Minggu, 01 Mei 2011

MASALAH IMPLEMENTASI KONVENSI PBB ANTI KORUPSI 2003



Oleh : Romli Atmasasmita
(Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran)

Ratifikasi terhadap Konvensi Anti Korupsi PBB/KAK PBB (2003) bukan semata-mata tugas rutin pemerintah. Ratifikasi ini dilakukan dengan penuh pertimbangan yang serius atas komitmen politik luar negeri RI untuk ikut bekerja sama dengan bangsa lain mencegah dan memberantas korupsi.

Tindak lanjut ratifikasi KAK PBB 2003 ke dalam sistem hukum nasional dari sudut UUD 1945 Indonesia masih menganut prinsip ‘non-self implementing legislation’ (Pasal 11) sekalipun dalam UU Perjanjian Internasional (2005) dianut prinsip ‘self-implementing legislation’ (Pasal 13). Tindak lanjut penting pascaratifikasi adalah implementasi ke dalam sistem hukum nasional dalam bentuk UU baru pengganti UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pemerintah dapat memilih tiga model penafsiran hukum atas ketentuan KAK PBB 2003.
Pertama, tafsir hukum secara sempit dalam arti tekstual sebagaimana bunyi rumusan ketentuan konvensi.
Kedua, menggunakan model pendekatan ‘policy oriented approach’ (doktrin McDougall).
Ketiga, menggunakan pendekatan liberal (liberal approach) yang lazim dipraktikkan oleh pengadilan di Amerika Serikat dan Inggris.

RUU Tipikor
RUU Tipikor 2009 mengikuti tafsir hukum dalam arti sempit sehingga kebijakan pemerintah yang telah terbentuk dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 20001 diabaikan. Sudah tentu masing-masing model pendekatan dalam penafsiran hukum tersebut memiliki konsekuensi—bukan hanya akibat dari sisi hukum, melainkan juga akan menjadi “beban politik” Indonesia ketika berhadapan dengan negara lain.

Ada prinsip hukum yang tidak boleh didegradasi oleh setiap negara dalam implementasi KAK PBB ini yaitu prinsip ‘due process of law’ dan prinsip penolakan pidana mati, pidana in absentia, dan ‘non-self incrimination’ karena ketiga prinsip tersebut merupakan ‘mandatory grounds for refusal’ dalam kerja sama internasional. Begitu pula sebaiknya diperlukan kehati-hatian memasukkan ketentuan pembuktian terbalik.

Sebagian besar negara peserta konferensi PBB Antikorupsi menolak pemberlakuan pembuktian tersebut sekalipun terhadap harta kekayaan tersangka/terdakwa tanpa penuntutan pidana.Atas dasar inilah, ketentuan pembuktian terbalik dalam KAK PBB ditetapkan bersifat ‘nonmandatory obligations’. Dalam proses penyusunan RUU Tipikor harus diingat bahwa UU Tipikor bukan hanya untuk kepentingan Indonesia, melainkan juga negara lain dapat memanfaatkan UU tersebut untuk kepentingan negaranya.

Dalam praktik selama ini kepentingan Indonesia selalu dikalahkan jika berhadapan dengan negara lain dalam pemberantasan korupsi. Hal ini berlaku untuk prosedur pembuktian terbalik di mana keberhasilannya di Indonesia tidak mutatis mutandis keberhasilan menyelamatkan aset tindak pidana yang ditempatkan di negara lain. Contohnya kasus BLBI, Kasus Hendra Rahardja, dan terakhir kasus Century di Dresden.

Kearifan Pemerintah
Aplikasi KAK PBB 2003 ke dalam sistem hukum nasional memerlukan kearifan pemerintah. Pertama, apakah sikap politik pemerintah RI sudah ajek (firmed) untuk konsisten pada pilihan tafsir hukum atas KAK PBB 2003 pada salah satu dari tiga model pendekatan sebagaimana diuraikan di atas.Model pendekatan liberal semata-mata hanya ditujukan untuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan dengan berlindung di balik konstitusi dengan tafsir yang ketat pada prinsip ‘due process of law’ sepanjang mengangkut kepentingan negara yang bersangkutan.

Model pendekatan McDougall dalam penafsiran atas KAK PBB 2003 justru hanya dilihat dari tujuan (teleologis) yang cocok dengan kebijakan negara yang bersangkutan. Jika merujuk pada pendekatan pertama, UNCLT-1969 tentu merupakan model yang relatif lebih “aman”dibandingkan dengan dua model pendekatan terdahulu yang rentan terhadap ‘tekananan internasional’. Kecuali Pemerintah Indonesia memiliki posisi negosiasi yang kuat (strong bargaining positions) dalam kerja sama internasional terutama dalam menyelamatkan aset-aset tindak pidana korupsi terutama dari negara lain.

Kedua,ketentuan KAK PBB 2003 berlaku yurisdiksi ekstrateritorial karena korupsi merupakan tindak pidana transnasional yang memerlukan kerja sama internasional. Dalam konteks ini prinsip ‘dual criminality principle’ merupakan faktor yang sangat menentukan. Ketiga,perlu dipertimbangkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat termasuk reaksi spontan terhadap substansi RUU Tipikor yang dipandang kontroversial dan melemahkan gerakan pemberantasan korupsi.

Keempat, KAK PBB 2003 telah menetapkan tiga strategi utama pemberantasan korupsi yaitu pencegahan,penindakan (termasuk kriminalisasi), dan pengembalian aset korupsi melalui kerja sama internasional. Ketiga strategi ini harus diperlakukan secara seimbang,konsisten, sistematis, dan berkesinambungan. Bukan saatnya lagi lebih mengedepankan efek jera hukuman semata-mata tanpa mempertimbangkan efek preventif di masa yang akan datang.

Dan bukan saatnya lagi mengedepankan hukuman sebagai satu-satunya efek jera karena perampasan aset korupsi melalui kerja sama internasional dalam KAK PBB 2003 merupakan bentuk lain dari penghukuman terhadap pelaku korupsi dan kroninya. Keberhasilan implementasi KAK PBB 2003 ke dalam penyusunan RUU Tipikor 2003 bergantung dari politik Pemerintah RI dalam menyikapi tiga model penafsiran hukum dengan segala konsekuensinya sebagaimana diuraikan di atas.?


Tulisan ini disalin dari Harian Seputar Indonesia, 13 April 2011

1 komentar:

  1. Poin ke 4 sy sgt setuju, korupsi merajalela utamanya disebabkan byknya celah pd sistim pemerintahan, adm, ketatanegaraan, memang tdk ada sistim yg sempurna karenanya tdk ada negara yg bebas korupsi, untuk itu diperlukan moral individu untuk menutup celah tsb, tp untuk kondisi serba sulit saat ini terutama pd sektor pendapatan, kt tdk dpt berharap byk pd moral, oleh karenanya pembenahan sistim untuk meminimalisir celah korupsi adalah yg pertama dan utama

    BalasHapus