Senin, 12 Mei 2014

MENAKAR TANGGUNG JAWAB KASUS CENTURY


Oleh : Eddy OS Hiariej  
(Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM)

PERKARA kebijakan talangan (bail out) Bank Century memasuki babak baru menyusul persidangan perdana kasus a quo dengan terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia saat kebijakan talangan diambil.

Dalam dakwaan disebutkan Budi Mulya bersama Boediono selaku Gubernur BI, dan deputi gubernur BI lain yang menjabat saat itu, terlibat dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) sebesar Rp 689,39 miliar. Masih menurut dakwaan, bail out Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak
sistemik merugikan keuangan negara sebesar Rp 7,45 triliun  dengan rincian FPJP sebesar Rp 689,39 miliar dan penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 6,76 triliun.



Menurut jaksa, pembengkakan PMS yang semula Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun karena data yang digunakan BI untuk menghitung kebutuhan dana tidak akurat dan tidak menggunakan data terkini. Dalam dakwaan, nama Boediono disebut sampai 67 kali sehingga menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana tanggung jawab Boediono dalam perkara a quo.

Terpisah

Dalam konteks hukum pidana, perlu dipahami bahwa ada pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana ataukah tidak.

Akan tetapi, seseorang yang dijatuhi pidana sudah pasti telah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks hukum pidana pula, pertanggungjawaban dapat disamakan dengan kesalahan dalam pengertian yang luas.

Ada tiga elemen dalam kesalahan yang bersifat kumulatif. Artinya, seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika memenuhi ketiga elemen tersebut.

Pertama, kemampuan bertanggung jawab. Kedua, adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan. Sikap batin ini melahirkan dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Syarat kesengajaan adalah weten en wilen (mengetahui dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian atau kurang adanya penduga-dugaan.

Ketiga, tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa, dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku yang teridiri dari kemampuan bertanggung jawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perintah jabatan yang tidak sah, dan daya paksa.

Pada dasarnya, bail out Bank Century adalah suatu kebijakan yang dapat diadili dalam konteks hukum pidana jika kebijakan tersebut dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan kejahatan. Hal ini tentunya harus dibuktikan dengan ajaran kausalitas dalam hukum pidana bahwa antara kebijakan dan kejahatan tersebut merupakan satu rangkaian terjadinya suatu tindak pidana.

Selain itu, ada aji mumpung (moral hazard) dalam pengambilan kebijakan tersebut. Secara gamblang, WPJ Pompe dalam Handboek Van Het Nederlandse Strafrechtmenyatakan bahwa dalam hukum pidana yang dipersoalkan tidak hanya kesalahan yuridis, tetapi juga moral hazard dalam melakukan suatu perbuatan. Moral hazardberkaitan erat dengan sikap batin seseorang dalam melakukan suatu perbuatan dan tentunya tidak mudah dibuktikan.

Oleh karena itu, dengan menggunakan teori kesengajaan yang diobyektifkan, moral hazard dapat terlihat dari kesesuaian fakta-fakta atas dasar bukti yang valid. Di samping itu pula, kebijakan tersebut melanggar peraturan. Pengertian peraturan di sini sangat luas. Tidak harus melanggar undang-undang, tetapi cukup melanggar peraturan perundang-undangan lainnya termasuk peraturan yang dibuat oleh pejabat publik atau suatu lembaga negara.

Pembuktian tiga elemen

Bila bail out Bank Century dihubungkan dengan ketiga elemen kesalahan sebagaimana diurakain di atas, dapat tidaknya Boediono dimintai pertanggungjawaban pidana bisa dilihat dari hal sebagai berikut.

Pertama, perihal elemen kemampuan bertanggung jawab, kiranya tidak perlu dibahas lebih lanjut bahwa Boediono memiliki kecakapan bertindak, terlebih dalam kapasitasnya sebagai ahli ekonomi. Kedua, terkait adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan yang dapat berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan. Mengenai adanya unsur kealpaan haruslah dikesampingkan karena Pasal 2 ayat (1) ataupun Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mensyaratkan adanya bentuk kesalahan berupa kealpaan, melainkan secara implisit mensyaratkan bentuk kesalahan berupa kesengajaan.

Persoalan lebih lanjut yang harus dibuktikan sebagaimana dalam dakwaan bahwa pembengkakan PMS yang semula Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun karena data yang digunakan BI untuk menghitung kebutuhan dana tidak akurat dan tidak menggunakan data terkini. Apakah ketidakakuratan data diketahui ataukah tidak oleh Boediono sebagai Gubernur BI?

Jika ketidakakuratan data sebagai dasar pengambilan keputusan diketahui, maka unsur kesengajaan telah terbukti. Sebaliknya, jika ketidakakuratan data sebagai dasar pengambilan keputusan tidak diketahui, maka sesungguhnya Boediono berada dalamfeitelijke dwaling (kesesatan fakta). Dalam konteks teori, feitelijke dwaling adalah salah satu kesesatan dalam kesengajaan yang dapat tidak dijatuhi pidana.

Ketiga, elemen tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Bail out Bank Century selalu dikaitkan dengan bank gagal berdampak sistemik dan pada saat itu berada dalam situasi krisis ekonomi. Hal ini harus dibuktikan lebih lanjut, apakah jika Bank Century tidak di-bail out akan terjadi krisis luar biasa seperti tahun 1998 ataukah tidak.

Bila kegagalan Bank Century tidak berdampak sistemik seperti yang diwacanakan, maka ada moral hazard dalam kebijakan bail out tersebut. Sebaliknya, bila kegagalan Bank Century berdampak sistemik dan jika tidak di-bail out akan menimbulkan kerugian yang lebih besar, berarti kebijakan tersebut diambil dalam keadaan darurat sebagai suatu alasan pembenar.

Dalam keadaan darurat berlaku prinsip necessitas non habet legem yang berarti keadaan darurat tidak mengenal hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan pidana dapat dikesampingkan.

Terakhir yang perlu menjadi catatan bahwa disebutkannya nama Boediono sebanyak 67 kali dalam dakwaan Budi Mulya tidak serta-merta berarti Boediono dapat dituntut pertanggungjawabannya secara pidana. Jika penyebutan nama Boediono hanya untuk merekonstruksi dugaan tindak pidana sebagai suatu rangkaian perbuatan, maka keberadaan nama Boediono hanyalah saksi yang perlu didengarkan keterangannya dalam perkara a quo.

Akan tetapi, jika penyebutan nama Boediono dalam konteks delik penyertaan bersama Budi Mulya, maka Boediono dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana dengan terlebih dulu membuktikan dua hal sebagai syarat delik penyertaan. Pertama, adanya meeting of mind (kesepakatan) atau paling tidak adanya saling pengertian antara Budi Mulya dan Boediono sebagai perwujudan niat untuk melakukan kejahatan (subyektif penyertaan). Kedua, adanya kerja sama yang nyata antara Budi Mulya dan Boediono dalam melakukan kejahatan (obyektif penyertaan). Subyektif dan obyektif penyertaan adalah dua hal mutlak yang harus dibuktikan dalam delik penyertaan. 

(Dimuat pada harian KOMPAS, 11 Maret 2014)

0 komentar:

Posting Komentar