan sampai berbuat nakal, apakah mereka harus dipenjara ?

Tulisan ini kemudian hendak memberikan jawaban sederhana dari pertanyaan adilkah seorang anak, dipenjara karena kenakalannya?

Siapa Anak Nakal ?
Permasalahan tentang anak nakal ini akan menjadi bom waktu, jika hanya dipandang sebelah mata oleh semua pihak utamanya pemerintah. Betapa tidak, akan terjadi pergeseran paradigma, orang-orang (anak-anak) lebih memilih nakal, dan diproses secara hukum, daripada memilih hidup sebagai pengangguran dan tidak mendapat penghidupan yang layak di luar penjara. Lalu permasalahan akan semakin bertambah, bila anak nakal yang semula hanya nakal tetapi karena ditempatkan di dalam Lapas, akan menjadi penjahat yang sesungguhnya. Tulisan ini sedikit mencoba menjawab, bagaimana keadilan hukum yang diberikan kepada anak nakal dalam sistem peradilan pidana Indonesia ? Apa yang seharusnya (apa yang adil) diberikan kepada anak, tanpa harus memidana mereka ?

Sebelum membahas lebih jauh, maka perlu dipahami apa yang dimaksud kenakalan anak. Secara sederhana dapat dikemukakan kenakalan anak (juvenile delinquency), merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela (Romli Atmasasmita, 1983). Sekedar mengingatkan usia seorang anak berdasarkan Undang-Undang (UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002) yakni berumur 0 – 18 tahun. Anak yang berhadapan dengan hukum, atau anak pelaku kenakalan itu yang kemudian disebut anak nakal.

Di dalam sistem peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia, anak nakal dapat dijatuhkan sanksi pidana kendati memang tidak sama dengan sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan dewasa. Anak dapat dijatuhkan pidana setengah dari ancaman pidana orang dewasa, apabila terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang secara hukum dilarang. Artinya berdasarkan aturan hukum negara ini, bukan tidak mungkin anak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas kenakalan yang dilakukannya.

Namun harus dipahami bahwa anak nakal melakukan perbuatan nakalnya, sebagai akibat dari ketidakseimbangan lingkungan sosialnya. Perlu ditekankan anak menjadi nakal, sebagai akibat dari ketidakseimbangan lingkungan sosialnya. Ketidakseimbangan lingkungan sosial seperti apa ? Kurangnya perhatian keluarga, lingkungan, utamanya pemerintah adalah contoh lingkungan sosial yang tidak seimbang. Hal inilah kemudian yang menjadi faktor utama anak-anak melakukan perilaku menyimpang. Ditambah lagi, kondisi pemikiran yang belum matang dan jiwa yang masih labil (tidak stabil), juga sangat mempengaruhi anak-anak dalam bertindak. Maka, dapat dipastikan disaat lingkungan sosialnya sudah “tidak beres” atau tidak seimbang, perilaku anak tentunya akan mengikuti. Anak menjadi nakal.

Sudut pandang kita, melihat seperti apa perbuatan anak nakal, sangat menentukan dalam menjawab hukuman apa yang adil untuk mereka. Adilkah kalau anak nakal dipenjara ? dari penjelasan di atas, bahwa perbuatan nakal anak, hanyalah sebagai akibat dari ketidak seimbangan lingkungannya sosialnya, kiranya dapat memberikan pemahaman. Pemahaman bahwa perbuatan yang dilakukan anak nakal tidaklah sama dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh seorang dewasa.

Orang dewasa yang sudah stabil dalam berpikir dan bertindak, tentunya dapat mengambil keputusan dalam setiap tindakannya, termasuk jika melakukan kejahatan. Berbeda dengan anak. Kondisi mental dan kejiwaan anak yang mudah terpengaruh, menjadikan mereka hanyalah korban dari ketidakseimbangan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, perbuatan anak nakal sama sekali tidak boleh disamakan dengan perbuatan jahat orang dewasa. Dengan demikian, hukuman terhadap mereka juga tidak sepantasnya disamakan dengan hukuman orang dewasa. Tidak adil bila memenjarakan anak, sama seperti memenjarakan orang dewasa. Penjara bukanlah tempat yang tepat bagi anak.

Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian
Selain kasus AH, maka kita dapat merujuk kasus lainnya, sebut saja MA (bukan nama sebenarnya), umur 16 Tahun (masih tergolong anak) dipidana oleh Pengadilan, karena terbukti secara sah dan meyakinkan mengedarkan narkoba jenis ganja. Hal menarik dari kasus yang menimpa MA, dipersidangan terungkap bahwa MA merupakan residiv (orang yang melakukan pengulangan tindak pidana). Sekitar 2 tahun sebelumnya, MA juga pernah dijatuhi putusan pengadilan karena melakukan pencabulan. Lalu setelah keluar, MA kembali ditangkap, karena mengedarkan narkoba jenis ganja. Anak umur 16 tahun ini mengenal dan ikut dalam jaringan narkoba, di saat dia menjalani hukuman (pemidanaan) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atas kasus pencabulan yang dilakukan sebelumnya.

Dari kasus MA terlihat bahwa vonis (putusan hakim) untuk memenjarakan anak nakal seperti MA, seolah tidak memiliki manfaat. Bahkan tidak menimbulkan efek jera. Bukan efek jera yang terjadi malah sebaliknya. Anak nakal yang semula hanya melakukan tindak pidana biasa, setelah menjalani pemidanaan di dalam Lapas, malah menjadi lebih berani, pintar, menambah teman, bahkan tidak lama setelah keluar dari Lapas ditangkap lagi oleh aparat, dengan kasus yang lebih meningkat dari tindak pidana sebelumnya. Sedangkan orientasi putusan untuk menghukum seseorang yakni harus berdasarkan keadilan, kemanfataan, dan kepastian hukum. Apakah vonis terhadap anak-anak nakal itu sudah dirasakan memenuhi rasa keadilan dan kemanfatan? Atau hanya sekedar menegakkan kepastian hukum semata ?

John Rawls salah seorang pakar yang berhasil merumuskan perihal keadilan, mengatakan dikatakan adil apabila setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. (John Rawls, 2006) Dalam konteks ini, kebebasan dasar yang paling luas untuk seorang anak antara lain adalah kebebasan anak dalam menjalani aktivitasnya, bermain, belajar dengan anak-anak lainnya. Maka jelas bukan merupakan hal yang adil dan bermanfaat, bila seorang anak nakal harus menjalani sebagian dari kehidupan kecilnya di dalam Lapas atau penjara.

Kiranya menjadi perhatian dan perlu koreksi kembali, sistem peradilan pidana anak di Negara ini. Perlu mencari alternatif lain yang benar-benar adil, dalam memberikan keadilan hukum bagi anak nakal, tidak hanya sekedar mengedepankan kepastian hukum semata tetapi harus melihat aspek keadilan dan kemanfaatan bagi kelangsungan hidup mereka.

Diversi dan Restorative Justice
Memang benar, setiap anak yang melakukan perbuatan yang dilarang, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun hal demikian tidak berarti bahwa kenakalan anak disamakan dengan kejahatan orang dewasa. Negara sering beralasan karena keterbatasan fasilitas maka anak nakal yang sudah diputus bersalah untuk sementara ditempatkan di Lapas. Namun mengingat keterbatasan Lapas Anak di Indonesia, bahkan kondisi Lapas sendiri, yang tidak sesuai dengan kejiwaan anak, tentunya akan menggangu dan mempengaruhi kelangsungan hidup anak nakal yang pernah menjalani hukuman di Lapas.

Diversi (pengalihan) dapat dijadikan sebagai sebuah penyelesaian masalah, ketika seorang anak melakukan kenakalan. Diversi yakni pengalihan proses peradilan pidana anak di luar jalur peradilan pidana formal. Sebagai gambaran praktek peradilan anak dengan konsep diversi (pengalihan) akan dikemukakan praktik peradilan anak di negeri Belanda. Karakteristik hukum pidana anak Belanda didasarkan pada asas pedagogik. Peraturan perundang-undangan pidana anak Belanda diatur dalam Bab VII A Ketentuan Khusus untuk Anak Buku I Wetboek van Strafrecht-Sr. Ketentuan itu terdapat dalam pasal 77a s/d 77gg Sr, termasuk ketentuan diversi.

Diversi (pengalihan) dilaksanakan dalam bentuk transaksi oleh polisi dengan anak pelaku tindak pidana. Transaksi polisi dengan anak ini terwujud dalam bentuk kerjasama dengan biro HALT (Het Alternatief). Contoh kegiatan biro HALT, kasusnya menyangkut seorang anak bernama B mencuri barang di Mall. Perbuatan B diketahui petugas keamanan mall yang bersangkutan, dan ditangkap selanjutnya diserahkan kepada polisi (Paulus Hadisuprapto, 2006).

Atas dasar pemahaman polisi, perbuatan B memenuhi syarat untuk diikut sertakan program HALT. Transaksi yang ditawarkan oleh polisi diterima oleh B dan orangtuanya. Petugas HALT kemudian memanggil B beserta orangtuanya, pemilik mall (korban) dan polisi, dilaksanakanlah musyawarah untuk menentukan “sanksi” untuk B. Kesepakatan dihasilkan bahwa : B harus mengembalikan barang yang telah dicurinya kepada pemilik mall dan untuk menebus kesalahannya si B harus membersihkan lantai mall selama 2 bulan, yang pengerjaannya dilakukan tiap akhir minggu selama 2 jam, yang waktunya bebas ditentukan sendiri oleh B, sesuai dengan waktu luangnya.

Dari contoh yang dikemukakan di atas, tergambar praktik diversi (pengalihan) dalam peradilan pidana anak. Belanda dipilih sebagai salah satu contoh, dikarenakan Belanda sudah sejak lama mempraktekkan diversi, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana anak. Termasuk Amerika Serikat, menerapkan diversi sebagai cara penanganan perkara pidana anak, dan cukup berhasil. Di Belanda penyelesaian perkara di luar pengadilan ini disebut afdoeningbuitenprocess atau di Inggris disebut dengan transactionout of judicary (Marcus P Gunarto. 2013).

Diversi sangat berperan penting dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi anak.Konsep diversi ini sangat relevan dengan semangat keadilan restoratif (restorative justice). Restorarative justice bermaksud menggeser paradigma pemikiran yang berkembang selama ini dalam sistem peradilan pidana anak. Bahwa selama ini, pemidanaan didasarkan pada pemahaman yang bersifat pembalasan (retributif) (Nandang Sambas, 2010). Oleh sebab itu, penanganan anak nakal, difokuskan pada pelaku saja. Pemidanaan dengan mengejar pelaku sangat merugikan hak anak. Pemidanaan ini juga dirasakan hanya akan merusak hubungan anak nakal dengan korban dan masyarakat.

Pendekatan dengan keadilan restoratif menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Menggeser paradigma bahwa konflik hanya antara pelaku dan negara (Eva Achjani Zulfa, 2011). Restorative justice menegaskan konflik tidak hanya antara negara (korban utama) dengan pelaku (anak nakal), akan tetapi melibatkan korban langsung dan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam penyelesaian konflik (perkara pidana) dengan pendekatan restorative justice, diselesaikan dengan musyawarah sebagaimana bentuk diversi yang dikemukakan sebelumnya.

Keadilan restoratif menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan (Marlina, 2013). Hal ini relevan dengan konsep diversi (pengalihan) yang berusaha mengalihkan proses penyelesaian perkara pidana anak nakal ke luar peradilan formal, sebagai upaya pemulihan bagi anak nakal terhadap korban dan masyarakat dan bukan pembalasan. Oleh sebab itu, konsep diversi sangat relevan menggunakan pendekatan restorative justice, guna memberikan perlindungan terhadap hak asasi anak.

Kendati memang di dalam UU yang baru, yang mengatur tentang peradilan pidana anak (UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), diatur adanya Diversi dan Resorative Justice, yang menurut hemat penulis, merupakan suatu terobosan dalam hal menanggulangi permasalahan anak nakal. Namun demikian seperti apa penerapan UU ke depan, perlu waktu untuk mempersiapkan semuanya.

Maka dari uraian di atas, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting, Pertama, fakta menunjukkan banyak anak-anak yang tidak terurus, berkeliaran di jalanan sana, yang oleh pemerintah terjadi pembiaran. Jika dilihat dalam UUD 1945 pasal 34 ayat (1) negara seharusnya (berkewajiban) memelihara mereka. Karena anak-anak yang menerima ketidakadilan ini kemudian berpotensi menjadi rusak dan membuat mereka menjadi anak-anak nakal.

Kedua, hendaknya perbuatan anak nakal jangan disamakan dengan kejahatan orang dewasa. Perbuataan anak nakal kiranya dipandang sebagai akibat dari ketidakseimbangan lingkungan sosialnya. Lagi-lagi hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan yang mereka terima dari lingkungan sosialnya. Anak-anak sering dipandang rendah oleh orang dewasa di sekitarnya. Padahal kita tidak pernah mengerti bahwa anak-anaklah yang akan meneruskan cita-cita perjuangan bangsa di masa mendatang.

Kiranya kedepan menjadi perhatian kita bersama, bahwa ketidakadilan yang diterima oleh anak-anak selama ini utamanya anak nakal, sungguh sangat mengganggu masa depan mereka. Penyelesaian dengan diversi dan restorative justice, merupakan hal yang tepat dalam membina dan mengarahkan mereka. Diversi dan restorative justice, memberikan kesempatan bagi anak untuk menginsafi perbuatan nakalnya, tanpa harus memenjarakan mereka, karena penjara bukanlah tempat untuk anak.


0 komentar:

Posting Komentar